“Pak
ustadz, saya mendengar hadits Nabi saw, bahwa tidurnya orang puasa itu adalah
ibadah? Berarti orang puasa itu kalau banyak tidur banyak pahalanya dong?”
tanya seorang jamaah taraweh usai shalat taraweh.
“Itu
hadis menjelaskan tentang keutamaan ibadah puasa, bukan keutamaan tidur?” Jawab
ustadz. “Maksudnya ustadz?” Tanya jamaah.
“Tidur orang puasa itu bernilai ibadah karena ikut dengan kondisi dia sedang puasa. Jadi, yang bernilai ibadahnya adalah puasanya, bukan tidurnya. Cuma, karena tidurnya dilakukan bersamaan dia sedang ibadah puasa maka tidurnya pun bernilai ibadah.” Jelas ustadz panjang lebar.
“Bisa diperjelas lagi ustadz?” pinta jamaah.
“Begini,
satunya-satunya ibadah yang dapat dilakukan secara mandiri dan dapat dilakukan
sambil tidur adalah puasa. Bayangkan, bisa gak sholat dilakukan sambil tidur? Gak
‘kan..? Atau ibadah haji, lalu dia thawaf dengan mandiri sambil tidur? ‘Kan, gak
bisa kalau gak dibantu orang mendorong dia thowaf?, Atau zakat? Bisa gak sambi tidur dia bayar
zakat? Gak mungkin kan? Nah..satu-satunya ibadah yang bisa dilakukan secara
mandiri sambil tidur adalah puasa. Karena meskipun seseorang sedang tidur, tapi
kan dia juga sedang puasa? Sedang ibadah? Oleh sebab itu, bukan tidurnya yang
ibadah tapi puasanya. Jadi menurut hemat saya, hadist itu menjelaskan bahwa
orang yang sedang tidur dalam keadaan puasa maka dia tetap sedang beribadah,
yaitu ibadah puasa, bukan ibadah tidur”. Jelas ustadz panjang lebar.
“Jadi
kaitannya dengan pertanyaan saya tadi apa ustadz?” tanya jamaah.
“Jadi,
pemahaman bahwa banyak tidur maka banyak pahala itu salah. Hadist itu harus
dipahami dengam mafhum muwafaqoh. Yakni, kalau puasa dalam kondisi tidur
saja mendapat pahala, apalagi jika sambil tilawah al-quran, zikir, sedekah dan
lain-lain, maka pahalanya lebih berlipat ganda...” Jawab ustadz.
“Tapi
kan itu cuma sunnah ustadz?” sanggah
jamaah.
“Nah
ini ni...ini lagi kesalahan kita...banyak orang salah menyikapi sunnah?” Sahut
ustadz.
“Sunnah
kan jika dilakukan mendapat pahala dan jika tidak dilakukan tidak apa-apa, pak
ustadz? Apanya yang salah?” sanggah jamaah.
“Definisinya benar, tapi yang salah
penyikapannya. Kita sering konsentrasi pada bagian akhir definisi sunnah yaitu
jika tidak dilakukan tidak apa-apa, akhirnya kita menyepelekan amalan sunnah,
kenapa tidak konsentrasi ke bagian pertama definisi itu? Yaitu jika dilakukan
akan mendapat pahala? Apalagi di bulan Ramadhan ini, pahala ibadah sunnah
diganjar dengan pahala wajib.” Jelas ustadz.
“Benar
ustadz, selama ini kita sering salah menyikapi hadist atau fiqih ustadz, terima
kasih ustadz.” Ujar Jamaah menutup dialog.
Sentilan-Sentilun UJ (Ust. Jamhuri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar