Kamis, 15 Desember 2011

Mengasihi Anak Yatim


Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin
(QS. Al-Ma’un: 1-3)


Bukan hanya al-Quran yang menganjurkain kita menyantuni dan mengasihi anak yatim, akan tetapi Rasulullah saw melalui hadits-nya pun banyak memerintah umatnya untuk menyantuni anak yatim. Bahkan Nabi saw menjamin akan berdedekatan dengan orang yang menyantuni anak yatim di surga kelak. Beliau bersabda, “Aku dan orang yang memelihara anak yatim dekatnya seperti ini di surga (sambil mengangkat jari tengah dan telunjuk beliau) (al-Hadits).
Keseriusan Rasulullah saw menjamin kedekatannya dengan penyantun anak yatim di surga nanti, karena Rasulullah saw biasa merasakan bagaimana menjadi anak yatim. Beliau bukan hanya mengkhayal bagaimana menjadi seorang yatim. Akan tetapi beliau pernah merasakan bagaimana rasa kasih sayang kedua orang ketika seseorang masih usia kecil sangat dibutuhkan, akan tetapi justru di saat beliau masih kecil hal itu tidak beliau rasakan. Beliau saw terlahir dalam keadaan sudah yatim, ayahnya wafat sejak beliau masih di dalam kandungan ibunya. Kemudian saat usia beliau belum genap setahun, beliau sudah tinggal bersama ibu sususannya bernama Halimah Sa’diyah hingga usia menjelang 6 tahun. Lalu, setelah dikembalikan kepada ibu kandungnya bernama Aminah, ibunya pun harus menemui ajalnya saat mengajak Muhammad kecil berziarah ke makam ayahnya di Abwa (daerah antara Makkah dan Madinah).
Pada usia enam tahun itulah, status Rasulullah saw sudah menjadi yatim-piatu, tak punya ayah dan tak punya ibu. Coba bayangkan dan renungkan jikalau kita mempunyai anak se-usia itu, atau se-usia anak TK atau SD kelas 1, kemana anak kita akan memanggil “ayah”? Kemana akan memanggil “ibu”? Apalagi jika ingin memenuhi kebutuhannya sebagaimana anak-anak lain yang lengkap memilki ayah dan ibu?
Itulah sebabnya Rasulullah saw sangat menekankan kita menyantuni dan mengasihi anak yatim. Bahkan Rasulullah saw sendiri pernah memikirkan nasibnya yang seorang diri berjuang dan berdakwah di Makkah, mulai kecil hingga dewasa terasa sendiri menanggung hidup ini. Sehingga beliau diingatkan dengan dua surat yang dapat melapangkan dada beliau. Kedua surat itu adalah surat Adh-Dhuha dan al-Insyirah yang keduanya terletak escara berurutan dalam al-Quran. Perhatikanlah ayat demi ayat yang menghibur hati Rasulullah saw:
(1) Demi waktu matahari sepenggalahan naik
(2) dan demi malam apabila telah sunyi (gelap)
(3) Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu
(4) Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan)
(5) Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.
(6) Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu?
(7) Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk
(8) Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan
(9) Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu berlaku sewenang-wenang
(10) Dan terhadap orang yang minta-minta, janganlah kamu menghardiknya
(11) Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan

Kemudian dikuatkan lagi dengan surat al-insyirah:
(1) Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?,
(2) dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu
(3) yang memberatkan punggungmu
(4) Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu
(5) Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan
(6) sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan
(7) Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain
(8) dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap

Dalam surah adh-Dhuha ada beberapa kiat jitu saat menghadapi problema, baik problema kesulitan hidup seakan menjadi beban sendirian, maupun merasa kebingungan, merasa serba kekurangan, merasa perjuangan selama ini sia-sia. Kiatnya adalah menyantuni fakirr mskin, mengasihi anak yatim (berpihak pada kaum lemah), mensyukuri nikmat yang ada, dan merasa optimis bahwa hasil akhir akan lebih baik dari kesulitan yang sedang dihadapi.
Sementara itu, dalam surah al-Insyirah, kita dapat mengambil beberapa pesan dan pelajaran sebagai berikut:
Saat Nabii saw melaksanakan perintah Allah swt dalam surah ald-Dhuha, maka Allah pun  melapangkan dada Nabi Muhammad saw, mengangkat segala beban hidup, mengangkat derajat dan nama baiknya, mendatangkan kemudahan setelah kesulitan. Dan mengingatkan kembali, bahwa bekerja dan berjuang jangan pernah mengenal istirahat. Jika suatu pekerjaan selesai maka segera melaksanakan pekerjaan lain..
Pesan inti dari materi kita hari ini adalah, bahwa jangan pernah ragu untuk menyantuni anak yatim. Apalagi jiika kita ingin keluar dari segala problema dan beban hidup, maka menyantuni anak yatim menjadi salah satu cara mujarrob dalam menyelesaikan urusan hidup kita.
Pernah seorang pengusaha yang pernah kami bimbing dalam ibadah haji bercerita kepada saya, “Pak ustadz,  jika saya mengalami kelesuan dalam usaha saya, saya segera datang ke panti asuhan anak yatim, saya beri oleh-oleh untuk mereka, bahkan saya ajak mereka bermain ke tempat rekreasi. Hasilnya? Rezeki Allah pun berdatangan dengan tidak diperkirakan sebelumnya.”  anda mau mencoba?
M. Jamhuri

