Minggu, 30 Mei 2021

Pesantren Terbuka dan Nasehat Sang Kyai: "Sarjana Bukanlah Orang Yang Pandai Cari Pekerjaan, Tapi Pandai Membuka Lapangan Pekerjaan"

Bersama KH. Syukron Makmun Saat Peresimian Gedung Rumah Quran
Nasehat ini saya dapatkan dari Kyai dan "Guru Besar" saya, KH. Syukron Makmun. Terutama saat acara wisuda atau Haflatul Wada' para santri. Dan nasehat itu juga yang saya sampaikan kepada para santri-santri saya saat Haflatul Wada'.

Nasehat sang Kyai ini masih sangat relevan di tengah segala hal yang serba instan. Bahkan ada indikasi gelar sarjana pun kini dapat diraih dengan cara instan, tanpa proses ilmiah apalagi khuluqiyah dalam proses pendidikan meraih gelar sarjana.

Mungkin nasehat itulah yang membuat saya selalu ingin hidup mandiri. Usai lulus kuliah dari Umm al-Quro University, Makkah saya tidak canggung dan malu untuk membuat TPA (Taman Pendidikan Al-Quran) yang sederhana di Masjid dekat rumah saya. Namun TPA yang saya dirikan berbeda dengan TPA biasa. Sistem yang saya buat mirip dengan pesantren, nyaris para santrinya belajar 24 jam. Kalau dapat diistilahkan TPA yang saya dirikan adalah "Pesantren Terbuka", nyontek dari istilah UT (Universitas Terbuka). Para santri bangun subuh dan shalat subuh, lalu mereka pergi ke sekolah masing-masing. Jam 14.00 mereka mulai ke Masjid hingga pukul 16.30. Lalu menjelang maghrib mereka ke Masjid lagi untuk shalat maghrib, ngaji dan shalat Isya berjamaah. Bakda shalat Isya mereka belajar bersama secara mandiri di masjid mengulang pelajaran sekolah hingga pukul 21.00. Setelah itu mereka tidur di rumah masing-masing, namun ada 3-5 santri diberi tugas sebagai bulis (ronda) di masjid sambil itikaf, tugasnya membangunkan para santri di rumah masing-masing saat menjelang subuh. Sehingga para santri melaknasakan shalat subuh berjamaah. Tiap hari Ahad saya ajak mereka berolah raga ke lapangan atau ke pinggir sungai Cisadane. Ringkasnya, miriplah dengan kehidupan pesantren. Bedanya tidak punya komplek atau asrama. Itu sebabnya saya istilahkan sebagai "Pesantren Terbuka."

Santrinya yang tadinya cuma 20 orang langsung naik menjadi 120 orang. Bahkan anak-anak balita pun mau ikutan. Maklum sejak adanya pesantren terbuka itu, anak-anak balita tidak punya teman bermain karena anak dewasanya semua di masjid. Sehingga yang masih balita pun dibawa orang tuanya daftar ikut TPA. Di saat itulah, saya tidak bisa menaganinya sendiri. Maka saya ajak beberapa teman di kampung dan dari kampung sebelah untuk membantu mengajar dan mendidik anak-anak. Di sini -saat itu- saya merasa sudah melaksanakan nasehat Kyai saya, "Sarjana adalah orang yang pandai membuka lapangan pekerjaan. Bukan pandai mencari pekerjaan".

Di sela waktu kosong saya juga banyak menulis tausiyah-tausiyah ringkas yang kemudian di cetak menjadi bulletin jum'at dan disebar ke mesjid-mesjid. Saat itu saya pun telah "membuka" lapangan pekerjaan kepada teman saya, baik bagian pencetakan maupun distributor ke mesjid-mesjid.

Kisah ini saya sampaikan kepada para santri di acara Wisuda atau Haflatul Wada Lulusan Angkatan 6 Ahad lalu, agar menjadi isnpirasi buat mereka. 

Jadi, mendirikan pesantren tidak harus punya lahan dan bangunan. Dengan potensi dan pengalaman yang dimiliki saat nyantren serta lingkungan kondusif, kita bisa mendirikan pesantren. Yang terpenting ide dan kreatifitas serta semangat jangan mati. Bahkan saat dianugrahi Allah lahan dan fasilitas sekalipun.

Semoga bermanafaat.

Muhammad Jamhuri

Rumpin, 30 Mei 2021.


Rabu, 12 Mei 2021

HIKMAH HARI KE 30: RAMADHAN 'KAN TINGGALKAN KITA..


RAMADHAN DAN KITA..

Jangan sesalkan perpisahan.
Tapi sesalkan pertemuan yang disia-siakan..

Ramadhan akan kembali.
Tapi diri belum tentu ada lagi.

Mudik adalah fitrah dan fitri
Karena fitrah selalu ingin kembali...

Kembali ke asal muasal lagi.
Melihat kampung asal dan orang tua lagi.

Mudik tahun ini belum pasti..
Tapi mudik kepada Ilahi sudah pasti.

Idul fitri adalah jiwa suci yg kembali.
Kembali suci sampai menghadap ilahi...

Ya Rabbi... ya Ilahi...
Pertemukan kami dengan Ramadahan-Mu kembali..


SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI

تقبل الله منا ومنكم صالح الاعمال
كل عام وأنتم بخير
جعلنا الله واياكم من العائدين والفائزين
موهون معاف ظاهر دان باطن

اخوكم الفقير الى ربه الكبير
محمد جمهوري

Selasa, 11 Mei 2021

HIKMAH RAMADHAN HARI KE 29: FITRAH MUDIK

Dalam bahasa Sunda, kata “udik” berarti kampung. Mungkin dari kata inilah lahir kata “mudik” yang berarti pulang kampung. Isu mudik belakangan ini menjadi kontraversi di masyarakat. Hal itu karena berkaitan dengan peraturan pembatasan pergerakan masayarakat di masa pandemi Corona yang telah berlangsung dua tahun belakangan ini. Tahun-tahun sebelumnya, kegiatan mudik berjalan normal.

Meski normal, sering saja terjadi kecelakaan di tengah kegiatan mudik ini. Tidak sedikit banyak jatuh korban karena mudik. Namun demikian, hal itu tidak menyurutkan keinginan masyarakat untuk tetap mudik. Apapun resikonya. Termasuk tahun ini, meski dari pemerintah daerah hingga pusat telah melarang kegiatan mudik di masa liburan lebaran ini, animo masyarakat untuk mudik tetap tinggi. Ada masayarakat yang diberhentikan karena dihadang oleh petugas, tapi tetap rela berjalan kaki sejauh 15 km untuk menuju kampung yang ditujunya. Padahal mereka adalah kaum ibu dan anak-anak. Ada juga yang pergi berkelompok dan konvoi hingga tak bisa dibendung oleh para petugas, seperti yang terjadi di perbatasan Bekasi dan Karawang baru-baru ini. Rombongan kendaran motor bersorak sorai saat petugas tidak mampu membendung arus konvoi para pemudik. Singkatnya, keinginan mudik tetap ada meski harus menerobos tapal batas petugas.

Oleh sebab itu, mudik adalah fitrah setiap manusia. Apalagi sebelumnya jiwa mereka telah dibersihkan dengan puasa, maka fitrah itu semakin tumbuh di dalam jiwa manusia. Sehingga mudik adalah efek dari sprtualitas yang tumbuh dalam jiwa setelah puasa.

Salah satu bentuk fitrah adalah ingin kembali ke asal. Para perantau di kota-kota besar adalah berasal dari kampung mereka masing-masing. Mereka ingin kembali ke asal-muasal. Asal mereka dilahirkan, dan asal manusia yang telah melahirkan, yaitu orang tua. Ada ketengan batin yang dirasa saat jiwa manusia berada di samping asal manusia yang melahirkan.

Orang tua adalah tempat kita dilahirkan. Allah yang telah menciptakan kita telah “mewakilkan” orang tua sebagai wadah proses keberadaan kita. Oleh sebab itu Allah telah menempatkan kedudukan orang tua sebagai urutan kedua untuk diberikan bakti dan pengabdiannya. Akkag swt berfirman: ”Allah telah menetapkan agar kamu tidak menyembah selain kepada Allah dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orangtua”. (QS. Al-Isra: 26)

Selain mudik untuk kembali ke asal muasal, ada lagi kegiatan “mudik akbar” yang semua muslim merindukan terwujudnya keinginan itu. Yaitu ibadah haji. Jika mudik ke kampung asal adalah ingin bertemu dengan “wakil” Tuhan, maka berangkat untuk berhaji adalah keinginan kembali dan bertemu dengan sang Penciptanya, yaitu Allah swt. Oleh sebab itu, apapun berita tentang banyaknya jatuh korban dalam pelaksanaan ibadah haji, keinginan umat Islam untuk hadir di rumah Allah tetap tinggi dan besar. Hingga melebihi koata yang telah ditentukan.

Selain dua mudik di atas, ada mudik lain yang lebih dahsyat. Dia adalah kematian. Ini lah mudik yang pasti akan kita lewati. Suka atau tidak suka, di lockdown atau di open. Kita akan kembali menemui Sang Pencipta.

Apapun lika-liku mudiknya, kita berharap semoga kita berbahagia saat "mudik" menemui Sang Pencipta. Rasulullah saw bersabda, “Orang yang berpuasa itu diberi dua kebahagiaan. Bahagia saat berbuka (berhari raya), dan bahagia saat bertemu Tuhannya” (HR: Muslim).

Wallahu a’lam.

Muhammad Jamhuri, 29 Ramadhan 1422 H

Senin, 10 Mei 2021

HIKMAH RAMADHAN HARI KE 28: ANTARA LEBARAN DAN IDUL FITRI*

Waktu kita masih kanak-kanak dan mulai belajar berpuasa, sering terdengar kalimat dari orang tua atau dewasa, “orang yang tidak berpuasa tidak boleh ikut lebaran.”. Tapi kenyataannya saat hari lebaran tiba, kita tetap dibelikan dan dipakaikan baju baru, dipresen dan bersenang-senang berasama anak-anak lain bermain kembang api atau petasan. Ternyata lebaran bisa diikuti oleh siapapun, termasuk orang yang tidak berpuasa Ramadhan.

Dari mana asal-usulnya kata “lebaran” menjadi padanan atau murodif dari kata idul fitri? Wallahu a’lam. Mungkin kata “lebaran” berasal dari kata “liburan”. Karena saat berlebaran, kita semua berlibur, jalan-jalan, bertamasya atau siluturrahim. Negara juga meliburkan kegiatan kantornya di hari itu dengan memerahkan tanggal kelender,

Boleh jadi juga kata “lebaran” berasal dari kata “lebar” yang berarti luas. Karena setelah menjalankan ibadah puasa Ramadhan yang penuh dengan perjuangan menahan lapar dan dahaga, kini menjadi terasa plong, lega atau lebar. Sehingga dada dan hati terasa lebara-an (luas-an).

Oleh sebab itu, tidak benar perkataan, “Orang yang tidak puasa tidak boleh ikut lebaran”. Karena kenyataannya anak-anak yang tak berpuasa tetap boleh ikut lebaran. Bahkan orang dewasa yang tidak berpuasa ikut merayakan hari lebaran. Bahkan di zaman Corona seperti sekarang ini pun, orang kafir ikut merayakan hari lebaran. Buktinya, orang-orang non muslim asal Cina bebas terbang ke Imdonesia, sementara orang muslim pribumi dilarang mudik.

Karena itu yang dapat merasakan spirit idul fitri hanyalah orang-orang yang berpuasa dan beribadah dengan baik selama Ramadhan. Karena kata “Idul Fitri” mengandung arti “Perayaan Berbuka”. Itu sebabnya di hari itu diharamkan berpuasa. Dan yang dapat merasakan Perayaan Berbuka hanyalah orang-orang yang berpuasa.

Ada pula yang mengartikan Idul fitri dengan makna “kembali kepada kesucian”. Jika pun makna ini benar. Maka tetap saja yang dapat merasakan ‘kembali kepada fitrah’ (kesuciaan) adalah orang-orang yang berpuasa dan beribadah optimal selama Ramadhan. Oleh sebab itu Allah swt telah menjelaskan urutan tipe orang yang sukses (falah) dengan firmannNya; Qod Alflaha Man Tazakka wa Dzakaro ismahu fa Sholla”. Orang sukses pasca Ramadhan itu adalah 1) orang yang tazakka (mensucikan diri dengan puasa, dan mensucikan harta dengan zakat), 2. Orang yang dzkaro ismahu (menyebut nama Allah dengan bertakbir di malam idul fitri), dan 3. Orang yang fa sholla (melaksanakan sholat Id).

Jadi dengan kata lain. Lebaran bisa dirasakan oleh semua orang. Namun Idul Fitri hanya dapat dirasakan oleh orang-orang yang berpuasa dengan iman dan ikhlas. Nabi saw bersabda, “Barangsiapa berpuasa karena dorongan iman dan ikhlas, maka ia akan diampuni dosa-dosanya yang lalu.” (HR: Bukhori). Alias kembali kepada fitri (kesucian).

 Jamhuri, 28 Ramadhan 1422 H

Sabtu, 08 Mei 2021

HIKMAH RAMADHAN HARI KE 27: QOBLIYAH DAN BAKDIYAH RAMADHAN SERTA SHOLAT ARBAIN

Biasanya kita mengenal kata qobliyah dan bakdiyah hanya dalam sholat saja. Ternyata istilah itu secara amaliyah (praktek) terdapat juga pada ibadah puasa Ramadhan. Bahkan ibadah haji.

Dalam ibadah sholat, kita mengenal sholat sunnah qobliyah yang dilakukan sebelum sholat wajib yang bertujuan sebagai mukoddimah atau pengantar meraih kekhusyu’an saat melaksanakan sholat wajib –sebagaimana penjelalasan ulama.  Maka qobliyah Ramadhan juga bertujuan yang sama. Agar puasa dan ibadah selama Ramadahan menjadi optimal dan berkualiatas serta ringan dilakukan. Lalu apakah yang dimaksud dengan Qobliyah Ramadhan? Dialah puasa sunnah Rajab dan Sya’ban. Karena setiap kali nabi saw memasuki bulan Rajab dan Sya’ban, beliau berdo’a “Ya Allah, berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya’ban, dan pertemukanlah kami dengan bulan Ramadhan”. Isi doa Nabi saw ini menyimpan pesan bahwa Rajab, Sya’ban dan Ramadhan bagailan satu paket amalan. Hanya saja puasa Rajab dan Sya’ban sifatnya sunnah. Sama dengan qobliyah zhuhur atau ashar yang sifatnya sunnah. Banyak riwayat yang menyebut Nabi saw melaksanakan puasa sunnah Sya’ban. Bahkan satu riwayat menyebut nabi saw tidak melaksanakan puasa sunnah sebanyak puasa di bulan Sya’ban. “Adalah Nabi saw berpuasa Sya’ban sepenuhnya kecuali meninggalkan beberapa hari saja”. Demikian pula Nabi saw memperbanyak sholat malam di bulan Sya’ban. Nabi saw menyebut keutamaan nisfu Sya’ban. Amalan-amalan nabi saw tersebut memberi kesan beliau menyiapkan Ramadahan dengan ibadah qoliyah sebelum melaksanakan ibadah puasa fardhu di bulan Ramadahan dan amalan lainnya. Ibarat akan bertarung, beliau melakukan warming up atau pemanasan sebelum tiba bulan Ramadham. Sehingga ibadah puasa dan qiyam Ramadahan menjadi ringan karena telah melakukan latihan di bulan Sya’ban.

Lalu apa yaang dimaksud Bakdiyah Ramadhan?. Dialah puasa sunnah enam hari di bulan Syawal. Nabi saw bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian diikutkan dengan berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka ia mendapat pahala seperti berpuasa setahun lamanya.”

Jika shalat qobliyah berfunsgi sebagai pengantar dan pembuka agar diri menjadi lebih khusyu’ saat melasanakan shalat fardhu, maka shalat bakdiyah berfungsi menambal kekurangan dan bolong selama pelaksanaan sholat fardhu. Demikian juga dengan puasa sunnah Syawal, ia berfungsi menambal kekurangan puasa yang kita lakukan selama bulan Ramadahan. Oleh sebab itu kita sangat dianjurkan untuk melakukan “Bakdiyah Ramadhan” ini, kerena boleh jadi selama Ramadhan, puasa dan ibadah kita masih tidak optimal dan khusyuk. Selain keutamaan puasa Syawal juga mendapat pahala seperti berpuasa selama setahun.

Ada beberapa orang yang melakukan “qobliyah dan bakdiyah Ramadahan” dengan cara lain, yaitu dengan melaksanakan apa yang disebutnya “arbain”. Istilah ini diambilnya dari “arbain” saat pergi umroh dan berkunjung ke Madinah. Yaitu berusaha melaksanakan shalat fardhu berjamaah sebanyak 40 waktu tanpa “batal” (baca: luput) satu waktu shalat pun. Meskipun hadistnya dhoif, tapi shalat lima waktu berturut-berturut selama berada di Madinah delapan hari sehingga berjumlah 40 waktu shalat fardhu adalah baik. Terutama bagi mereka yang belajar menghidupakan sunnah berjamaah lima waktu sepanjang hidupnya.

Oleh sebab itu, saat saya membimbing jamaah umroh atau haji, saya sering mengajak jamaah umroh atau haji, untuk tidak membatasi sholat fardhu berjamaah hanya 40 waktu dan di Madinah saja. Saat di Makkahpun tetap lakukan arbain. Gak ada haditsnya? Lakukan saja, karena hadist umum tentang keutamaan shalat berjamaah bisa dijadikan dalil targhib (spirit) dalam menjalankan ibadah sunnah. Bahkan bila perlu lakukan arbain berkali-kali di Tanah Air.

Nah, untuk Arbain qobliyah Ramadahan dan bakdiyahnya, bisa dilakukan sebelum atau pasca Ramadhan. Kita tahu, bahwa di Ramadhan ini susana shalat berjamaah itu sangat kondusif. Hampir di tiap rest area, masjid, pom bensin banyak orang menunggu waktu shalat. Oleh karena itu sangat memungkinkan kita menjaga sholat berjamaah. Jika saja selama Ramadhan kita dapat istiqomah menjalanan sholat berjamaah fardhu tanpa henti, maka kita telah mendapatkan 30 hari shalat berjamaah fardhu tanpa henti selama Ramadhan. Nah, sisanya dapat dilanjutkan di 10 hari di Syawal, atau 10 hari di Sya’ban. Atau 5 hari di Sya’ban, 30 Hari di Ramadahan dan 5 hari di Syawal. Dengan begitu, kita sempat melaksanakan shalat berjamaah selama 40 hari tanpa batal (baca: henti). Biarlah kita belajar dari 40 (arbain) dulu, insya Allah ke depan amal kita semakin membaik hingga bisa shalat berjamaah hingga 40 tahun tanpa “batal” seperti yang pernah dilakukan para sahabat.

Jadi, mari mulai latih shalat berjamaah dari 40 waktu berturut-turut (arbaina waqtan), lalu meningkat 40 hari (arbaina yauman), kemudian 40 pekan (arbaina usbu’an), lanjut 40 bulan (arbaina syahron), dan jika Allah memanjangkan usia kita melanjut ke 40 tahun (arbaina sanatan) mendawamkan shalat berjamaah. Sehingga kita menjadi sebaik hamba Allah yang usianya bertambah bersama dengan amalnya pun yang semakin bertambah kualitasnya. Aamiin.

Muhammad Jamhuri, 27 Ramadhan 1422 H

HIKMAH RAMADAHAN HARI KE-26: Ucapan “Minal Aidin wal Faizin - Mohon Maaf Lahir Batin” Bukan Bid’ah

“Ustadz, saya baca broadcast di WA, katanya mengucapkan kata “Minal Aidin wal Faizin-Mohon Maaf Lahir Batin” di hari raya itu adalah perbuatan bid’ah. Apa betul, ustadz?” Tanya jamaah peserta i’tikaf.

“Kalau perbuatan itu dianggap bid’ah saja, maka jawabannya ‘iya’. Sama dengan protes sahabat-sahabat kepada Umar bin Khattab saat beliau mengumpulkan taraweh dengan berjamaah yang belum pernah dilakukan Nabi saw dan Abu Bakar sebelumnya, “Bukankah ini perbuatan bid;ah?”. Umar menjawab, “Ini bid’ah yang baik”. Bahasa arabnya “Ni’matul bid’ah hadzihi”. Malah kalau diartikan letterlooknya “Sebaik-baik bid’ah, ya inilah”. Jadi ada bid’ah yang bukan sekedar baik tuh, tapi sebaik-sebaik, lebih baik dari yang baik. Ya kan?. Apa itu? Ya..dalam contoh ini shalat taraweh berjamaah yang “dibuat-buat” Umar bin Khattab.” Jawab ustadz santai..

“Tapi kan ustadz, bukankah Rasulullah saw telah mengajarkan ucapan yang sesuai dengan sunnah, yaitu “Taqabbalallahu Minna wa Minkum?” Sanggah jamaah.

“Nah, itu yang terbaik. Apa saja yang datang dari Nabi saw itu yang terbaik. Amalkan dengan rasa semangat dan kecintaan...” Jawab ustadz menyarankan.

“Kalau begitu, ustadz setuju yang mana, ucapan “taqabbalallahu Minna wa Minkum?” atau “Minal Aidin wal Faizin-Mohon Maaf Lahir Batin”? Tanya jamaah minta kepastian.

“Saya gak setuju dengan yang pertama” Jawab ustadz santai..

“Lho?, kan yang pertama itu ucapan dari Nabi, ustadz? Kok ustadz malah gak setuju?” protes jamaah.

“Bukan, Saya gak setuju yang pertama itu, maksudnya, isi statemen dalam pertanyaan Bapak, bahwa mengucapkan kata “Minal Aidin wal Faizin-Mohon Maaf Lahir Batin” itu adalah perbuatan bid’ah. Jika bid’ah itu diartikan sebagai bid’ah yang sesat. Saya gak setuju” . Jawab ustadz.

“Maksud ustadz,?” Tanya jamaah penasaran

“Begini, Ucapan “Minal Aidin wal Faizin-Mohon Maaf Lahir Batin” itu adalah kearifan lokal, bukan mau merubah apalagi menyaingi apa yang disunnahkan Nabi saw. Ucapan ini sudah enak terdengar di telinga orang Indonesia dan mereka memahami maksudnya, ehm..walaupun belum semua masyarakat tahu makna bagian pertama ucapan itu, yakni “minal aidin wal faizin”. Jadi, kearifan lokal jangan dibenturkan dengan sunnah dan bid’ah. Sebagai contoh, khutbah idul fitri atau khutbah idul adha, hampir semua khatib di Tanah Air, selain bacaan rukun khutbah, mereka menggunakan bahasa Indonesia, bahkan bahasa daerah untuk menyampaikan pesan-pesan khutbahnya kepada masyarakat. Lalu apakah khutbah dengan bahasa Indonesia atau daerah itu kita sebut bid’ah?. Nggak Kan?, baik Rasulullah saw maupun sahabat dan Tabi’in belum pernah mencontohkan khutbah pakai bahasa selain bahasa Arab kan? . Khutbah kan juga ibadah lho..? Lalu kenapa para ulama membolehkan khutbah dengan bahasa lokal? Karena agar pesan-pesan kebaikan itu sampai kepada jamaah dan masyarakat. Itulah yang saya katakan “kearifan lokal”.

Nah, pada saat kita mengucapkan “Mohon Maaf Lahir Batin” maka pesan ucapan kita sampai kepada orang yang kita ajak bicara. Itu kira-kira” Jelas ustadz

“Tapi kan, kata “Minal Aidin Wal Faizin” juga bahasa Arab, ustadz? Tidak semua masyarakat Indonesia mengerti artinya? Bahkan ada yang salah kaprah, makna “minal aidin wal faizin” diartikan “Mohon Maaf lahir batin” padahal kan artinya “Semoga menjadi orang yang kembali dan beruntung”? Bukankah ini perlu diluruskan, ustadz?” . Sanggah Jamaah

“Nah...itu, bapak ngerti bahasa Arab...hehehe..jangan-jangan bapak juga seorang ustadz nih..? atau setidaknya pernah nyentren di pesantren nih....iya kan?” Tanya ustadz bercanda.

“Ah pak ustadz......Memang sih pak ustadz, saya pernah ikut pesantren.” Jawab Jamaah

“di Pesantren mana..?”. Tanya ustadz

”di Pesantren KILAT..!” Jawab Jamaah santai

“Astagfirullah...untung gak kesamber geledek saya.  Kirain pesantren beneran gitu.”. Sahut ustadz

“Jadi, gimana dong ustadz, jawaban pertanyaan saya tadi..?” Jamaah mengalihkan pembicaraan

“Itulah hebatnya orang Indonesia. Saking semangatnya mau menyebarkan dan mensyiarkan bahasa Arab, banyak “moment” yang tidak ada di Arab dan menjadi ciri khas Indoensia lalu di arab-arabkan, dan itu positif untuk pengembangan bahasa Arab. Setidaknya secara vocabulary. Contoh: kata”Halal bi Halal”. Kata ini cuma ada di Indonesia, pahadal itu bahasa Arab. Dan di Arab sendiri gak ada istilah “Halal bi Halal”. Tapi baik kan isi acaranya? Saling silaturrahmi dan saling memaafkan?. Terus contoh lain. Di Toilet-toilet masjid bahkan di Pom Bensi (SPBU), ada toilet khusus pria dan toilet khusus wanita, namun tulisannya “IKHWAN” untuk toilet pria dan “AKHWAT” untuk toilet wanita. Nah, ini kan hal positif? Masyarakat jadi ngerti dan kenal bahasa Arab?. Begitu juga dengan kata “Minal Aidin wal Faizin” yang berarti “Semoga kembali (kepada fitroh) dan menjadi orang yang beruntung”. Kata ini gak pernah ada dan gak dipergunakan oleh orang-orang Arab, -kebetulan saya pernah tinggal 6 tahun lho di Arab - tapi kata itu dipakai oleh orang Indonesia yang semangat “meng-arabkan” Imdonesia. Jadi, ini adalah kearifan lokal yang disemangati oleh bahasa al-Quran. Karena itu, ini bukan bid’ah yang disesatkan itu.” Jelas ustadz panjang lebar.

“Tapi, kok masyarakat sering memahami kata “Minal Aidin wal Faizin” dengan makna “Mohon maaf lahir batin, Ustadz?” Sanggah jamaah.

“Gini, kesalahan anggapan makna itu ada. Cuma saya melihatnya begini... Suatu kata bisa dikatakan indah kalau akhiran-nya antara kata-kata atau kalimat itu sama. Sehingga kata dan kalimat itu bisa bernilai puitis, indah dan enak di dengar. Nah. Pada kalimat “Minal Aidin wal Faizin” itu kan berakhir dengan huruf “I” dan “N” sehingga berbunyi “IN”. Kemudian kata “Mohon maaf lahir batin” pun diakhir dengan “I” dan “N” yang juga berbunyi “IN”. Karena kedua kata berakhiran sama, maka enak didengar. Kalau kalimat “Minal Aidin wal Faizin” kita terjemahkan apa adanya, sepertinya agak sulit membuat kata puitis yang enak didengar.

Belum lagi maksud si pengucap ucapan idul fitri ingin mengumpulkan dua hubungan dalam pergaulan, yakni hubungan dengan Allah berupa doa “Minal Aidin wal Faizin”, juga hubungan sesama manusia berupa permohon maaf “Mohon maaf lahir dan batin”.

Jadi, menurut saya...ini adalah kekayaan dan kearifan lokal yang disemangati oleh ghiroh agamis. Bayangkan kalau disemangati oleh sekuler, komunis...apa jadinya?. Jadi, yang namanya budaya, baik-buruknya, dilatar belakangi oleh ‘civilazation and culture”. Dan alhamdulillah kultur masyarakat kita banyak dilatar belakangi oleh ajaran agama Islam.” Jelas ustadz panjang lebar.

“Oh ya.. satu hal lagi kearifan lokal kita.... Yaitu budaya memasak ketupat di setiap Idul Fitri. Bahkan, Kepolisiam saja menamai “Operasi Lebarannya” dengan istilah “Operasi Ketupat”. Dikarenakan lebaran atau idul fitri identik dengan suguhan masakan ketupat. Ini juga kan..kearifan lokal? Coba deh.. di Arab sana, ada gak ketupat sebagai makanan khas idul fitri mereka? Ada gak ketupat di zaman Nabi dan para sahabat? Gak kan? Lalu apa kita bilang ketupat di idul fitri itu bidah  yang sesat?...gak kan? Nah, itulah kearifan lokal.” Tambah ustadz

“Dengan penjelasan tentang kelebihan ucapan “minal aidin wal faizin-mohon maaf lahir batin” tadi, berarti pak ustadz setuju kalau ucapan itu lebih baik dari ucapan “Taqabbalallahu Minna wa minkum?” Tanya ustadz penasaran.

“Kan sudah saya sampaikan di awal, bahwa , itu yang terbaik. Apa saja yang datang dari Nabi saw itu yang terbaik. Amalkan dengan rasa semangat dan kecintaan...Jikapun saya jelaskan panjang lebar tentang ucapan “Minal Aidin wal-faizin-mohon maaf lahir batin” untuk menjelaskan bahwa ini adalah kearifan dan khazanah lokal yang tidak perlu dibenturkan dengan sunnah-bid’ah. Jadi tetap.. apa yang datang dari Nabi, ambillah! (wa maaa ataakumu al-rasul fa khuzhuuhu, apa yang didatangkan Rasul padamu ambillah !).. tetapi yang tidak dilarang nabi saw serta baik jangan dicegah dan dilarang... karena ayatnya hanya yang dilarang Nabi yang harus dicegah (wa maa nahaakum ‘anhu fantahuuu..), adapaun kearifan yang tidak ada nash yang melarangnya, lalu ia baik dan tidak melanggar agama...tidak usah disebut sesat...Gitu luh...

Selain itu dalam ucapan “Taqabbalallhu Minna wa minkum” juga mengandung dua hubungan vertikal dan horizantal..karena kita pun mendoakan saudara kita.

Usul saya, saat bersalaman di idul fitri nanti, ucapkan tahniah yang diajarkan Nabi, kemudian karena tidak semua orang paham maknanya, silakan tambahin dengan tahniah kearifan lokal. Dan jika Bapak merasa terlalu panjang, ya ucapkan saja tahniah yang diajarkan Nabi. Namun kalau ada yang mengucapkan tahniah lokal, jangan dituduh ahli bid’ah.....gitu aja repott”  Jelas ustadz.

“Alhamdulillah... jadi jelas ustadz, malam ini saya dapat pencerahan..” Ujar jamaah

 

“Itulah manfaat dari kita beri’tikaf. Dalam itikaf kita dapat beribadah, dapat ruhiyah, dapat ilmiyah, dapat ukhuwah, dan ayam serta kuwah.....he..he..  Oh ya..ngomong-ngomong Bapak itikafnya full kan sepuluh hari..?” Tanya ustad

“He..he.. maaf pak ustadz,...saya iktikafnya malam doang...kalau siang saya masih harus masuk kantor.” Jawab ustadz

“ini..ni..nih... yang namanya “Itikaf ala kalong alias kampret”, malam nampak- siang gak nampak. Tahun depan niatkan dan ‘azamkan ya itikaf sepuluh hari?, itikaf ala Nabi...jangan itikaf ala kampret melulu...” ujar ustadz menasehati.

“Kan, Kearifan lokal juga, pak ustadz..he..he....i’tikafnya malam doang..hehe,,” Jawab jamaah

“Ha..ha... kampret lokal itu mah..! Ya sudah sana,, tilawah....saya juga mau tadarus nih....” Kata Ustadz.

“Daripada  ceboooong…pak ustadz?hehe” Jamaah menimpali..

“Huss…udah….sana tilawah…” Ustad menutup percakapan.

 

 Muhammad Jamhuri 26 Ramadhan 1442 H

Jumat, 07 Mei 2021

Hikmah Ramadhan Hari Ke-25: Kontroversi Kapan Lebaran Dan Hikmah Zakat Fitrah yang Terabaikan.

