Kamis, 31 Mei 2018

Kenapa Wahyu Turun di Gua dan Bukan di Masjid? Bukankah Tempat Terbaik itu Masjid?


Sentilan Sentilun Ala U.J (Ust.Jamhuri)

Kenapa Wahyu Turun di Gua dan Bukan di Masjid? Bukankah Tempat Terbaik itu Masjid?


“Pak ustadz, saya jamaah ustadz, boleh gak ganggu?” Sapa Jamaah di ujung telepon.

“Oh ya..ada yang bisa saya bantu?” Jawab ustadz menawarkan bantuan.

“Gini ustadz, saya baca di medsos, ada akun FB atas nama AFI NIHAYA FARADISA, dia mempertanyakan, mengapa wahyu turunnya di gua? Bukan di masjid? Padahal tempat yang terbaik kan di masjid?” Cerita Jamaah.

“Terus..?” Ustadz balik bertanya

“Ya itu tadi ...apa jawabannya, ustadz?” . Jamaah penasaran.

“Tunggu...tunggu....siapa nama pemilik  akunnya? Kedengarannya punya arti aneh deh..?” Tanya ustadz

“Akunnya AFI NIHAYA FARADISA, pak ustadz...” Jawab jamaah.

“Hmm.. Saya jadi inget ayat yang berbunyi AFI iLLAH SYAKKUN”. Ustadz berseloroh.
“Apa tuh ustadz artinya?” Tanya jamaah

“Itu kalimat sindiran Allah kepada orang-orang yang meragukan adanya Allah, artinya ayat itu adalah ‘apakah terhadap adanya Allah ada keraguan?’ Nah, kata AFI NIHAYA FARADISA kalau itu berasal dari bahasa Arab, artinya adalah ‘Apakah di akhir ada surga?’, jadi sepertinya mirip. Mirip keraguan adanya surga atau tidak?” Jelas ustadz.

“Kaya orang PKI ya ustadz yang tidak percaya adanya hari kiamat, surga dan neraka?” Ujar jamaah,

“Wah...saya tidak tahu...wallahu a’lam.... dah....” jawab ustadz.

“Terus, gimana dong ustadz, jawaban terhadap pertanyaan tadi? Pertanyaannya, kenapa wahyu turun di gua bukan di masjid?, padahal masjid adalah tempat yang paling mulia?” Tanya jamaah mengingatkan.

“Hemmm...bismillah....begini...sebenarnya turunnya wahyu itu terbagi dua;
Pertama, turun secara sekaligus, yakni dari Lauhil Mahfuzh ke langit dunia secara sekaligus, artinya tidak berangsur. Redaksi alquran yang dipakai untuk menjelaskan turunnya al-quran secara sekaligus ini adalah akar kata “ANZALA-YUNZILU”. 

Kedua, al-quran turun dari langit dunia ke bumi secara berangsur dan bertahap. Redaksi alquran yang dipakai untuk menjelaskan turunnya al-quran bertahap ini adalah akar kata “NAZZALA-YUNAZZILU”.

Nah, jadi saat al-quran diturunkan dari langit ke bumi, itu secara bertahap, bukan semua ayat turun di gua. Tapi,  ada ayat yang turun saat di masjid, ada saat di padang Arafah, di perjalanan, di medan perang dan lain-lain.

Mungkin pemilik akun itu bermaksud ayat yang turun di gua itu adalah wahyu pertama yang turun, dan gua yang dimaksud juga adalah gua Hira...

Jika itu yang dimaksud, lalu dia memprotes kenapa turun di gua?Kok tidak di masjid? Maka jawabnya,:  ya..suka-suka Allah-lah...sama halnya dengan protes orang Yahudi saat kiblat umat Islam dialihkan Allah dari Baitul Maqdis ke Masjidil Haram...jawaban Allah; “Wa lillahil masyrriq wal maghrib’ (Kepunyaan Allah arah timur dan Barat)..artinya..ya suka-suka Allah  lah yang punya arah mata angin...Yang punya bumi.. Yang punya masjid...Yang punya gua...he..he...” Jawab ustadz dengan sersan (Serius tapi santai)

“Tapi kan, bukankah masjid adalah tempat yang terbaik, pak ustadz?” Tanya jamaah lagi
“Benar” jawab ustadz.

“Tapi kenapa Allah memilih gua sebagai tempat turun wahyu pertamaNya?” Tanya jamaah penasaran.

“Hadeuh....! kan udah saya jelasin....itu suka-suka Allah yang punya Gua..?” jawab ustadz kesal.
“Maaf pak ustadz, selain jawaban tadi, ada jawaban lain yang bisa logis gitu?” desak jamaah.
“Begini pak....Dulu kondisi masjidil Haram itu agak parah... di dalam Ka’bah dan sekitarnya saja banyak sekali patung-patung dan berhala. Bahkan jumlah patung itu ada 360 biji......Nah, bagaimana Nabi bisa konsentrasi mencari jatidiri dan membersihkan diri? Sementara berhala-berhala dengan berbagai bentuknya ada di sana? Belum lagi kondisi masyarakat jahiliyah saat itu masih mabuk-mabukan hingga masuk ke sekitar Ka’bah? Lha? Nanti, bapak protes lagi, jangan-jangan wahyu itu datang dari patung? Atau dari omongan ngelantur orang mabok? Hah? Bagaimana kalau ada anggapan seperti itu? Kacau kan wahyu nya nanti?, bisa tidak dipercaya? Nah, oleh sebab itu, Allah pilih tempat yang hening, jauh dari hiruk pikuk kejahiliyahan. Paham..?”

Kedua, Nabi saw cuma sekali itu bertahannust (menyendiri untuk mendekatkan diri pada Tuhan) di dalam gua. Setelah itu, nabi tidak pernah ke Gua lagi kecuali saat bersembunyi di gua Tsur. Itu pun bukan untuk ibadah, tapi karena menghindar dari kejaran Quraisy saat Nabi saw berhijrah menuju Madinah. Selebihnya, Nabi banyak beribadah di Masjid. Apalagi saat di Madinah, Nabi saw selalu beri’tikaf di dalam masjid, bukan itikaf di dalam Gua. Paham?.Adakah riwayat Nabi beritikaf di gua? Gak ada kan?

Jadi, memang “Khoirul biqo’ baitun min buyutillah” (sebaik-baik dataran adalah rumah Allah alias masjid), dan Nabi telah mencontohkan sepanjang hidupnya beritikaf di masjid, bukan di gua apalagi di pasar...he..he...

Adapun nabi saw menyendiri di gua saat itu, dan tidak di masjid, karena di masjdil haram (ka’bah) suasananya tidak nyaman, baik karena kebisingan maksiat kaum Jahiliyah maupun karena banyaknya berhala-berhala di sekitar masjid. Begitu pak..sudah jelas?...
maaf Pak,  kuping saya udah panas nih, kelamaan nelpon.” Ustadz mengakhiri penjelasannya.

“Ohh ya ,,pak ustadz,..maaf nelpon kelamaan...terima kasih pak ustadz....atas pencerahannya...assalamu alaikum..?” Ucap jamaah mengakhiri pembicaraannya
“Walaikumussalam..” tutup Ustadz.


Senin, 28 Mei 2018

Zakat Fitrah Dengan Uang di Zaman Now Lebih Afdoll



Sentilan-Sentilun Ala U.J.(Ustadz Jamhuri)
Zakat Fitrah Dengan Uang di Zaman Now Lebih Afdhal
.

“Ustadz, saya mau tanya nih, katanya kalau kita mau bayar zakat fitrah nggak boleh pake uang, harus pake beras. Apa betul begitu ustadz?” Tanya jamaah.

“Kata siapa?” Ustaz balik bertanya.

“Yaa...kan sekarang banyak share-share broadcast, ustadz, saya juga dapat dari bradcast masalah zakat fitrah ini, ustadz”.Jawab jamaah

“Lalu, selama ini, bapak kalau bayar zakat fitrah, pake apa?” Ustdaz balik tanya lagi

“Pake uang ustadz. ..mungkin sejak saya lahir juga, dibayarin zakatnya oleh orang tua pake uang. Makanya saya jadi ragu nih setelah baca di medsos itu. Nah, sekalian dah nanya juga, kalau seandainya bertahun-tahun bayar fitrah saya pake uang dan jika itu tidak sah, bagaimana dong ustadz cara membayarnya?”  Tanya jamaah.

“Ribet amat sih pak?. Nih, biar bapak tenang saya keluarin jawabannya, zakat fitrah pake uang itu hukumnya sah, bahkan di zaman sekarang boleh disebut lebih afdhal dari pada beras.” Jelas ustadz santai.

“Hah..? kok bisa gitu ustadz?. Padahal yang saya baca di medsos itu, hadits-hadits Nabi menjelaskan bahwa zakat fitrah dibayar dengan BERAS, juga para sahabat bayar zakat fitrahnya dengan BERAS. Malahan tiga mazhab fiqih juga berpendapat yang sama, kok bisa ustadz mengatakan bahwa bayar zakat fitrah dengan uang lebih afdhol?” Tanya jamaah protes.

“Ntar..ntar...saya koreksi dulu ya? Nabi, sahabat, tabiin dan para ulama mazhab gak pernah menyuruh kita membayar zakat fitrah dengan BERAS. Yang ada adalah MAKANAN POKOK!”. Jelas ustadz memotong pembicaraan jamaah.

“Oh iya ustadz, maksud saya itu..makanan pokok” Ujar jamaah meralat sambil cengengesan.

“Begini. Dari dulu sampai sekarang, para ulama berselisih pendapat tentang penyikapan pada suatu nash atau teks dalil. Ada yang melihat pesan yang tersirat (mafhum), ada juga yang melihat pada yang tersurat (mantuq). Contoh..: Baru aja selesai perang Khandaq, Nabi saw langsung menyuruh sahabat segera berangkat ke kampung Bani Quraizhah untuk memberi pelajaran kepada mereka karena telah berkhianat pada perang tersebut. Nabi saw berpesan, “Jangan kalian shalat ashar, hingga kalian tiba di Bani Quraizhah”. Nah, sebagian sahabat ada yang memahami pesan Nabi saw itu secara mantuq (tersurat). Sehingga mereka tidak shalat ashar sebelum tiba di sana, sekalipun di jalan sudah masuk waktu ashar. Namun sebagian sahabat memahaminya secara tersirat (mafhum). Pesan tersiratnya adalah “Usahakan datang ke sana sebelum masuk waktu shalat ashar”. Sehingga saat di perjalanan masuk waktu ashar, mereka langsung melaksanakan shalat tepat waktu.”
“Demikian juga, saat menyikapi hadist tentang barang ribawi  yang diriwayatkan Abbdullah bin Shamit yang menyebut bahwa barang ribawi itu ada 6: emas, perak, kurma, gandum, tepung, dan garam. Imam Daud Azh-Zhahiry menyikapinya dengan mantuq (tersurat) sehingga beliau tidak memasukkan fulus (uang kertas atau logam yang non emas perak) masuk dalam kategori barang ribawi. Sementara ulama lain memahaminya secara mafhum (tersirat) bahwa penyebutan emas dan perak adalah perwakilan dari segala macam uang dan mata uangnya, apapun bahan bakunya..sehingga jika ada pembungaan (tambahan) pada fulus (uang kertas) pun  maka berlaku hukum riba. Bayangkan, jika kita hanya memahaminya secara mantuq (tersurat) maka tidak berlaku riba pada fulus (uang kertas), meskipun ada pembungaan.”

“Demikian juga perdebatan ulama tentang wudhu, apakah dia ibadah mahdhah (ritual) atau ibadah untuk nazhofah (kebersihan)? Perbedaan itu masih terjadi.”
Perbedaan-perbedaan itu sebenarnya memberi rahmat dan kegunaan bagi kondisi zaman yang kita hadapi. Oleh sebab itu, permasalahan apakah zakat fitrah dibayar dengan  makanan pokok atau uang, tidak lepas dari perbedaan sudut pandang mantuq atau mafhum ?” Ustadz menjelaskan panjang lebar.

“Aduh...saya kok tambah pusing ustazd. Coba langsung saja jelaskan, mengapa ustadz mengatakan membayar zakat fitrah dengan uang untuk zaman sekarang ini lebih afdhol?” Pinta jamaah.

“Nah, ditinjau dari mafhum kegunaan dan tujuan zakat fitrah serta hikmahnya, maka boleh dikatakan –untuk zaman sekarang- membayar zakat fitrah dengan uang adalah lebih utama , dengan alasan sebagai berikut:

Pertama, di antara hikmah adanya  zakat fitrah adalah agar orang fakir miskin di hari Idul Fitri semua berbahagia dengan tersedianya makanan di hari itu. Nah, zaman sekarang, yang dimakan fakir miskin dan kebutuhan mereka bukan hanya dapat makan makanan pokok saja di hari itu, tapi juga perlu lauk-pauknya, sayurnya dan makanan lainnya. Nah kalau mereka hanya mendapat makanan pokok, maka mereka tidak bisa membeli lauk-pauknya. Sedangkan jika mereka mendapat zakat fitrahnya berupa uang, mereka dapat membeli beras, lauk-pauk, sayur mayur bahkan bisa beli pembungkus ketupat. Nah disinilah lebih utama zakat fitrah dengan uang.

Kedua, pada beberapa negara kaya dan yang penduduknya minim fakir miskin, sementara kesadaran membayar zakat itu tinggi, maka pada saat tidak ditemukan fakir miskin di sana, mereka akan mendistribusikan zakatnya ke negara lain. Jika berupa makanan pokok, maka mereka akan terkendala waktu. Jangan lupa, kewajiban zakat fitrah adalah pada saat malam takbiran, dan sebagian orang hanya akan membayar zakat fitrahnya di malam takbiran itu karena itulah wakt al-wujub (waktu wajibnya fitrah). Pendistribusian zakat berupa makanan pokok ini akan memakan biaya transportasi lagi. Selain juga waktu tempuh akan lama, dan bisa melewati hari idul fitri sehingga kehilangan hikmah diwajibkannya zakat fitrah yang harus didistribusikan sebelum idul fitri. Sedangkan jika zakat fitrah berupa uang, maka dengan sangat mudah kita transfer ke mana pun. Dan membayar zakat fitrah dengan uang dalam kondisi pendistribusian ke negara-negara yang terkena musibah atau konflik akan terasa terlihat lebih utama karena mereka memerlukan bantuan dengan cepat.

Ketiga, mungkin orang akan berkata, yang penting bayar dengan makanan pokok, nanti kan untuk kebutuhan lain, fakir miskin itu bisa menjual berasnya lalu dibelikan kebutuhan lauk pauk.? Atas alasan ini, saya punya pengalaman saat kuliah di Arab saudi. Orang Saudi, rame-rame membayar zakat fitrahnya di malam idul fitri karena itulah wakt-al-wujub nya. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan konsumen membeli paket zakat fitrah, banyak dijumpai orang-orang menjual beras paket zakat fitrah menjajakan nya di jalan-jalan. Nah, disamping penjual paket zakat fitrah itu, beberapa orang miskin takroni (negro) duduk siap menerima zakat fitrah. Lalu saya lihat orang Saudi dalam mobil membeli paket zakat fitrah itu dengan harga  15 real, lalu mobil maju sedikit menghampiri orang misikin dan langsung menyerahkan zakat fitrah tadi ke orang miskin itu, kemudian datang lagi pengendara mobil lain, membeli paket zakat dan meyerahkan kepada orang miskin negro lagi seperti orang pertama. Nah, saya ketawa, pada saat pengendara itu menjauh meninggalkan mereka, si miskin yang menerima zakat tadi, menjual kembali paket zakat itu kepada penjual paket zakat dengan harga 10 real. Sampai sini, bapak bisa bayangkan kan ketidak efektifan zakat berupa bahan pokok. Andai saja, muzakki itu memberi zakat fitrah kepada si miskin seharga paket beras fitrah dalam bentuk uang, , pasti dia mendapat zakatnya 15 real perkepala, dan tidak repot-repot lagi harus menjual kepada penjaja paket zakat tadi.” Ujar ustadz menjelaskan panjang lebar

“Hmmm..iya juga ya ustadz...? jadi kalau kita bayar zakat fitrah dengan beras atau makanan pokok tidak sah ustazd? Karena kan pake uang -kata ustadz- lebih afdol?” Tanya jamaah membandingkan.

“Tidak...tetap saja membayar zakat dengan beras atau makanan pokok pun sah. Karena afdoliyah (keutamaan) itu tidak menafikan sah-nya cara lain jika memenuhi syarat.” Jelas ustadz singkat.

“Terus, orang yang menyebarkan broadcast zakat fitrah tidak sah dengan uang itu, tidak benar, ustadz?” Tanya jamaah memastikan.

“Memangnya, bapak kenal dengan orang yang menyebarkan broadcast itu?” Ustadz balik bertanya

“Kenal sih utadz, teman sekantor  dan masih tetangga saya, bahkan teman main saya waktu kecil.” Jawab jamaah singkat

“Coba tanya ke teman bapak itu, waktu dia masih anak kecil dan remaja dulu, hingga dia belum baca broadcast itu, dulu orang tua dia dan dia, bayar zakatnya pake beras apa uang?” Tanya Ustadz memohon.

“Seinget saya...sama dengan saya pak ustadz, orang tuanya juga bayar zakat fitrah dia ke guru ngajinya pake uang, bukan beras...dulu kan dia satu pengajian di kampung dengan saya.” Jawab jamah

“Nah, terus, kalo gitu, yang dulu-dulu gak sah dong? Terus kalo mau dirapel  atau diakumulasi bayar sekarang dengan beras, sudah lambat dong? Kan zakat fitrah itu harus dikeluarkan sebelum bubar shalat idul fitri di tahun itu? Lha, dia udah 30 tahun , berarti udah kelewatan 30 idul fitri dong?” Ujar ustadz ngajak berpikir.

“Iya ustadz,memang enakan ikut pendapat ustadz, lebih menenangkan dan menentramkan. Istilah kantor pajak-mya ‘Menyelsaikan Masalah Tanpa Masalah’..”Ujar jamaah..

“Ciee...bapak bisa aja ahh.....ini bukan pendapat saya, saya cuma ngutip dari ulama Hanafiyah dan ulama kontemporer DR. Yusuf al-Qordhowi dalam karyanya Fiqih al-Zakat” jawab ustadz tersanjung, sampe hidungnya merah karena dipuji.


Imsak, Bid’ah dan Sahur Kangkung


Sentilan-Sentilun ala UJ (Ustadz Jamhuri)

“Pak ustadz, saya mau tanya nih. Apa benar istilah “imsak” yang terdapat dalam Jadwal Puasa atau yang sering diperingatkan merbot masjid menjelang subuh itu bid’ah?. Soalnya saya dapat share WA begitu ustadz?” Tanya seorang jamaah usai shalat taraweh.

“Memangnya bapak tahu, imsak itu apa artinya?” Ustadz balik bertanya

“Imsak itu kan artinya tidak boleh makan dan minum, pak ustadz.” Jawabnya

“Masya Allah..! cakep…. Bapak pernah di pesantren kayaknya nih, ya pak?” Ustadz memuji sambil bertanya.

“Hehehe…cuma pesantren kilat, pak ustadz….” Jawab jamaah sambil tersenyum.

“Sekarang kan sudah zaman smartphone pak ustadz, jadi informasi apa saja dapat cepat diakses, termasuk masalah imsak ini.” Jamaah melanjutkan.

“Betul, zaman sekarang, Mbah Goegle menjadi rujukan jutaan orang termasuk masalah agama. Padahal Mbah Goegle itu belum diketahui agamanya, bahkan jenis kelamin aja belum diketahui.” Ustadz menimpali.

“Hehe..betul ustadz. Jadi…, bagaimana dong jawabannya?, apa betul istilah ”imsak” itu bid’ah, pak ustadz.?” Jamaah kembali bertanya pokok persoalan.

“Begini, kalau bicara tentang bid’ah mah panjang deh… definisi bid’ah saja masih belum disepakati. Belum lagi perselisihan tentang pembagian bid’ah. Nah supaya tidak panjang lebar, saya langsung ke pokok masalah imsak  saja dah.” Ustadz mencoba menyampaikan prolog sebelum menjawab.

“Bener pak ustadz, langsung to the point aja dah….” Pinta jamaah.

“Begini, shoum atau shiyam atau puasa secara etimolgi (bahasa) adalah Imsak atau menahan atau meninggalkan sesuatu yang membatalkan puasa. Sedang secara istilah syar’i, puasa adalah meninggalkan sesuatu yang membatalkan puasa sejak terbit fajar (subuh) hingga terbenam matahari (maghrib). Nah dari pengertian ini, maka puasa itu dimulai sejak subuh…..” Ustadz mulai menjelaskan.

“Tapi tadz, kok imsak itu dimulai sepuluh menit sebelum subuh? “ sahut jamaah memotong penjelasan ustadz.

“Sabar…. Saya lanjutkan keterangannya. Jadi, secara hukum, tetap saja puasa itu star-nya sejak waktu subuh, bukan sepuluh menit sebelum subuh. Hanya saja, agar orang-orang prefer dan hati-hati, maka diberitahu untuk bersiap-siap meninggalkan makanan sepuluh menit sebelum subuh dengan istilah imsak. Maka kita sering diingatkan melalui masjid dengan kalimat “imsaaak….imsaak…” itu tujuannya untuk berhati-hati agar jangan sampai kita masih makan sehingga masuk waktu subuh.” Jelas ustadz

“Dan lagi, Kebiasaan imsak itu sudah ada sejak zaman Nabi dan para sahabat, serta sudah dibahas oleh para alim ulama, meskipun dalam bentuk lain.

Zaid bin Tsabit berkata, “Kami pernah sahur bersama Rasulullah saw kemudian beliau shalat (subuh). Anas bertanya, “Berapa lama jeda antara adzan (subuh) dan sahur?” Saya (Zaid) menjawab, “Sekitar membaca quran sebanyak 50 ayat”.(HR: Bukhori. No 1921).

Imam Syafi’I berkata, “Aku menyukai sahur tidak tergesa-gesa sehingga dekat dengan waktu subuh, aku menyukai menghentikan sahur sebelum mendekati waktu itu (subuh)” (Al-Umm juz.2 hal 105)

Imam Ibnu Hajar mengomentari hadist di atas, yakni “seukuran membaca 50 ayat al-Quran”  yaitu ukuran membaca yang sedang, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat. Sehingga para ulama kita menmperkirakan dan mengkonversi waktu jeda imsak dan waktu subuh itu sama dengan sepuluh menit. “ Jelas ustadz panjang lebar.

“Ohhh gitu..ya pak ustadz,?... jadi, kita tidak boleh makan-minumnya  itu dimulai saat imsak atau subuh pak ustadz?”…Tanya jamaah lagi

“ Ya tetap saja, waktu puasa dikembalikan kepada definisinya, yaitu meninggalkan makan, minum dan bergaul suami isteri di mulai dari terbit fajar (subuh)."Imsak" hanya bentuk peringatan sebelum benar-benar masuk dimulainya puasa. “ Ustadz menjelaskan.

“Tapi ustadz….., kata ustadz di Youtube, harus ganti kata “imsak”nya dengan kata lain, yaitu dengan kata “tanbih” (peringatan!). Jadi, jangan lagi “imsaaaak…..imsaaak…” tapi “Tanbiiih…tanbiiih...”. Gitu ustadz, bagaimana menurut ustadz,,,? Tanya jamaah lagi.

“Terserah mau pakai kata apapun, gak ada larangan, kok. Tapi kan kita sudah akrab dengan kata “imsak” daripada kata “tanbih”. Bahkan kata “imsak” lebih dekat kepada pesan mengingatkan menahan dari makan dan minum. Andaikata kata “imsak….imsak.” dikhawatirkan dapat memberi kerancuan bahwa puasa dimulai dari waktu imsak dan bukan dari waktu subuh, itu tinggal kita beri pengertian melalui pengajian. Sama halnya lafadz iqomat dalam bab shalat, kan lafadznya adalah “Qod qoomatis sholah, qod qoomatis sholah” itu kan menggunakan fi’il madhi? Kata kerja lampau, yang berarti shalat sudah ditegakkan? Padahal kan shalatnya baru mau mulai? Jadi “qood qoomatis sholah” itu bukan pemberitahuan bahwa shalat sudah ditegakkan, tapi baru akan dilaksanakan?. Nah, demikan juga dengan kata “imsaak…imsak” bukan berarti sudah mulai puasa, tapi memberi peringatan bahwa sebentar lagi waktu puasa dimulai, yakni waktu subuh, maka bersiap-siaplah meninggalkan makan-minum.” Ustadz menjelaskan panjang lebar.

“Ohhhhh..begitu....cakep nih penjelasannya..” Jamaah menimpali sambil mengangguk-anggukkan kepala dan isyarat jempol  tanda setuju.

“Nah, terkait dengan masalah imsak ini, saya mendapat kasus pertanyaan yang sulit saya jawab…” Ustadz menambahkan.