Rabu, 14 September 2011

Seluruh Potensi Kita Hanya Untuk Allah


Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam (QS: al-An’am:  162)



Rasulullah saw bersabda, “Islam dibangun di atas lima lamdasan: Bersaksi bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji bagi yang mampu” (HR Bukhori Muslim).
Dari hadits tersebut, ulama mengklasifikasi ibadah dalam empat bentuk;
Pertama, ibadah hati dan dzikir, berupa keyakinan dan ucapan. Ibadah ini dsimbolkan dalam rukun Islam pertama yakni dua kalimat syahadat. Ibadah ini menunjukkan keyakinan, ideologi, serta visi dan misi hidup kita. Adapun selain dua kalimat syahadat, ada pula ibadah zikir lainnya, seperti istighfar (visi bahwa kita selaku hamba punya kesalahan dan harus selalu mohon ampun), tasbih (keyakinan akan kemahasucian Allah), takbir (pengakuan akan kemahabesaran Allah), tahmid (keyakinan bahwa pujian hakiki hanya milik Allah) dan lain sebagainya. Semakin kita baca berulang, semakin kita merendah diri di hadapan Allah.
Kedua, ibadah fisik. Dalam ibadah ibadah ini seluruh fisik kita diserahkan kepada Allah, baik berupa anggota tubuh maupun panca imdera kita. Ibadah jenis ini disimbolkan dengan shalat. Dalam shalat,  seluruh fisik kita tundukkan di hadapan Allah swt. Shalat yang fardhu ada lima waktu dalam sehari semalam. Akan tetapi shalat sunnah memiliki ragam yang banyak. Dalam ibadah ini ada suatu pesan bahwa hendaknya kita menempatkan segala anggota tubuh dan panca indera kita serta seluruh fisik kita untuk diabdikan kepada Allah SWT. Mata yang  kita miliki hanya kita gunakan untuk sesuatu yang mendatangkan ridho Allah, begitu juga tangan, kaki, telinga, dan lainnya.
Ketiga, ibadah harta. Bentuk ibadah ini disimbolkan dengan zakat. Zakat merupakan harta tertentu yang kita miliki yang harus kita keluarkan untuk diberikan kepada golongan tertentu. Yang disebut dengan harta adalah segala kekayaan yang kita miliki . Akan tetapi dalam zakat. Hanya harta tertentu yang memenuhi kriteria yang harus dikeluarkan zakatnya. Tidak semuanya. Akan tetapi ibadah harta dalam bentuk infak dan sedekah dibolehkan mengeluarkan hartanya untuk ibadah, meskipun harta tersebut tidak memenuhi kriteria yang terdapat pada zakat,  model ibadah harta ini memberi pesan kepada kita, bahwa segala potensi kekayaan yang kita miliki hendaknya diarahkan untuk diabdikan pada Allah SWT. Jadi bukan hanya fisik dan tubuh kita saja yang harus kita serahkan pada Allah agar bernilai ibadah, akan tetapi segala potensi harta yang kita miliki hendaknya juga digunakan pada jalan yang dapat mendatangkan keridhoan Allah SWT.
Keempat, ibadah hasrat, syahwat, keinginan dan cita-cita. Ibadah dalam bentuk ini disimbolkan dalam bentuk ibadah puasa. Dalam ibadah ini segala keinginan dan hasrat serta syahwat harus kita kendalikan agar mendapat keridhoan Allah swt.
Puasa yang wajib terdapat pada bulan Ramadhan, sedangkan puasa sunnah banyak pula ragamnya. Intinya, model ibadah ini memberi pesan kepada kita agar segala keinginan, hasrat, syahwat bahkan cita-cita harus kita arahkan sesuai dengan hukum Allah swt serta kita jadikan sebagai bagian yang dapat mendatangkan keridhoan Allah swt.  Oleh karena itu, Allah mensyari’atkan nikah dan melarang zina, agar syahwat itu dapat disalurkan sesuai hukum Allah dan bernilai ibadah yang mendatangkan keridhoan Allah swt.
Itulah empat bentuk ibadah dalam Islam yang dismbolkan dengan dua kalimat syahadat (ibadah keyakinan dan zikir), shalat (iabdah fisik), zakat (ibadah harta) dan puasa (ibadah hasrat, syhawat, keinginan dan cita-cita). Lalu, bagaimana dengan ibadah haji? Ibadah ini sebenarnya mencakup empat ibadah tadi. Sebab, dalam ibadah haji terdapat ibadah keyakinan dan zikir berupa bacaan talbiyah, Juga terdapat ibadah fisik berupa thawaf dan sa’i. Ada pula ibadah harta, karena untuk berangkat ke Makkah harus dengan biaya perjalanan ibadah haji (BPIH), dan dalam haji pun terdapat ibadah menahan syahwat dan hasrat karena selama masih ihrom dilarang melakukan hal-hal yang dilarang yang salah satunya bergaul suami -isteri.
Itulah sebabnya ketika Allah menyebutkan bahwa bulan sabit itu diperuntukkan untuk haji tanpa menyebut ibadah lainnya padahal ibadah lain pun terkait dengan waktu, karena  ibadah haji mencakup empat bentuk ibadah tersebut. Allah berfirman “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji” (QS: al-Baqarah 189)
Dari uraian di atas, jelaslah, bahwa seluruh diri dan potensi yang kita miliki hendaknya kita abdikan untuk Allah swt, sesuai dengan  bacaan yang kita baca saat shalat, ““Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam “ (QS: al-An’am:  162)
Serta sesuai dengan firman Allah swt yang artinya, “ Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat: 56).)I(

Muhammad Jamhuri

Minggu, 04 September 2011

Ternyata Kita Bisa Hidup Dengan Syariat

Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur  (QS: al-Baqarah:  185)

 Ayat di atas sudah sering kita dengar pada bulan Ramadhan lalu. Ya, ayat ini berisi agar kita menyempurnakan bilangan puasa Ramadhan kita, serta perintah bersyukur atas hidayah yang Allah telah berikan berupa syariat ini, seraya bertakbir mengagungkan asma Allah di hari ied seusai berpuasa Ramadhan.
Perintah bersyukur atas hidayah dan petunjuk Allah berupa syariat puasa dan lainnya, menunjukkan bahwa betapa syariat ini begitu sempurna. Tidak ada ajaran lain yang begitu sempurna selain ajaran syariat Islam. Salah satunya adalah berpuasa Ramadhan.
Dalam Ramadhan, betapa banyak dimensi  manfaat  yang kita dapatkan. Di sana ada dimensi sprtual, dimensi menahan emosianal, dimensi kejiwaan, dimensi sosial, dimensi kehidupan beragama (tadayun sya’bi), bahkan dimensi ekonomi. Hampir semua kelompok masyarakat diuntungkan dengan datangnya bulan Ramadhan. Bahkan masyarakat non muslim selkalipun banyak diuntungkan dengan datangnya Ramadhan terutama dari sisi manfaat ekonomi. Inilah salah satu manfaat syariat Islam ditegakkan yang mengandung rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin).
Dalam Ramadhan pun, disadari atau tidak, kita telah melakukan revolusi menghidupkan dan menerapkan sebagian dari syariat Islam. Bahkan kita telah merevolusi kebiasaan-kebiasaan kita yang sebelumnya berbeda dengan kebiasaan yang kita rasakan di bulan Ramadhan. Jika di luar Ramadhan kita tidak pernah bangun sebelum subuh, jarang membaca al-Quran, jarang menunggu waktu shalat, jarang melakukan ibadah sunnah, jarang shalat berjamaah di masjid, dan tidak pernah empatii kepada sessama. Akan tetapi selama Ramadhan kebiasaan itu bisa kita ubah seratuis delapan  puluh derajat. Kita bangun sahur, rajin membaca al-Quran, suka menunggu datangnya waktu shalat, mengamalkan amalan sunnah, shalat berjamaah di masjid,, dan empati serta peduli kepada sesama.
Hal ini membuktikan bahwa kita mampu melakukan revolusi diri untuk hidup sesuai dengan syariah, sesuai dengan yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Dan betapa kenikmatan yang kita rasakan saat kita, keluarga kita, masyarakat kita, dan bangsa kita, bersama-sama secara kolektif melakukan kebiasaan baik itu  yang sesuai dengan syariat.
Alangkah indah jika kebiasaan baik yang dianjurkan dan diperintah oleh syariah itu terus dapat kita lanjutkan pasca Ramadhan.; Bukankah fungsi dari ibadah puasa yang kita lakukan di bulan Ramadhan lalu adalah agar kita selalu bertaqwa? (la’allakum tattaqun)? Disini, sengaja Allah SWT menggunakan kata tattaqun dengan fi’il mudhori’ (present continius tense) pada ayat itu, karena fi’il mudhori’ mengandung pesan makna  lil istimror (kontinyuitas, berkesinambungan). Kebiasaan baik yang sesuai dengan syariah itu bukan hanya dilakukan di bulan Ramadhan saja, namun juga dilanjutkan pasca Ramadhan. Bukankah al-Quran yang kita baca di bulan Ramadhan sama dengan al-Quran di bulan lain? Bukankah shalat fardhu berjamaah yang kita lakukan di bulan Ramadhan sama dengan shalat yang kita lakukan di bulan lain? Bukankah perintah sedekah di bulan Ramadhan juga diperintahkan di bulan lain? Lalu mengapa kita meninggalkan tilawah al-Quran setelah Ramadhan berlalu? Mengapa kita meninggalkan shalat berjamaah di masjid  setelah Ramadhan berlalu? Mengapa kita jarang bersedekah setelah Ramadhan berlalu? Bukankah Tuhan yang kita patuhi di bulan Ramdhan adalah juga Tuhan yang harrus kita patuhi di bulan lain? Bukan Nabi yang memerintahkan kebajikan di bulan Ramdhan adalah Nabi yang memerintahkan kebaikan disetiap saat? Rasulullah saw bersabda, “Bertaqwalah kamu dimanapun kamu berada”.
Jika selama bulan Ramadhan, kita, keluarga kita, masyarakat kita dan bangsa kita telah  menghadirkan syariat Islam yang indah dan menjadi rahmatan lil ‘alamijn bagi semua, mengapa kita tidak hidupkan syariat Islam itu setelah Ramadhan? Sehingga fungsi rahmatan lil’alamin itu bukan hanya terasa selama sebulan saja, namun sepanjang tahun, bahkan sepanjang hayat.
Tidak usah dahulu kita dirasuki oleh kengerian sebagian orang dengan bahaya syariat Islam.  Kita hadirkan saja syariat Islam secara konsekkuen semampu yang bisa kita lakukan, maka setiap orang akan rindu diterapkannya syariat Islam yang rahmatan lil alamain. Dan tidak usah kita merasa pesimis dapat menerapkan syariat Islam secara kolektif dalam lingkup bangsa dan Negara. Pengalaman selama Ramadhan telah menunjukkan bangsa ini mampu menghadirkan kebiasaan baik selama Ramadhan, dan setiap kita telah melakukan revoluisi kebiasan diri, dari yang kurang baik menjadi lebih baik lagi. Dengan demikian sebenarnya Ternya kita Mampu Hidup dengan Syariat.#