 “Pak ustadz, kira-kira lebaran tahun ini jatuh pada hari Rabu atau Kamis, ya?” Tanya jamaah kepada ustadz

“Ah, Bapak sih kayak anak kecil aja!” Ustadz menaggapi santai

“Maksudnya apa ustadz? Ada yang salah kalau saya nanya begitu?” Tanya jamaah agak kecewa.

“Tidak, cuma tidak elok saja..Bahkan boleh dikata tidak dewasa.” Ustadz menanggapi

“Maksud ustadz?” Tanya jamaah lagi

“Begini, banyak orang yang konsentarsi ke hari itu, tapi lupa dia sedang berada di hari apa?  Sedang di bulan apa? Apa yang dilakukan di tengah-tengah waktu seperti ini?.  Ibarat anak  murid, baru juga beberapa hari menghadapi ujian semesteran, sudah nanya kapan liburannya? Lalu lupa tidak mempersiapkan ujiannya, tapi sibuk membicarakan liburan dengan temannya, dengan keluarganya, dengan berbagai rencana di dalamnya. Akhirnya, ketika hasil ujian diumumkan, nilainya buruk, bahkan tidak lulus. Akibat sibuk bicara tentang liburan dan perencanaannya. Tapi lalai dengan ujiannya” Ustadz coba menjelaskan.

“Bahkan, beberapa tahun lalu, ramai di media elektronik dan cetak, memberitakan perbedaan pendapat tentang hari idul fitri, antara satu ormas dengan ormas lain saling adu argumentasi, kemudian imbas ke masyarakat, hingga di sebuah kampung, masjid kampung yang satu-satunya itu menjadi rebutan antara kelompok yang mendukung lebaran hari ini dengan kelompok yang lebarannya besoknya.

Sudahlah...!  masalah penentuan lebaran kita serahkan kepada ulil amri, para ulama dan pemerintah, atau ormas yang menjadi naungan kita. Yang perlu kita menyibukkan diri adalah apakah sisa Ramadhan kita ini dapat selesai dengan baik? Bisa husnul khotimah? Ataukah hanya akan kita lewati begitu saja?. Istilah anak murid, ujian yang sedang dihadapi akan mendapat nilai terbaik tidak?” Ustadz menjelaskan panjang lebar.

“Betul ustadz. Tapi kenapa orang banyak meributkan hari apa lebaran jatuh ya?” Tanya jamaah.

“Ini yang harus kita evaluasi. Pengusaha garmen ingatnya kapan lebaran? Sehingga dia mempersiapkan peningkatan produksi garmennya. Pengusaha kue juga begitu. Bahkan orang miskin, atau orang-orang yang pura-pura miskin, konsentrasi nya pada lebaran, bukan pada ibadah yang rentang waktunya lebih panjang dari pada lebaran.” Ujar Ustadz menambahkan.

“Maaf ustadz, tadi ustadz mengatakan orang miskin pun konsentrasinya ‘kapan lebaran’? Apa ada keperluan mereka memikirkan hari lebaran?. Kalau pengusaha tadi kan wajar memikirkan kapan lebaran? Untuk menentukan jumlah produknya menjelang dan saat lebaran. Tapi kalau orang miskin kan gak punya pabrik?” Jamaah protes.

“Lha kan orang miskin juga tahu kapan saja waktu ramai yang dapat menghasilkan pendapatan?” Jelas ustadz

“Oh iya..ya..” . Jamaah mengangguk-angguk

“Nah..gara-gara konsentrasi kepada hal itu, konsentrasinya serba ke materi, akhirnya hikmah zakat fitrah yang diajarkan Nabi saw pun sirna.” Ustadz menimpali

“Maksudnya?” Tanya jamaah.

“Di antara hikmah zakat fitrah yang harus dikeluarkan sebelum bubar shalat ied, adalah agar di hari dan suasana berbahagia itu tidak ada lagi kesedihan, apalagi suasana kemiskinan. Semua mukmin berbahagia. Oleh karena itu, harus dipastikan semua orang yang miskin mendapat zakat fitrah. Oleh sebab itu juga, zakat fitrah kewajiban yang harus dikeluarkan untuk setiap individu, baik yang sudah berakal maupun tidak, dewasa atau anak-anak. Itu agar dipastikan orang miskin semua akan mendapat zakat fitrah dan mereka ikut berbahagia di hari lebaran. Tapi kenyataannya, setiap kita mau masuk mesjid atau lapangan untuk melaksanakan shalat idul fitri, pasti disambut oleh orang miskin, atau orang-orang yang berpura-pura miskin dengan pakaiannya yang serba kumuh dan mengemis. Demikian juga saat kita bubaran shalat, saat keluar masjid maka mereka sudah berbaris dengan tangan yang di tengadahkan sambil minta belas kasih sayang. Bahkan dengan pemandangan anak-anak yang digendongnya seakan mereka memang dimintai belas kasih sayang. Jika demikian, mana fungsi zakat fitrah disini yang katanya sudah dibagikan sebelum shalat id? Apakah zakat fitrah yang kita keluarkan salah sasaran? Ataukah memang mereka berpura-pura miskin di hari itu? Apapun juga alasannya, pemandangan banyaknya orang-orang miskin yang meminta belas kasih dihari raya mestinya tidak boleh ada lagi. Tidak sesuai dengan hikmat dan tujuan adanya zakat fitrah.  Karena zakat fitrah sudah didistribusikan, sebelum shalat ied selesai” Jelas ustadz panjang lebar.

“Kalau zakat fitrah sudah didistribusikan kepada mustahik, apa mungkin karena mental mereka selalu meminta-meminta ustadz, sehingga di Idul Fitri pun, malah mereka menjamur di sekitar masjid?” Ujar jamaah.

“Wallahu a’lam...kita tidak boleh su-uz zhon” Ustadz menimpali.

“Tapi ustadz,  pernah ada penilitian dan sampling, bahwa para pengemis yang biasa mengemis  merasa lebih baik jadi pengemis dari pada bekerja, karena penghasilan mengemis itu lebih besar dari pada bekerja, apalagi gak punya keterampilan. Bayangkan saja, jika lampu merah menyala merah selama 3 menit, dalam setiap 3 menit itu seorang pengemis mendapat pemberian sebesar Rp.6000 atau setara Rp.2000 per menit, maka jika sehari mengemis 8 jam, yang berarti 8 jam x 60 menit = 480 menit x Rp.2000 = Rp960.000/hari.  Berarti sebulan (30 hari x Rp 960.000) pendapatannya  mencapai Rp  28.800.000.  Ini berarti lebih besar dari pejabat sekalipun. Nah..apalagi musim ramadhan dan lebaran seperti ini, pak ustadz.” Terang jamaah.

 “Lha inilah PR kita semua, para ulama harus tetap menanamkan jiwa kemandirian,  bahwa tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah, sementara pemerintah harus membuka lapangan pekerjaan dan pelatihannya. Saya menyaksikan di Turki, di sana nenek-nenek atau kakek-kakek yang sudah tua sekalipun tidak mengemis, mereka menjual mainan seperti gangsing, atau menjual sarung tangan, atau topi kupluk di saat musim dingin. Padahal jika mereka menjadi pengemis pun sudah pantas, namun mereka tidak lakukan. Demikian juga anak-anak remaja di Ghaza, -nah kalau ini  menurut teman- mereka tidak mengemis kepada tamu asing yang mengunjungi Gaza, tapi mereka menawarkan teh panas untuk mendapat se-sen dua sen. Padahal mereka pantas jika mengemis kepada orang asing yang datang kesana. Jiwa ini yang harus ditanamkan. Oh ya...kok kita ngobrol sampai ke Turki dan Gaza ya? Tadi di awal kita ngobrol masalah apa ya?” Tanya ustadz setelah bicara ngalor-ngidul

“Anu ustadz.....tadi bicara masalah kapan lebaran?.....Tapi....sudahlah ustadz, saya gak mau tanya lagi.....memang kayaknya gak ada guna. Saya konsentrasi aja lah beribadah yang terbaik di akhir Ramadhan ini...Masalah penentuan hari Ramadhan saya serahkan saja kepada ahlinya.... ya kan ustadz?” Tanya jamaah minta persetujuan.