“Kasus apa itu ustadz…..?” Jamaah Tanya dengan penuh penasaran.

“Begini, ada orang yang “Anti Imsak”, lalu saat imsak dia belum bangun dari tidurnya. Isterinya sudah mengingatkan, “Pak bangun, pak, sebentar lagi imsak !.” Si Bapak sambil malas-malas berkata, “Ah, apa itu imsak?, wong puasa itu mulainya subuh kok, aku ta tdur lagi lah, lima menit lagi bangun, nanti aku sahur.”… Nah..ternyata dia bangun dua menit sebelum subuh. Dia pun langsung ke dapur cari makanan. Dia tidak menemukan makanan. Kemudian menuju kulkas. Di kulkas pun gak ada makanan, yang dia lihat hanya seikat kangkung yang terletak di bagian freezer. Karena waktu sahur sudah sempit, dia langsung makan kangkung itu…tapi ternyata kangkungnya beku. Akhirnya dia cuci kangkung itu dengn air sambil diperasnya agar es-nya mencair. Setelah lumayan agak halus, dia pun memakan bagian daunnya hingga sampai ke tonggorkan. Sedangkan batang kangkungnya masih di area mulut dam gigi. Nah di tengah-tengah kondisi seperti itu, tiba-tiba terdengar azan subuh. Dia  jadi bingung, kalau dia cabut kangkungnya, dia kahwatir muntah. Sedangkan muntah dengan sengaja adalah membatalkan puasa. Namun jika dia biarkan, maka batang kangkung masih berada di lokasi gigi dan mulut. Nah, lalu dia tanya saya, bagaimana hukumnya ini, pak ustadz….? Ustadz bercerita.

“Ha….ha....ha…..” Jamaah tertawa terpingkal-pingkal lama sampai keluar air mata

“Lalu…bagaimana jawaban pak ustadz pada orang itu, ustadz..?” Tannya Jamaah penasaran

“Ah..sudah…nanti tambah panjang lagi…. Sudah-sudah…. Saya mau pulang, sudah larut malam nih… rumah saya jauh…. “ Sanggah ustadz sambil berpamitan.

Sabtu, 26 Mei 2018

Nabi Sudah Wafat, Jibril Nganggur Dong?


Sentilan-Sentilun Ala U.J (Ust.Jamhuri)

Nabi Sudah Wafat, Jibril Nganggur Dong?

Setelah menjelaskan tentang tafsir surat al-‘Alaq yang merupakan surat pertama yang diturunkan Allah swt melalui malaikat jibril, seorang jamaah bertanya, “Pak Ustadz, malaikat jibril kan tugasnya menyampaikan wahyu kepada Nabi saw. Nah.., Nabi Muhammad kan nabi terakhir dan beliau sudah wafat, kalau begitu, berarti sekarang malaikat Jibril jadi penganggur dong, sudah gak ada kerjaan dan tugas lagi ?”.

“Huss..hati-hati kalau ngomong..., masa sih, malaikat nganggur?” ustadz menyanggah..

”Maaf  pak ustadz, soalnya sejak kecil saya diajarin bahwa tugas malaikat Jibril adalah menyampaikan wahyu, sedangkan sekarang ini wahyu sudah terputus, jadi tugas Jibril ngapain?” Tanya jamaah.

“Maaf, boleh saya bertanya tentang pribadi bapak?” ustadz balik bertanya.

“Boleh, tentang apa pak ustadz?” jamaah penasaran.

“Bapak sekarang pekerjaannya apa?” ustadz bertanya.

“Sebagai custumor service di sebuah bank, pak ustadz.” Jawab jamaah.

“Nah, sekarang saya tanya, selain bapak melayani custumor, sehari-hari bapak kadang melakukan pekerjaan lain gak? Misalnya rapat? Atau keluar kota? Atau kadang pernah diperintah atasan menghandel pekerjaan lain yang menjadi tugas orang lain?”.

“Hmmm..sering ustadz..” jawab jamaah datar..

“Nah, menyampaikan wahyu itu adalah tugas utama malaikat jibril, tapi bukan berarti beliau sekarang  menganggur dan gak ada pekerjaan, beliau diperintah beribadah, bersujud, ruku berlama-lama, beliau dan malaikat lain siap melaksanakan perintah Allah swt tersebut.
Selain itu, ada tugas tahunan yang harus diemban beliau. Dan tugas ini adalah tugas mulia. Bayangkan...biasanya beliau dulu menyampaikan wahyu mulia, dari Tuhan Yang Maha Mulia, kepada manusia yang mulia; Nabi Muhammad.  Maka pekerjaan yang satu ini pun pasti mulia dan akan disampaikan kepada orang yang mulia” Jelas ustadz yang membuat jamaah penasaran.

“Tugas apa itu ustadz, memang masih ada tugas lainnya?, bukankah Jibril tidak turun lagi setelah Nabi Muhammad saw wafat?” jamaah masih penasaran.
“Justru itu, malaikat Jibril diperintah dengan tugas mulia.. yaitu pada setiap malam lailatul qodar, malam kemuliaan, akan turun bersama malaikat-malaikat lain menebarkan rahmat Allah swt...Itulah sebabnya orang yang berketepatan beribadah di malam kemulian /lailatul qodar merupakan orang yang mulia... Bukankah Jibril dulu turun membawa sesuatu yang mulia untuk diberikan kepada seorang yang sangat Mulia? Seorang Nabi yang mulia?.. Maka, begitu pun dengan orang yang mendapat anugrah lailatul qodar, maka dia telah didatangi malaikat mulia yang pernah sering bertemu Nabi yang mulia dengan membawa sesuatu yang mulia juga..”Jelas ustadz.

“Jadi, Marilah kita isi sepuluh malam terakhir Ramadhan nanti dengan i’tikaf agar mendapat kemuliaan lailatul qodar” tambah ustadz lagi..

Insya Allah ustadz” seru jamaah
“Mudah-mudahan dah...semua jamaah yang hadir sekarang..eh..yang baca tulisan ini juga...diberi anugrah berketepatan ibadah di malam lailatu qodar...”

“AAAAMIIIIIIIIN” serentak jamaah...

“lho kok itu ada yang belum ucapin aamiin?” kata ustdaz.

Lalu jamaah pun saling pandang dan bertanya, “siapa ustadz?”

“Yang baca tulisan ini belum aamiin tuh.”. Kata ustdaz...