.(Muhammad Jamhuri)

Rabu, 16 Maret 2011

Keutamaan Shalat Dhuha

Demi Dhuha (waktu matahari sepenggalahan naik )dan demi malam apabila telah sunyi (gelap) Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu”
(QS: Adh-Dhuha: 1-3)

Dalam ayat ini Allah swt bersumpah dengan waktu dhuha, yakni saat matahari sepenggalahan naik, atau sekitar pukul 07.00 pagi hingga pukul 11.00 menjelasng siang. Bersumpahnya Allah dengan waktu dhuha ini, menunjukkan bahwa waktu dhuha amat sangat penting.

Rasulullah saw selalu melazimkan shalat sunnah di waktu dhuha, atau yang dikenal dengan shalat dhuha. Bahkan Rasulullah saw pernah berwasiat kepada Abu Hurairah untuk melazimkan shalat dhuha ini. Sebagaimana Abu Hurairah menceritakan, “Kekasihku Abul Qosim (Rasulullah saw) berwasiat kepadaku dengan tiga hal: yakni (mengerjakan) shalat witir sebelum tidur, puasa tiga hari di setiap bulan, dan mengerjakan dua rakaat shalat dhuha” (HR: Muslim).

Bahkan dalam hadits lain Rasulullah saw menjelaskan bahwa shalat dhuha dapat mencover berbagai amal kebaikan dan sedekah. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Setiap pagi setiap tulang (persendian) dari kalian akan dihitung sedekah, oleh karena itu setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, amar ma’ruf (memerintah kebaikan) adalah sedekah, nahi munkar (mencegah kemungkaran) adalah sedekah, dan hal itu cukup dilakukan dengan mengerjakan dua rakaat shalat dhuha” (HR; Muslim)

Dalam hadits lain, Rasulullah menyampaikan hadits qudsi (hadits yang merupakan firman Allah swt namun redaksinya dari Nabi saw) bahwa dengan shalat dhuha, Allah SWT akan menjamin kebutuhan orang yang melaksanakannya. Dari Nuaim bin Himan al-Ghothofani, dari Rasulullah saw , dari Tuhannya berfirman, “Hai anak Adam, shalatlah untuk-Ku empat rakaat di permulaan siang, maka akan Aku cukupkan engkau di penghujungnya”.

Selain itu, keutamaan shalat dhuha juga menyamai pahala ibadah umroh. Ini tentu saja menjadi kabar gembira untuk kita semua yang sudah rindu ke tanah suci. Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa berjalan hendak melaksanakan shalat wajib sedangkan dia dalam keadaan bersuci, maka seperti pahala orang berhaji yang sedang ihram. Dan barangsiapa berjalan hendak mengerjakan shalat dhuha, tidak ada tujuan lain kecuali shalat itu, maka pahala seperti orang melaksanakan umroh, dan mengerjakan shalat dengan shalat lain tanpa diselingi perbuatan sia-sia, maka dia ditulis sebagai golongan-golongan orang yang mendapat tempat yang tinggi”,

Shalat dhuha dapat dilakukan sebanyak dua, empat, enam, delapan hingga dua belas rakaat, sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits di atas. Di antara hadits lain yang menjelaskan hal itu adalah sebagai berikut:

Dari Abdullah bin umar ra berkata, aku bertemu Abu Dzar dan berkata padanya, “wahai paman!, berilah kepadaku kilasan kebaikan”. Abu Dzar berkata, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw, seperti yang engkau tanyakan padaku, maka Rasulullah saw bersabda, “Jika engkau mengerjakan shalat dhuha dua rakaat maka engkau tidak tercatata sebagai golongan orang-orang yang lalai, jika engkau mengerjakan shalat dhuha empat rakaat maka engkat tertulis sebagai golongan orang-orang yang berbuat baik (muhisnin), jika engkau mengerjakan shalat dhuha enam rakaat, maka engkau ditulis sebagai golongan orang-orang yang mempunyai kehormatan, jika engkau mengerjakan shalat dhuha delapan rakaat maka engkau ditulis sebagai golongan orang-orang yang mendapat keberuntungan, dan jika engkau mengerjakan shalat dhuha sepuluh rakaat, maka tidak ditulis padamu di hari itu suatu dosa, dan jika mengerjakannya duabelas rakaat, maka Allah akan membangun untukmu istana di surga (hadis ini juga terdapat dalam kitab al-jami’)