“Betul...sudah .! kita lanjutkan tilawahnya saja !..” Ustadz menutup obrolannya.

Kamis, 06 Mei 2021

HIKMAH RAMADHAN HARI KE-24: REPOST: IMSAK, BID’AH DAN SAHUR KANGKUNG

“Pak ustadz, saya mau tanya nih. Apa benar istilah “imsak” yang terdapat dalam Jadwal Puasa atau yang sering diperingatkan merbot masjid menjelang subuh itu bid’ah?. Soalnya saya dapat share WA begitu ustadz?” Tanya seorang jamaah usai shalat taraweh.

“Memangnya bapak tahu, imsak itu apa artinya?” Ustadz balik bertanya

“Imsak itu kan artinya tidak boleh makan dan minum, pak ustadz.” Jawabnya

“Masya Allah..! cakep…. Bapak pernah di pesantren kayaknya nih, ya pak?” Ustadz memuji sambil bertanya.

“Hehehe…cuma pesantren kilat, pak ustadz….” Jawab jamaah sambil tersenyum.

“Sekarang kan sudah zaman smartphone pak ustadz, jadi informasi apa saja dapat cepat diakses, termasuk masalah imsak ini.” Jamaah melanjutkan.

“Betul, zaman sekarang, Mbah Goegle menjadi rujukan jutaan orang termasuk masalah agama. Padahal Mbah Goegle itu belum diketahui agamanya, bahkan jenis kelamin aja belum diketahui.” Ustadz menimpali.

“Hehe..betul ustadz. Jadi…, bagaimana dong jawabannya?, apa betul istilah ”imsak” itu bid’ah, pak ustadz.?” Jamaah kembali bertanya pokok persoalan.

“Begini, kalau bicara tentang bid’ah mah panjang deh… definisi bid’ah saja masih belum disepakati. Belum lagi perselisihan tentang pembagian bid’ah. Nah supaya tidak panjang lebar, saya langsung ke pokok masalah imsak  saja dah.” Ustadz mencoba menyampaikan prolog sebelum menjawab.

“Bener pak ustadz, langsung to the point aja dah….” Pinta jamaah.

“Begini, shoum atau shiyam atau puasa secara etimolgi (bahasa) adalah Imsak atau menahan atau meninggalkan sesuatu yang membatalkan puasa. Sedang secara istilah syar’i, puasa adalah meninggalkan sesuatu yang membatalkan puasa sejak terbit fajar (subuh) hingga terbenam matahari (maghrib). Nah dari pengertian ini, maka puasa itu dimulai sejak subuh…..” Ustadz mulai menjelaskan.

“Tapi tadz, kok imsak itu dimulai sepuluh menit sebelum subuh? “ sahut jamaah memotong penjelasan ustadz.

“Sabar…. Saya lanjutkan keterangannya. Jadi, secara hukum, tetap saja puasa itu star-nya sejak waktu subuh, bukan sepuluh menit sebelum subuh. Hanya saja, agar orang-orang prefer dan hati-hati, maka diberitahu untuk bersiap-siap meninggalkan makanan sepuluh menit sebelum subuh dengan istilah imsak. Maka kita sering diingatkan melalui masjid dengan kalimat “imsaaak….imsaak…” itu tujuannya untuk berhati-hati agar jangan sampai kita masih makan sehingga masuk waktu subuh.” Jelas ustadz

“Dan lagiKebiasaan imsak itu sudah ada sejak zaman Nabi dan para sahabat, serta sudah dibahas oleh para alim ulama, meskipun dalam bentuk lain.

Zaid bin Tsabit berkata, “Kami pernah sahur bersama Rasulullah saw kemudian beliau shalat (subuh). Anas bertanya, “Berapa lama jeda antara adzan (subuh) dan sahur?” Saya (Zaid) menjawab, “Sekitar membaca quran sebanyak 50 ayat”.(HR: Bukhori. No 1921).

Imam Syafi’I berkata, “Aku menyukai sahur tidak tergesa-gesa sehingga dekat dengan waktu subuh, aku menyukai menghentikan sahur sebelum mendekati waktu itu (subuh)” (Al-Umm juz.2 hal 105)

Imam Ibnu Hajar mengomentari hadist di atas, yakni “seukuran membaca 10 ayat al-Quran”  yaitu ukuran membaca yang sedang, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat. Sehingga para ulama kita menmperkirakan dan mengkonversi waktu jeda imsak dan waktu subuh itu sama dengan sepuluh menit. “ Jelas ustadz panjang lebar.

“Ohhh gitu..ya pak ustadz,?... jadi, kita tidak boleh makan-minumnya  itu dimulai saat imsak atau subuh pak ustadz?”…Tanya jamaah lagi

“ Ya tetap saja, waktu puasa dikembalikan kepada definisinya, yaitu meninggalkan makan, minum dan bergaul suami isteri di mulai dari terbit fajar (subuh)."Imsak" hanya bentuk peringatan sebelum benar-benar masuk dimulainya puasa. “ Ustadz menjelaskan.

“Tapi ustadz….., kata ustadz di Youtube, harus ganti kata “imsak”nya dengan kata lain, yaitu dengan kata “tanbih” (peringatan!). Jadi, jangan lagi “imsaaaak…..imsaaak…” tapi “Tanbiiih…tanbiiih...”. Gitu ustadz, bagaimana menurut ustadz,,,? Tanya jamaah lagi.

“Terserah mau pakai kata apapun, gak ada larangan, kok. Tapi kan kita sudah akrab dengan kata “imsak” daripada kata “tanbih”. Bahkan kata “imsak” lebih dekat kepada pesan mengingatkan menahan dari makan dan minum. Andaikata kata “imsak….imsak.” dikhawatirkan dapat memberi kerancuan bahwa puasa dimulai dari waktu imsak dan bukan dari waktu subuh, itu tinggal kita beri pengertian melalui pengajian. Sama halnya lafadz iqomat dalam bab shalat, kan lafadznya adalah “Qod qoomatis sholah, qod qoomatis sholah” itu kan menggunakan fi’il madhi? Kata kerja lampau, yang berarti shalat sudah ditegakkan? Padahal kan shalatnya baru mau mulai? Jadi “qood qoomatis sholah” itu bukan pemberitahuan bahwa shalat sudah ditegakkan, tapi baru akan dilaksanakan. Nah, demikan juga dengan kata “imsaak…imsak” bukan berarti sudah mulai puasa, tapi memberi peringatan bahwa sebentar lagi waktu puasa dimulai, yakni waktu subuh, maka bersiap-siaplah meninggalkan makan-minum.” Ustadz menjelaskan panjang lebar.

“Ohhhhh..begitu....cakep nih penjelasannya..” Jamaah menimpali sambil mengangguk-anggukkan kepala dan isyarat jempol  tanda setuju.

“Nah, terkait dengan masalah imsak ini, saya mendapat kasus pertanyaan yang sulit saya jawab…” Ustadz menambahkan.

“Kasus apa itu ustadz…..?” Jamaah Tanya dengan penuh penasaran.

“Begini, ada orang yang “Anti Imsak”, lalu saat imsak dia belum bangun dari tidurnya. Isterinya sudah mengingatkan, “Pak bangun, pak, sebentar lagi imsak !.” Si Bapak sambil malas-malas berkata, “Ah, apa itu imsak?, wong puasa itu mulainya subuh kok, aku ta’ tidur lagi lah, lima menit lagi bangun, nanti aku sahur.”… Nah..ternyata dia bangun dua menit sebelum subuh. Dia pun langsung ke dapur cari makanan. Dia tidak menemukan makanan. Kemudian menuju kulkas. Di kulkas pun gak ada makanan, yang dia lihat hanya seikat kangkung yang terletak di bagian freezer. Karena waktu sahur sudah sempit, dia langsung makan kangkung itu…tapi ternyata kangkungnya beku. Akhirnya dia cuci kangkung itu dengn air sambil diperasnya agar es-nya mencair. Setelah lumayan agak halus, dia pun memakan bagian daunnya hingga sampai ke tonggorkan. Sedangkan batang kangkungnya masih di area mulut dan gigi. Nah di tengah-tengah kondisi seperti itu, tiba-tiba terdengar azan subuh. Dia  jadi bingung, kalau dia cabut kangkungnya, dia kahwatir muntah. Sedangkan muntah dengan sengaja adalah membatalkan puasa. Namun jika dia biarkan, maka batang kangkung masih berada di lokasi gigi dan mulut. Nah, lalu dia tanya saya, bagaimana hukumnya ini, pak ustadz….? Ustadz bercerita.

“Ha….ha....ha…..” Jamaah tertawa terpingkal-pingkal lama sampai keluar air mata

“Lalu…bagaimana jawaban pak ustadz pada orang itu, ustadz..?” Tannya Jamaah penasaran

“Ah..sudah…nanti tambah panjang lagi…. Sudah-sudah…. Saya mau pulang, sudah larut malam nih… rumah saya jauh…. “ Sanggah ustadz sambil berpamitan.


Muhammad Jamhuri, 24 Ramadhan 1442 H.

Rabu, 05 Mei 2021

HIKMAH RAMADHAN HARI KE-23: REPOST: IMAJINER MALAIKAT JIBRIL

Setelah menjelaskan tentang tafsir surat al-‘Alaq yang merupakan surat pertama yang diturunkan Allah swt melalui malaikat Jibril, seorang jamaah pengajian bertanya, “Pak Ustadz, malaikat jibril ‘kan tugasnya menyampaikan wahyu kepada Nabi saw?. Nah.., Nabi Muhammad kan nabi terakhir dan beliau sudah wafat, kalau begitu, berarti sekarang malaikat Jibril “nganggur” dong, sudah gak ada kerjaan dan tugas lagi ?”.

“Huss..hati-hati kalau ngomong..., masa sih, malaikat nganggur?”.  Ustadz menyanggah..

”Maaf  pak ustadz, soalnya sejak kecil saya diajarin bahwa tugas malaikat Jibril adalah menyampaikan wahyu, sedangkan sekarang ini wahyu sudah terputus, jadi tugas Jibril ngapain?” Tanya jamaah.

“Maaf, boleh saya bertanya tentang pribadi bapak?.” Ustadz balik bertanya.

“Boleh, tentang apa pak ustadz?” Jamaah penasaran.

“Bapak sekarang pekerjaannya apa?” Ustadz bertanya.

“Saya custumor service di sebuah bank, pak ustadz.” Jawab jamaah.

“Nah, sekarang saya tanya, selain bapak melayani custumor atau nasabah, sehari-hari bapak kadang melakukan pekerjaan lain gak? Misalnya rapat? Atau keluar kota? Atau kadang pernah diperintah atasan menghandel pekerjaan lain yang menjadi tugas orang lain?”.

“Hmmm..sering ustadz..” Jawab jamaah datar..

“Nah, menyampaikan wahyu itu adalah tugas utama malaikat jibril, tapi bukan berarti beliau sekarang  menganggur dan gak ada pekerjaan, beliau diperintah beribadah, bersujud, ruku’ berlama-lama, beliau dan malaikat lain siap melaksanakan perintah Allah swt tersebut.

Selain itu, ada tugas tahunan yang harus diemban beliau. Dan tugas ini adalah tugas mulia. Bayangkan...biasanya beliau dulu menyampaikan wahyu yang mulia, dari Tuhan Yang Maha Mulia, kepada manusia yang termulia; Nabi Muhammad. Maka pekerjaan yang satu ini pun pasti mulia dan akan disampaikan kepada orang orang yang mulia, atau dimuliakan Allah.” Jelas ustadz yang membuat jamaah penasaran.

“Tugas apa itu ustadz, memang masih ada tugas lainnya?, bukankah Jibril tidak turun lagi setelah Nabi Muhammad saw wafat?” Tanya Jamaah masih penasaran.

“Justru itu, malaikat Jibril diperintah dengan tugas mulia.. yaitu pada setiap malam lailatul qodar, malam kemuliaan, akan turun bersama malaikat-malaikat lain menebarkan rahmat Allah swt...Itulah sebabnya orang yang berketepatan beribadah di malam kemulian /lailatul qodar merupakan orang yang mulia... Bukankah Jibril dulu turun membawa sesuatu yang mulia untuk diberikan kepada seorang yang sangat Mulia? Seorang Nabi yang mulia?.. Maka, begitu pun dengan orang yang mendapat anugrah lailatul qodar, maka dia telah didatangi malaikat mulia yang pernah sering bertemu Nabi yang mulia dengan membawa sesuatu yang mulia juga..”Jelas ustadz.

“Jadi, Marilah kita isi sepuluh malam terakhir Ramadhan ini dengan i’tikaf agar mendapat kemuliaan lailatul qodar” tambah ustadz lagi..

“insya Allah ustadz” seru jamaah

“Mudah-mudahan dah...semua jamaah yang hadir sekarang..eh..yang baca tulisan ini juga...diberi anugrah berketepatan ibadah di malam lailatu qodar...”

“AAAAMIIIIIIIIN” serentak jamaah...

“lho kok itu ada yang belum ucapin aamiin?” kata ustdaz.

Lalu jamaah pun saling pandang dan bertanya:  “siapa ustadz?”

“Yang baca status tulisan ini belum aamiin tuh. Ayo dong tulis “aamiin” atau “like”, hehe..”. Kata ustdaz...

“Ah, ustdaz Facebook nih....” kata jamaah.

“He..he..he...”  Ustadz nyengir..diikuti pembaca juga nyengir....

 

 

 

Muhammad Jamhuri, 23 Ramadhan 1442 H.

Selasa, 04 Mei 2021

HIKMAH RAMADHAN HARI KE-22: DI RAMADHAN; BERDOALAH KEBELAKANG.. ATAU JAUH KE DEPAN.

Banyak orang jika berdoa, selalu permohonannya bersifat ke depan, dan jarak nya dekat pula. Sebagai contoh, bagi orang yang belum punya jodoh maka permohonannnya adalah agar segera mendapat jodoh. Bagi orang yang belum punya rumah, doanya agar segera kebeli rumah. Orang yang belum punya mobil, mintanya segera diberi kendaraan mobil. Orang yang sedang sakit atau wabah melanda, memohon segera sembuh atau hilangnya wabah. Begitu seterusnya. Apa salah permohonan seperti itu? Tidak salah, cuma kadang kita tidak sadar bahwa permohonan ke belakang itu tidak kalah pentingnya dengan permohonan ke depan. Yang dimaksud dengan doa kebelakang adalah doa muhasabah, mawas diri, introspeksi, mengaku bersalah dan memohonan ampunan atas kekhilafan yang telah dilakukan

Lihatlah isi kandungan doa Nabi Yunus as yang beliau panjatkan. Saat beliau ditelan ikun hiu, beliau berdoa tidak meminta, “Ya Allah, keluarkan aku dari perut ikan ini.” Justru beliau berdoa dengan doa ke belakang –atau yang disebut muhasabah/instropeksi dan mengakui kekurangan diri. Beliau justru doanya “Laa ilaah illa Anta Subhanaka Inni Kuntu Minazh Zholimin” (Tidak ada Tuhan selain Engkau, Maha suci Engkau, Sungguh aku termasuk orang-orang yang zhalim/aniaya). Meski doanya ke belakang (mengaku kekhilafan), toh Allah akhirnya mangabulkannya dengan diselamatkannya beliau dari perut ikan hiu.

Lihat juga bunyi permohonan nabi Adam as saat beliau dan isterinya dikeluarkan dari surga, keduanya berdoa: “Robbana zholamna anfusana wa in lam taghfirlana wa tarhamna lanakunnna minal khosirin” (Ya Allah, sungguh kami telah menganiaya diri kami sendiri, jika engkau tidak mengampuni dan mengasihi kami, maka kami termasuk orang yang merugi). Hasilnya? Pertobatan beliau diabadikan mulia di dalam al-Quran dengan segala pujian Allah kepadanya. Bahkan diangkatnya beliau sebagai Nabi dan Rasul.