“He..he..he...”  Pembaca nyengir sendirian...


Jumat, 25 Mei 2018

Mengapa Makan Saat Buka Puasa Lebih Nikmat?


Mengapa Makan Saat Buka Puasa Lebih Nikmat?
Sentilan-Sentilun Ala UJ (Ustadz Jamhuri)

“Pak ustadz, kenapa ya makan saat buka puasa terasa lebih nikmat, dibanding makan biasa?” Tanya jamaah sambil menikmati buka puasa pada acara bukber di sebuah Kantor.

“Ini nanya atau curhat nih?” Ustadz balik bertanya.

“Ini pertanyaan ustadz, apa sih hikmahnya?” Tanya jamaah

“Kalau ditanya kenapa makan saat buka puasa itu lebih nikmat?, maka jawabannya bisa macam-macam. Boleh jadi karena seharian kita tidak makan dan minum, sehingga pada saat berbuka puasa maka makanan terasa enak. Bisa juga karena saat berbuka puasa, menu makanannya special dibanding saat suasana selain buka puasa.” Jawab ustadz

“Oh ya benar, tapi mungkin ada hikmah lain pak ustadz? Kan katanya ada hadist mengatakan, “bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan. Pertama bahagia saat berbuka puasa, dan bahagia saat bertemu dengan Tuhannya.” Maksud hadist itu apa ustadz.?” Tanya jamaah lagi penasaran.

“Nah.... pertanyaannya bagus nih. Begini, karena puncak kebahagiaan itu hanya ada setelah melewati perjuangan.” Tegas ustadz singkat.

“Maksudnya...?” Tanya jamaah penasaran.

“Saya tanya, mana yang lebih nikmat antara saat buka puasa dengan santap sahur?” Tanya ustadz.

“Mmmmmm...(sambil mikir membanding). Santap sahur memang nikmat, tapi masih lebih nikmat santap buka puasa, pak ustadz.” Jawab jamaah.

“Nah..mengapa demikian? Karena saat berbuka puasa kita telah melewati perjuangan. Yaitu perjuangan melawan hawa nafsu. Kita tidak makan dan minum. Pada saat kita telah melewati perjuangan itu dengan baik, maka kita akan merasa puas dan bahagia. Dan kebahagiaan itu bukan hanya enak di tenggorokan atau lidah kita, tapi kebahagiaan itu menyerap sampai ke batin kita. Itulah sebabnya, kenikmatan berbuka puasa hanya dirasakan oleh oleh orang yang menjalaninya. Coba tanyakan kepada yang hadir dalam acara bukber ini. Nah, di sana hadir non muslim yang tidak berpuasa, atau muslim yang tidak sedang berpuasa. Apakah mereka merasakan kenikmatan yang di rasa oleh orang yang sedang berpuasa? Pasti tidak. Padahal menu-nya sama, porsinya sama. Namun kebahagiaan dan kenikmatan mereka hanya sampai mulut dan tenggorokan. Namun bagi orang yang berpuasa, rasa nikmat dan bahagia menyerap sampai ke dalam batin. Intinya, PUNCAK KENIKMATAN ITU ADA PADA PASCA MELEWATI PERJUANGAN. Itulah rahasia hadits tadi. Belum lagi kebahagiaan saat bertemu dengan Allah.” Ustadz menjelaskan panjang lebar .

“Lalu, yang dimaksud dengan bahagia saat bertemu dengan Tuhannya, apa pak ustadz?” Tanya jamaah lagi.

“Begini, satu-satunya ibadah yang amalannya tidak terlihat orang lain adalah puasa. Iya kan? Coba deh kalau kita shalat, masih kelihatan orang kan? Apalagi ibadah haji? Iya gak?. Nah oleh sebab itu dalam hadits Qudsi Allah swt menyatakan bahwa ibadah puasa spesial untuk-Ku, dan aku sendiri yang urus balasannya. Ini menunjukkan keagungan ibadah puasa ini. 

Nah, jika Bapak disuruh secara rahasia oleh atasan bapak untuk melakukan tugas, lalu cuma bapak dan atasan yang tahu tentang misi rahasia itu, kemudian bapak melaksanakannya dengan baik. Kira-kira apa yang bapak dapatkan dari atasan bapak? Pasti sesuatu yang istimewa kan?dan bagaimana perasaan bapak saat menerima hadiah atau imbalan yang istemewa itu? Pasti bahagia dong..? 

Nah...begitu juga dengan orang yang berpuasa, dia dengan segala kepatuhannya melaksanakan tugas rahasia dari Tuhannya, maka saat bertemu dengan Allah Sang Pencipta Alam pastinya orang itu akan bahagia, terlebih mendapat balasan dari Tuhannya yang Maha Pengasih dan Penyayang itu. “ Ustadz menerangkan panjang lebar..

“Pak ustdaz, sudah iqomat tuh..Yuk kita shalat maghrib. Terima kasih pak ustadz atas penjelasannya.” Ujar jamaah mengakhiri dialog.

Kamis, 24 Mei 2018

Syetan Dibelenggu Selama Bulan Puasa, Kok Masih Banyak Yang Bermaksiat?


SENTILAN-SENTILUN ALA UJ (Ust Jamhuri)

Syetan Dibelenggu Selama Bulan Puasa, Kok Masih Banyak Yang Bermaksiat?

“Ustadz, kata ustadz dalam tausiyah tadi, di bulan Ramadhan ini, syetan-syetan dibelenggu sehingga tidak bisa menggoda manusia, tapi kok kenyataannya, masih banyak orang yang tidak berpuasa? Bahkan masih banyak orang yang berbuat maksiat?” Tanya seorang jamaah usai sholat taraweh.

“Pernyataan bahwa  syetan dibelenggu di bulan Ramadhan itu bukan ucapan saya, itu ucapan Nabi saw, saya mah hanya meneruskan saja..” jawab ustadz.

“Iya pak ustadz, itu hadits Nabi saw, nah bagaimana pak ustadz menjawab pertanyaan saya?” Desak Jamaah.

“Begini, itu kan hadits Nabi saw panjang sekali, intinya semua yang dikabarkan Nabi saw dalam hadist itu bersifat hal-hal yang ghaib, seperti dibukanya pintu surga, ditutupnya pintu neraka, dilipatkannya pahala amal shaleh, amalan sunnah diganjar dengan pahala wajib dan pahala ibadah wajib dilipatgandakan, iya kan?” Ustadz balik bertanya.

“Hmmm..maksudnya ustadz?”. Jamaah penasaran.

“Lha? Pahala..., surga.., neraka.. kan perkara ghaib..? Iya gak?” Tanya ustadz lagi.

“Iya ustadz !” jawab Jamaah.

“Nah, begitu juga dengan kalimat ”syetan” yang ada dalam hadist tersebut. Kata “syetan” dalam hadist itu adalah syetan yang ghaib, yang gak kelihatan mata”. Tambah ustadz.

“Lha? Terus, apa hubungannya dengan pertanyaan saya ustadz? Kok syetan dibelenggu, tapi masih banyak manusia yang bermaksiat?” Tanya Jamaah kembali.

“Di dalam al-Quran, syetan itu ada dua: “setan jin” dan “setan manusia”, istilah quran-nya “syayathinal insi wal jinn”, atau “minal jinnati wan naas”. Nah, selain syetan ghaib yang selalu menyuruh kepada keburukan, dalam diri manusia juga terdapat nafsu yang selalu mengajak kepada keburukan (innan nafsa la-ammarotun bis-suu’). Nah, karena yang disebut hadits itu adalah perkara-perkara yang ghaib, maka syetan yang dibelenggu dalam hadist itu adalah syetan yang ghaib, yang tidak terlihat, yang dari bangsa jin. Sedangkan Syayatinal insi atau setan manusia itu masih bebas berkeliaran. Bahkan ada yang menjadi MBAH-nya SYETAN !” Kata ustadz sambil melototkan matanya ke arah jamaah tersebut.

“Apa? MBAHnya setan? Memangnya ada ustadz, mbahnya setan manusia?” Tanya jamaah.

“Lha banyaak...”Talbis Iblis” itu kan artinya adalah tipuan iblis...sejarah pertama tipuannya adalah, statemen Iblis kepada nabi Adam dan Hawa bahwa buah yang dilarang itu dia sebut syajaroh khuldi (pohon keabadian). Iblis itu mengemas suatu yang dilarang dan keji dengan nama yang indah-indah...contohnya: pornografi dia sebut seni ekspresi, LGBT disebutnya kebebasan HAM, malah sekarang ada pula yang membolak-balikkan sesuatu yang sudah pakem. Contohnya, dulu ada himbauan “Hormatilah Orang Yang Sedang Berpuasa”, Sekarang dibalik menjadi “Hormatilah Orang Yang Tidak Puasa”. Dahulu orang yang sedang berisik di sekitar mesjid diingatkan dengan tulisan, “Hormatilah Orang Yang Sedang Shalat” , sekarang berubah menjadi “Hormatilah orang yang tidak sholat, maka jangan adzan pake speaker”...Dulu, penjual makanan di siang hari di bulan Ramadhan gak berdagang karena menghormati orang yang puasa, sekarang malah didukung oleh LSM dan Tokoh...” Jelas ustadz secara panjang lebar.

“Ohh..gitu..bener juga ya pak ustadz?” ujar jamaah sambil mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju. “Tapi, pak ustadz, LGBT bukannya diperbolehkan dalam Islam? Bukankah Islam tidak membedakan warna kulit manusia?, yang penting taqwanya?” Tanya jamaah protes.

“Memangnya LGBT itu singkatan apa? ” Tanya ustadz pura-pura tidak tahu.

“Saya pernah dapat broadcast WA di HP saya, LGBT itu singkatan dari Laki Gelap Bini Terang?” jawab jamaah polos.

 “Eeit, bapak nyinggung saya ya?” Ustadz menimpal (kebetulan ustadznya kulitnya warna hitam, dan isterinya bening....hehe)

 “LGBT itu siangkatan dari Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transexual...tauuuu?” tambah ustadz  sambil sedikit kesal namun senyum...

Rabu, 23 Mei 2018

Puasa; Semakin Mulutnya Bau, Semakin Wangi Kaya Kesturi? Masa sih...?


Sentilan Sentilun Ala U.J. (Ust. Jamhuri)
Puasa; Semakin Mulutnya Bau, Semakin Wangi Kaya Kesturi? Masa sih...?

“Ustadz, saya bingung dengan hadist Nabi saw, katanya, bau mulutnya orang puasa itu wangi bagaikan kesturi disisi Allah? Berarti, semakin bau mulut kita, semakin wangi dong di sisi Allah?” Tanya jamaah usai shalat taraweh.

“Yang bikin bingung memang apanya?” Ustadz balik tanya.
“Begini pak ustadz, Islam kan mengajarkan kita hidup bersih, bahkan kita dianjurkan memakai wewangian, kok di puasa mulut yang bau sama dengan wanginya kesturi? Berarti kita mendingan gak sikat gigi aja...biar mulut semakin bau sehingga semakin wangi di sisi Allah?.” Jamaah menjelaskan.

“Itu disebabkan bentuk kepasrahan dan ketundukan” jawab ustadz singkat.
“Maksudnya apa ustadz?” tanya jamaah penasaran.

“Semakin tunduk dan pasrah pada perintah Allah, semakin dimuliakan Allah, betapapun kondisinya” ustadz mulai menjelaskan.

“Bisa diperjelas lagi ustadz?” tanya jamaah.

“Bapak pernah ikut pramuka atau kepanduan? Atau ikut Outbond?” Tanya ustadz.

“Pernah dulu di SMA ustadz, Outbound juga pernah waktu perusahaan mengadakan Training Leadership” Jawab jamaah.

“Nah, saat bapak ikut kemah atau outbond, kita pernah kan seharian gak mandi, bahkan kita diperintah merangkak di selokan air yang kotor, baju kita kotor, gak mandi, gak bersih-bersih sampai menjelang maghrib baru selesai dan baru boleh bersih-bersih? Iya kan?” Tanya ustadz.

“Betul, ustadz.” Jawab jamaah.