Hadist di atas diperkuat dengan hadits lain yang berkaitan dengan keutamaan shalat dhuha. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya di dalam surga itu ada sebuah pintu yang disebut pintu Dhuha, jika datang hari kiamat maka pintu itu memanggil-manggil, ‘manakah orang-orang yang selalu melazimkan shalat dhuha? Inilah pintu kalian, masuklah ke dalamnya dengan rahmat Allah!” (Abu Hurairah)

Adapun cara pelaksanaan shalat dilakukan seperti shalat-shalat sunnah lain, hanya saja niatnya adalah melaksanakan shalat dhuha. Demikian juga bacaan surah, dibolehkan membaca surat apa saja dari al-quran setelah membaca surat al-fatihah, akan tetapi disunnahkan membaca surat asy-syams pada rakaat pertama setelah membaca al-fatihah, dan surat adh-dhuha pada rakaat kedua setelah bacaan al-fatihah. Sebagaimana hadits saw: Dari Uqbah bin Amir ra berkata, “Kami diperintahkan Rasulullah saw mengerjakan shalat dhuha dua rakaat dengan membaca dua surat, yakni wasy-syamsi wa dhuha-ha (surat asy-Syams), dan wadh-dhuha (surat adh-Dhuha).

Melihat keutamaan shalat dhuha di atas, kita perlu mengalokasikan waktu untuk melaksanakannya di tengah-tengah kesibukan kita bekerja. Sebab, dengan shalat dhuha tersebut, usaha duniawi kita akan terbantukan dalam menggapai kesuksesan. Untuk itu jika mungkin kita berangkat ke tempat kerja dalam keadaan suci sambil membawa sajadah, dan bisa melakukan shalat dhuha di samping meja kerja kita, atau di tempat kerja kita barang 5 sampai 10 menit.

Bagi sekolah-sekolah Islam serta pengusaha muslim, ada baiknya sebelum memulai pekerjaan dan sebelum mengajar anak didik, para guru dan karyawan melaksanakan shalat dhuha, sehingga keberkahan demi keberkahan akan datang kepada kita. Amin ya Rabbal ‘alamin.

Senin, 07 Februari 2011

Surat al-Kahfi, Fitnah Dajjal,dan Solusinya

Banyak hadits-hadits Nabi saw yang menjelaskan keutamaan surat al-Kahfi, antara lain:
عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : مَنْ حَفِظَ عَشْرَ آيَاتٍ مِنْ أَوَّلِ سُورَةِ الْكَهْفِ عُصِمَ مِنَ الدَّجَّالِ
Dari Abu Darda, dari Nabi saw bersabda, “Barangsiapa menghafal sepuluh ayat pertama surat al-Kahfi maka dia akan dijaga dari Dajjal (HR: Muslim)

عن أبي سعيد الخدري رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : من قرأ سورة الكهف كما أنزلت كانت له نورا يوم القيامة من مقامه إلى مكة و من قرأ عشر آيات من آخرها ثم خرج الدجال لم يسلط عليه
Dari Abu Said al-Khudri, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa membaca surat al-Kahfi sebagaimana ia diturunkan, maka baginya cahaya pada hari Kiamat dari tempat beridirinya hingga Makkah, dan barangsiapa membaca sepuluh ayat terakhirnya kemudian Dajjal keluar, maka dia tidak akan dapat dikuasainya.(HR: Muslim)

عن أبي الدرداء عن النبي ( صلى الله عليه وسلم ) أنه قال ( من قرأ عشر آيات من آخر سورة الكهف عصم من فتنة الدجال )
Dari Abu Darda, dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda, “Barangsiapa membaca sepuluh ayat terakhir surat al-Kahfi, maka ia terlindung dari fitnah Dajjal”

Hampir seluruh nabi mewasiatkan kepada kaumnya untuk berlindung kepada Allah dari fitnah Dajjal, sebab orang yang mengalami zaman Dajjal akan mendapat ujian iman yang begitu berat. Selain hadits-hadits di atas yang berisi pesan agar kita membaca surat al-Kahfi dan terhindar dari fitnah Dajjal, Rasulullah saw pun menyuruh kita membaca doa perlindungan dari fitnah Dajjal pada saat tahiyat akhir dan sebelum salam dalam shalat-shalat kita.

Lalu, apa hubungannya fitnah Dajjal (akhir zaman) dengan surat al-Kahfi sebagai benteng perlindungan dari fitnah Dajjal?

Dalam surat al-Kahfi terdapat empat kisah:

Kisah pertama; tentang sekelompok anak muda yang beriman kepada Allah SWT dan hidup di tengah pemerintahan yang zhalim, mereka menawarkan Islam namun ditolaknya, kemudian mereka dikejar-kejar, lalu berlindung di gua (kahfi) dan tertidur selama 309 tahun, kemudian tatkala bangkit kembali, keadaan negeri berubah jauh dari sebelumnya dan penduduknya telah beriman kepada Allah. (ayat 14-18)

Kisah Kedua, tentang seorang shohibul Jannatain (pemilik dua kebun) yang telah diberi nikmat Allah, namun mengingkari nikmat itu, dan melupakan Allah serta hari kiamat karena terlena dengan harta meskipun sudah diperingatkan saudaranya.(Ayat 32-42)

Kisah ketiga, Kisah Nabi Musa as dan Khidr, tatkala Nabi Musa ditanya oleh kaumnya, “Siapakah orang paling alim (pintar) di bumi ini?” Musa menjawab bahwa dirinya-lah orang yang paling pintar di dunia. Kemudian Allah mengingatkan nabi Musa as bahwa ada hamba Allah yang lebih pintar dan alim dari dirinya, yang kemudian Musa as pun memohon kepada Allah agar ditunjukkan tempat Khidr yang berada diantara dua pertemuan laut (Majma’ al-bahrain). Namun setelah menuntut ilmu kepada Khidr, Musa as pun tidak tahan dengan sikap Khidr as.(ayat 62-70)

Kisah keempat, tentang Zulkarnain seorang raja yang adil dan menebarkan kebenaran ke seluruh negeri-negeri, hingga bertemu dengan suatu kaum yang hampir tidak dapat dimengerti bahasanya. Namun meskipun beliau mempunyai kekuasaan dan kemampuan, dalam melaksanakan tugasnya beliau masih tetap meminta pertolongan dari pihak lain karena ketawadhuannya. “maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka” (ayat 95)

Keempat kisah di atas mengandung pesan bahwa di dalam kehidupan ini terdapat empat fitnah (ujian) utama:

Pertama, fitnah atau ujian memegang teguh agama. Dalam memegang teguh agama dan menegakkannya, sering kali mendapat tantangan, terutama dari kaum mapan, seperti para penguasa. Hal iini telah dialami para pemuda al-Kahfi (ashabul Kahfi), namun Allah telah menyelamatkan mereka.

Kedua, fitnah atau ujian harta, hal ini di alami oleh salah seorang pemilik kebun seperti yang disebutkan dalam kisah di atas. Dengan hartanya, dia mengingkari Allah, bahkan mengingkari datangnya hari kiamat. Dia berkata: “dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang,” (ayat 38)

Ketiga, fitnah atau ujian ilmu, sehingga seseorang sombong dan mengira dirinya paling pintar serta merendahkan pihak lain, sehingga hilang sifat tawadhu’ dan enggan berkumpul menuntut ilmu bersama yang lain. Hal seperti ini pernah terjadi dalam kisah Nabi Musa as dan Khidr.

Keempat, fitnah atau ujian kekuasaan. Dengan kekuasaannya seseorang melakukan apa saja yang diinginkannya, menebar fitnah serta berbuat kezhaliman. Hal ini berbeda sekali dengan kisah Dzulkarnain sang raja yang adil dan bijak dan menebar kebenaran serta keadilan.
Nah, empat fitnah, atau ujian inilah yang akan terjadi pada saat datangnya Dajjal. Dajjal akan melakukan kezhaliman berupa pemaksaan orang untuk beriman dan beribadah kepadanya serta melupakan Tuhan Allah swt, kemudian memamerkan kemampuannya melakukan sesuatu yang supranatural di luar kemampuan manusia biasa, sehingga manusia mengimaninya. Ini adalah ujian memegang teguh agama (fitnah al-din).

Dajjal juga sanggup memenuhi permintaan orang untuk menurunkan hujan di suatu kawasan, dan dapat merubah pada pasir tandus menjadi kawasan yang subur dan rindang. Ini merupakan bentuk fitnah harta (fitnah al-maal)

Dajjal juga mampu menebar orang-orang yang dapat memberitakan prediksi-prediksi yang akan terjadi sehingga manusia mempercayainya, Ini merupakan bentuk fitnah ilmu pengetahuan (fitnah al-‘ilm)

Dan dengan kekuasannya Dajjal pun dapat memaksakan kehendaknya kepada seluruh negeri (fitnah al-sulthoh/kekuasaan). Keempat fitnah ini merupakan fitnah yang dahsyat bagi kaum muslimin di setiap zaman dan tempat. Oleh karena itu Rasulullah saw telah memberi peringatan agar kita membaca surat al-Kahfi, mentadabburinya, serta merenunginya, terutama pada empat kisah di atas.

Solusi Untuk Empat Fitnah
Jika hadits Nabi saw di atas menyebutkan bahwa membaca surat al-Kahfi dapat melindungi kita dari fitnah Dajjal, maka sebenarnya perintah itu bukan hanya sekedar membacanya, namun juga mentadabburinya serta melaksanakan isinya. Surat al-Kahfi ini, selain menyampaikan empat bentuk fitnah tadi, ia juga menyampaikan empat solusi bagi terhindarnya atau terlindungnya diri kita dari empat fitnah. Empat solusi itu adalah sebagai berikut:
  1. Solusi dalam menghadapi ujian dalam memegang teguh agama (fitnah al-diin) adalah bersahabat dan bergabung dengan kelompok orang-orang shaleh (al-shuhbah al-shalihah). Sebab bagaimana pun juga lingkungan mempunyai peran dalam menjaga keimanan seseorang. Al-Mar-u ‘ala diini kholilihi (seseorang itu tergantung dengan agama temannya). Para Pemuda Kahfi adalah contoh dalam kisah episode mempertahankan keimanan mereka. Perintah bersabar bergaul dengan kelompok orang-orang sholeh ini ditegaskan oleh Allah dalam surat al-Kahfi ini pada ayat 28. وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridhaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas”
  2. Solusi dalam menghadapi fitnah harta (fitnah al-maal) adalah menghilangkan rasa ketergantungan pada dunia. Hal ini dilakukan dengan dua cara, yakni dengan memahami hakikat dunia bahwa dunia akan cepat hilang, dan dengan selalu mengingat akhirat. Dalam memahami hakikat dunia yang bersifat singkat ini telah dijelaskan dalan ayat 45: وَاضْرِبْ لَهُمْ مَثَلَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنزَلْنَاهُ مِنْ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الْأَرْضِ فَأَصْبَحَ هَشِيمًا تَذْرُوهُ الرِّيَاحُ وَكَانَ اللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ مُقْتَدِرًا “Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia seperti air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah, Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
  3. Solusi dalam menghadapi fitnah ilmu adalah dengan sikap tawadhu, baik kepada Allah maupun kepada guru. Ini dilakukan oleh Musa as saat Khidr mensyaratkan agar Musa bersabar dan tidak banyak bertanya hingga semua dijelaskan. Musa as berkata, قَالَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ صَابِرًا وَلَا أَعْصِي لَكَ أَمْرًا Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun”
  4. Solusi menghadapi fitnah kekuasaan adalah sikap ikhlas dan rendah diri dihadapan Allah. Bahwa kekuasan yang dimilikinya haruslah diserahkan kepada Allah, serta meyakini bahwa kekausaan itu adalah amanah yang diberikan Allah swt. Sebagaimana Dzulkarnain dengan segala kekuasaannya masih tetap tawadhu’, dia berkata, قَالَ هَذَا رَحْمَةٌ مِنْ رَبِّي Dzulkarnain berkata: "Ini adalah rahmat dari Tuhanku” (Al-Kahfi: 97)

Namun, yang terpenting dari semua solusi itu adalah adanya gerak da’wah pada setiap elemen masyarakat. Tidak ada satu profesi muslim pun yang diam untuk dakwah dan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Sehingga jika semua komponen melakukan dakwah dan saling mengingatkan, maka kita akan terhindar dari fitnah Dajjal (baca: fitnah akhir zaman). Hal ini dibuktikan dengan empat tokoh dalam empat kisah yang terdapat dalam surat al-Kahfi ini.

  1. Adanya kaum muda yang terus bergerak berdakwah, bahkan berdakwah kepada raja (di level pemerintahan). (kisah Ashabul Kahfi)
  2. Adanya individu yang berdakwah kepada temannya (kisah dua orang sahabat yang mempunyai kebun)
  3. Adanya guru yang berdakwah kepada muridnya dan bukan sekedar mengajar ilmu (kisah Khidr as dan nabi Musa as)
  4. Adanya pemimpin Negara yang berdakwah kepada rakyatnya (kisah Dzulkarnain)
    Semoga kita dapat mengamalkan surat al-Kahfi, baik membacanya,, mentadabburinya serta melaksanakan isinya, sehingga kita terhindar dari fitnah akhir zaman yang semakin berat ini. Amin


http://muhammadjamhuri.blogspot.com/

Rabu, 26 Januari 2011

Al-Ibadah Tsummal Qiyadah (Beribadah Dahulu, Memimpin Kemudian)

Mungkin ketika membaca judul di atas kita bertanya, apa hubungan antara ibadah dan memimpin (qiayadah) ? Toh, banyak orang yang mampu menjadi pemimpin namun tidak dilandasi ibadah?

Pertanyaan di atas mungkin saja timbul jika kita bersikap sekuler, yakni memisahkan urusan dunia (Negara) dengan urusan agama. Akan tetapi jika kita seorang muslim yang kaffah, maka kita harus meyakini bahwa antara ibadah dan qiyadah (memimpin) mempunyai hubungan yang sangat erat, terlebih jika kita adalah seorang dai.

Simak saja ayat yang turun saat Rasulullah saw mendapat tugas sebagai pemberi peringatan untuk pertama kalinya;
يَاأَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ (1) قُمْ فَأَنذِرْ (2) وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ (3) وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ (4) وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ (5) وَلَا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ (6) وَلِرَبِّكَ فَاصْبِرْ (7)
“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan!, dan Tuhanmu agungkanlah!, dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah, dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak, Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah” (QS. Al-Muddatstsir: 1-i7)

Ada 6 (enam) pesan yang sampaikan saat memulai tugas dakwahnya kepada umat manusia:
1. Bangun malam (qiyamullail)
2. Mengagungkan asma Allah (zikrullah)
3. Memberishkan hati dan jiwa
4. Meninggalkan perbuatan dosa
5. Bekerja dengan ikhlas tanpa pamrih
6. Bersabar dalam memenuhi perintah Allah

Jika diamati keenam pesan tersebut, maka hampir seluruhnya adalah merupakan bekal ibadah. Bahkan dalam surat al-Muzammil, Allah SWT lebih spesifik lagi memerintahkan Nabi saw untuk berusaha melakukan qiyamullail, dalam kondisi apapun, meskipun separuh malam, sepertiganya, atau lebih sedikit dari itu. Demikian juga halnya dengan tilawah al-Quran. Sebagian ulama menafsirkan kata “Qoulan Tsaqila” pada surat al-Muzammil dengan makna “Tugas yang Berat”. Dan tugas yang berat ini amat sangat sulit diemban kecuali oleh orang yang mempunyai tingkat ubudiyah dan spiritual yang tinggi.