“Nah, saat itu kita lakukan karena kita taat pada perintah komandan atau ketua regu, dan tak seorang pun membantah perintah mereka, karena kita takut sangsi atau tidak mau dikatakan sebagai peserta yang membandel, sehingga kita rela berkotor-kotor dan gak mandi seharian, apalagi sikat gigi, bahkan kadang kita tidak sempat ganti pakaian selama 2 hari, walaupun pakaian kita sudah terasa bau dengan keringat. Iya kan?, Nah demikian juga dengan kita terhadap Allah, Allah suka kepada kita jika kita mentaatinya walaupun resiko keadaan yang tidak kita inginkan. Sebagai contoh, dalam ibadah haji, selama ihrom, jamaah dilarang memakai baju berjahit bagi lelaki, tidak boleh pakai wewangian dalam bentuk apapun, agar mereka sadar akan jati dirinya bahwa saat wafat, mereka hanya berpakaian kain kafan, jenazah akan bau seperti bangkai. Sehingga mereka akan merenung tentag akhir hidup ini. Mereka rela meninggalkan kemewahan pakaian dan wewangian karena tunduk akan perinah Allah sehingga Allah menyukai mereka karena mereka tunduk akan perintah Allah, Hingga dalam hadist qudsi Allah swt berkata pada Malaikat, “Wahai para Malaikat, lihatlah hamba-hambaku, mereka datang dari jauh dalam keadaan pakain berkumal-kumal dengan debu  semata-mata ingin mendapat ampunanKu, saksikanlah bahwa Aku telah mengampuni dosa mereka.”. Di sini Allah membanggakan orang seperti itu di hadapan para malaikatNya.” Ustadz menjelaskan panjang lebar.

“Tapi ustadz, berarti sejak pagi kita gak usah sikat gigi kalau sedang puasa, supaya tambah bau?” Tanya jamaah lagi.

 “Bukan baunya yang dinilai, tapi kepatuhannya kepada Allah. Sebab orang puasa yang tidak makan dan minum biasanya akan terjadi perubahan dalam mulutnya sehingga tidak sedap,  sementara ada segolongan manusia –terutama orang elit- tidak mau puasa karena alasan takut bau mulutnya sedangkan mereka tidak terbiasa.  Ada pula orang yang terbiasa merokok atau “ahli hisap” jika gak merokok, mulut terasa asem, lalu benci pada puasa, maka hadist itulah menjadi jawabannya. Dan oleh sebab itu, para ulama pun tidak menyarankan sepanjang hari tidak bersiwak atau bersikat gigi. Mereka membolehkan bersiwak atau bersikat gigi di pagi hari hingga waktu zhuhur (zawal). Artinya disini Islam tetap menganjurkan kebersihan dan keindahan, tapi di sisi lain, Allah juga menguji ketundukan dan kepatuhan hamba-hambaNya,” Ujar Ustadz menambah keterangannya.  

“Ohh...begitu...artinya Islam menjaga keseimbangan ya ustadz?” tanya jamaah meyakinkan. “Benar” jawab ustadz. “Udah yah saya pamit pulang, rumah saya jauh, takut kemalaman dan ngantuk di kendaraan.” Tambah ustadz menutup dialognya. (Oleh: Muhammad Jamhuri)

Selasa, 22 Mei 2018

TIDUR ORANG PUASA ITU IBADAH: BANYAK TIDUR, BANYAK PAHALA? AH,YANG BENAR..?


“Pak ustadz, saya mendengar hadits Nabi saw, bahwa tidurnya orang puasa itu adalah ibadah? Berarti orang puasa itu kalau banyak tidur banyak pahalanya dong?” tanya seorang jamaah taraweh usai shalat taraweh.

“Itu hadis menjelaskan tentang keutamaan ibadah puasa, bukan keutamaan tidur?” Jawab ustadz. “Maksudnya ustadz?” Tanya jamaah.

“Tidur orang puasa itu bernilai ibadah karena ikut dengan kondisi dia sedang puasa. Jadi, yang bernilai ibadahnya adalah puasanya, bukan tidurnya. Cuma, karena tidurnya dilakukan bersamaan dia sedang ibadah puasa maka tidurnya pun bernilai ibadah.” Jelas ustadz panjang lebar.

“Bisa diperjelas lagi ustadz?” pinta jamaah.

“Begini, satunya-satunya ibadah yang dapat dilakukan secara mandiri dan dapat dilakukan sambil tidur adalah puasa. Bayangkan, bisa gak sholat dilakukan sambil tidur? Gak ‘kan..? Atau ibadah haji, lalu dia thawaf dengan mandiri sambil tidur? ‘Kan, gak bisa kalau gak dibantu orang mendorong dia thowaf?,  Atau zakat? Bisa gak sambi tidur dia bayar zakat? Gak mungkin kan? Nah..satu-satunya ibadah yang bisa dilakukan secara mandiri sambil tidur adalah puasa. Karena meskipun seseorang sedang tidur, tapi kan dia juga sedang puasa? Sedang ibadah? Oleh sebab itu, bukan tidurnya yang ibadah tapi puasanya. Jadi menurut hemat saya, hadist itu menjelaskan bahwa orang yang sedang tidur dalam keadaan puasa maka dia tetap sedang beribadah, yaitu ibadah puasa, bukan ibadah tidur”. Jelas ustadz panjang lebar.

“Jadi kaitannya dengan pertanyaan saya tadi apa ustadz?” tanya jamaah.

“Jadi, pemahaman bahwa banyak tidur maka banyak pahala itu salah. Hadist itu harus dipahami dengam mafhum muwafaqoh. Yakni, kalau puasa dalam kondisi tidur saja mendapat pahala, apalagi jika sambil tilawah al-quran, zikir, sedekah dan lain-lain, maka pahalanya lebih berlipat ganda...” Jawab ustadz.

“Tapi kan itu cuma sunnah ustadz?”  sanggah jamaah.

“Nah ini ni...ini lagi kesalahan kita...banyak orang salah menyikapi sunnah?” Sahut ustadz.

“Sunnah kan jika dilakukan mendapat pahala dan jika tidak dilakukan tidak apa-apa, pak ustadz? Apanya yang salah?” sanggah jamaah.

“Definisinya benar, tapi yang salah penyikapannya. Kita sering konsentrasi pada bagian akhir definisi sunnah yaitu jika tidak dilakukan tidak apa-apa, akhirnya kita menyepelekan amalan sunnah, kenapa tidak konsentrasi ke bagian pertama definisi itu? Yaitu jika dilakukan akan mendapat pahala? Apalagi di bulan Ramadhan ini, pahala ibadah sunnah diganjar dengan pahala wajib.” Jelas ustadz.

“Benar ustadz, selama ini kita sering salah menyikapi hadist atau fiqih ustadz, terima kasih ustadz.” Ujar Jamaah menutup dialog.


Sentilan-Sentilun UJ (Ust. Jamhuri)