Pernah, Fatimah puteri Rasulullah saw mengeluhkan beban yang berat dalam mengurus rumah tangga, sehingga beliau meminta kepada Rasulullah saw diberikan seorang pembantu untuk membantu pekerjaan-pekerjaan rumah tangganya. Namun Rasulullah saw bukan mengabulkan permintaannya, malah berkata, “Maukah aku beri engkau sesuatu yang lebih baik dari apa yang kamu minta?” Ketika Fatimah meng-iyakan, Rasulullah saw malah bersabda, “Bacalah Subahanallah, Alhamdulillah dan Allahu akbar, masing-masing sebanyak 33 kali setiap setelah shalat”.

Kisah ini menunjukkan, bahwa kekuatan ibadah dan spiritual berupa tiga bentuk zikir tersebut di atas dapat menggantikan kekuatan seorang pembantu yang membantu pekerjaan-pekerjaan rumah Fatimah.

Pemimpin yang tekun ibadah disertai kerja-kerja yang professional (ihsan) akan melahirkan hasil yang maksimal. Al-Fatih, panglima perang islam yang dapat menjatuhkan benteng Byzantium tidak terlepas dari kebiasaannya beribadah sejak beliau masih kecil dan remaja. Sejak usia akil baligh beliau tidak pernah meninggalkan qiyamullail (shalat malam). Imam Syafi’i di tengah perjalanannya selama delapan hari telah mengkhatamkan al-Quran sebanyak enam belas kali. Ringkasnya, hampir seluruh pemimpin Muslim yang berhasil menorehkan tinta emasnya dalam sejarah tidak terlepas dari taqarrub kepada Allah, alias rajin beribadah.

Bukan hanya kita yang harus menjadikan ibadah sebagai modal kepemimpinan dan solusi bagi setiap persoalan, bahkan para Nabi yang diutus Allah SWT pun, dalam menawarkan segala solusi atas segala macam problematika kepada umatnya adalah dengan cara ibadah (menyembah) kepada Allah swt. Firman Allah SWT:

1. Misi yang dibawa setiap Nabi adalah ibadah (menyembah dan mengabdi kepada Allah)
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنْ اُعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوت
Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut (QS. An-Nahl: 36)

2. Solusi bagi kemusyrikan (ketidakjelasan orientasi hidup) yang dialami umat nabi Nuh as adalah ibadah
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا نُوحًا إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, lalu ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah oleh kamu Allah (QS. Al-Mu’minun: 23)

3. Solusi bagi kaum Tsamud yang matrialistik (jaya dalam bidangmateri) dan melakukan kerusakan di muka bumi adalah ibadah:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا إِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا أَنْ اعْبُدُوا اللَّهَ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus kepada (kaum) Tsamud saudara mereka Shaleh (yang berseru): "Sembahlah Allah." (QS. An-Naml: 45)

4. Solusi kepada kaum Madyan yang maju dalam hal bangunan dan gedung, namun kropos dalam soal moral, adalah ibadah:
وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا فَقَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ
Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan, saudara mereka Syu'aib, maka ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah olehmu Allah (QS. Al-Ankabut: 36)

5. Solusi bagi kesalahan akidah dan ideology yang dialami kaum nabi Isa adalah ibadah:
وَقَالَ الْمَسِيحُ يَابَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ
padahal Al Masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu." (QS. Al-Maidah: 72)

6. Solusi untuk kaum ‘Aad
وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا قَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ
Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum 'Aad saudara mereka, Hud. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah (QS. Al-A’raf: 65)

Dari ayat-ayat tersebut, jelas sekali, bahwa solusi bagi seluruh permasalahan adalah kesalahan dalam orientasi hidup. Kaum terdahulu binasa di tengah peradaban mereka yang tinggi, adalah karena kesalahan orientasi hidup. Hidup hanya bersifat kenimatan duniawi saja, pembangunan fisik yang dilakukan kaum Tsamud, kebobrokan moral yang dilakukan oleh kaum Luth, kejahatan ekonomi dengan manupalisi timbangan dan takaran yang dilakukan kaum Madyan, adalah bentuk kesalahan dalam orientasi hidup. Orientasi hidup sebenarnya dalam Islam adalah mengabdi kepada Allah SWT. Oleh karena itu dibanyak ayat tadi, Allah memberi resep dan solusi melalui para NabiNya “ani’budullah” (hendaklah kalian mengabdi kepadaKu).
Seseorang yang orientasi hidupnya mengabdi kepada Allah SWT, maka saat mencari kebahagiaan dan kesejahteraan, ia harus mempertimbangan asal, cara dan tujuan yang sesuai dengan ketentuan Allah SWT.

Rasanya, melihat kondisi bangsa ini yang terus merosot di segala bidang, ada baiknya kita merenung kembali ayat-ayat di atas dan meluruskan orientasi hidup kita, lalu menyeusaikan diri dengan ketentuan dan pedoman yang Allah kehendaki.

Melalui ibadah dengan maknanya yang luas, yang dilakukan seluruh strata masyrakat mulai dari puncak pimpinan Negara hingga ke level rakyat terbawah, maka insya Allah benang kusut permasalahan bangsa akan segera terurai, sebagaimana solusi yang pernah ditawarkan para Nabi terdahulu.

http://muhammadjamhuri.blogspot.com