Kisah tiga orang yang mengadukan problematikanya masing-masing kepada Hasan al-Bashari; ada yang datang mengadukan masalah bisnis yang merugi, masalah pertanian yang gagal panen, dan masalah kemandulan karena belum diberi momongan, jawaban Hasan al-Bashori ringkas dan sama untuk ketiga orang tersebut. “Perbanyak istighfar..!” Tentu saja istighfar pun jenis doa ke belakang atau doa muhasabah. Ketika santri Hasan al-Bashori bertanya, kok semua problematika hanya dijawab dengan satu istighfar? Adakah dalilnya?. Hasan al-Bashori lalu menjawab dengan membaca surat Nuh ayat 10-13.

Jadi, doa ke belakang itu dahsyat kan? Bahkan kadang lebih dahsyat dari pada doa ke depan yang sifatnya “pragmatis” atau jangka pendek seperti yang dijelaskan di atas.

Kalau pun ingin berdoa ke depan, cobalah doanya bersifat jauh ke depan. Bukan jangka pendek. Atau doanya seperti seorang yang berwawasan visoner. Coba perhatikan redaksi doa perempuannya Fir’aun (redaksi al-Quran tidak menyebut zaujah/isteri, tapi menggunakan sebutan imro’ah/ceweknya Fir’aun). Doanya: “Robbibni li ‘indakan baitan fil jannah” (Ya Tuhanku, bangunkan untukku di sisiMu istana di surga). Uihh..Tidak tanggung-tanggung jauh benar, “istana di Surga”.

Perhatikan pula Do’a Nabi Sulaiman saat belum menjadi apa-apa, “Ya Tuhan berilah aku kerajaan yang tidak akan Engkau berikan kepada siapapun sepeninggalku”. Hingga Nabi Muhammad saw saja tidak berani menaklukkan jin yang sedang dikuasainya, lalu dilepasnya karena ingat doa Nabi Sulaiman ini.

Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Andai aku diberi kesempatan dengan satu doa. yang doa itu pasti akan diterima Allah, maka aku akan gunakan doa itu untuk memohon diberi pemimpin yang adil, karena pemimpin adil itu kebaikannya bukan saja untuk diriku, tapi semua orang.” Imam Ahmad tidak sekedar berdoa untuk diri dan keluarganya, tetapi untuk yang lebih jauh dan lebih luas.

Saudaraku.. ada dua redaksi do’a yang diajarkan Nabi agar sering dibaca di bulan Ramadhan hari-hari ini. Doa pertama adalah “doa ke belakang” atau muhasabah/introspeksi. Dan doa kedua adalah “doa jauh ke depan”. Doa ke belakang adalah “Allahumma innaka afuwwun karim tuhibbul afwa fa’fu’anna yaa karim” (Ya Allah seseungguhnya engkau maha pengampun dan maha santun, sungguh engkau suka memaafkan, maka maafkanlah kami, wahai Tuhan yang Maha Penyantun). Doa ini pernah diajarkan Nabi saw saat Aisyah ra bertanya kepada Nabi saw, “doa apa yang mesti dibaca di malam lailatul qodar?”. Maka doa inilah yang diajarkan Nabi saw.

Sedangkan doa yang berdimensi jauh ke depan adalah; “Allahumma  inna nas-aluka ridhoka wal  jannata wa na’udzu bika min sakhotika wannaar” (Ya Allah, kami memohon padaMu ridho-Mu dan surga , dan kami berlindung padaMu dari murka-Mu dan dari api neraka).

Kenapa doa-doa seperti ini yang justru diajarkan Nabi saw kepada kita? Karena jika sudah mendapat ampunan Allah swt dan ridhoNya, maka jangankan urusan dunia, urusan akhirat yang dahsyat saja akan dimudahkan kebahagiannya oleh Allah swt kepada kita.

Wallahu a’lam.

Muhammad Jamhuri, 22 Ramadhan 1442 H.

Senin, 03 Mei 2021

HIKMAH RAMADHAN HARI KE-21: IBADAH PRIORITAS

Banyak orang yang mementingkan sholat tarawih dari pada sholat sunah bakdiyah Isya. Banyak orang yang berupaya untuk berpuasa menahan lapar di bulan Ramadhan, namun ringan dalam meninggalkan shalat fardhu lima waktu. Banyak orang yang berburu mempersiapkan hari raya idul fitri dengan bekerja lembur hingga  meninggalkan puasa di bulan Ramadhan dan ibadah-ibadah sunah lainnya. Banyak orang yang berburu belanja di Mall di sepuluh terakhir Ramadhan dibanding berburu lailatul qodar di masjid.

Padahal hukum taraweh adalah sunah, sedangkan shalat bakdiyah isya hukumnya sunnah muakkadah (sunah yang sangat ditekankan). Padahal berpuasa di bulan Ramadhan adalah rukun Islam yang keempat, sedangkan sholat fardhu lima waktu adalah rukun Islam yang kedua. Padahal memakai baju baru di hari raya Idul Fitri hukumnya sunah biasa dan durasinya cuma satu hari saat idul fitri, sedangkan meninggal puasa Ramadhan hukumnya haram dan berdosa, dan menyia-nyiakannya Ramadahan dengan meninggalkan banyak kesempatan ibadah adalah sebuah kerugian besar. Padahal Rasulullah saw tidak menganjurkan meramaikan pasar di sepuluh terakhir Ramadhan melainkan menganjurkan meramaikan masjid-masjid. Tapi itulah yang banyak kita saksikan dan temukan di tengah-tengah masyarakat.

Pada saat saya membimbing jamaah haji atau umroh, di Masjidil Haram atau masjid Nabawi seringkali dilaksanakan shalat jenazah setiap bakda shalat fardhu. Tapi banyak jamaah saya yang tidak ikut melaksanakannya bersama imam masjid, tapi mereka malah semangat melaksanakan sholat bakdiyah dan sunnah-sunnah lainnya. Saya katakan kepada mereka bahwa sholat jenazah itu hukumnya fardhu kifayah, sedangkan shalat bakdiyah itu hukumnya sunah. Fardhu kifayah itu lebih tinggi kedudukannya dari pada sunnah.

Bahkan ada juga jamaah yang masih bermasalah dengan shalat fardhunya selama ini di Tanah Air, tapi bersemangat melaksanakan ibadah umroh yang sifatnya sunnah dan harus membayar jutaan rupiah. Bahkan ada yang meyepelekan shalat fardhu saat berada di Tanah Suci.

Be smart Moslem..!. Jadilah muslim yang cerdas. Kita harus pandai memposisikan diri dalam melaksanakan ibadah, mana yang harus diprioritaskan? Meskipun semua ibadah itu kebaikan, namun syariat telah menentukan mana yang urgent, dan mana yang biasa serta tidak urgen?

Dalam urutan tertib hukum taklifi, maka yang paling urgent adalah fardhu ain, kemudiam diikuti fardhu kifayah, sunnah muakkadah, sunah, mustahabb, makruh, dan haram. Jangan sampai kita semangat menghidupkan amalan sunah, sementara yang fardhu ain kita tinggalkan.

Sedang dalam kaidah maqashid syariah (tujuan syariat), urutan tertibnya adalah dharuriyat (primer) yakni perkara-perkara yang sangat urgen dan penting yang jika ditinggalkan akan membahayakan, hajiyat (sekunder) yakni perkara-perkara kebutuhan yang jika ditinggalkan tidak berbahaya bagi keselamatan jiwa. Dan Tahsiniyah (kepantasan) yakni perkara-perkara yang dapat membuat hal menjadi lebih pantas atau indah. Maka jangan memprioritaskan tahsiniyat (keindahan) atas hajiyat (kebutuhan) dan dharuriyat (primer). Sebagaimana jangan memperioritaskan hajiyat (sekunder) di atas dharuriyat (primer).

Demikian pula, amalan yang berlandaskan dalil qothy’ harus diprioritaskan di atas amalan yang berlandaskan dalil zhanny. Serta  mendahulukan amalan yang berdalil shahih di atas amalan yang berdalil dhoif apalagi maudhu’. Wallahu a’lam.

Muhammad Jamhuri, 21 Ramadhan 1442 H.

Minggu, 02 Mei 2021

HIKMAH RAMADHAN HARI KE-20: DUA SISI KESEMPURNAAN AMAL

Dalam teks-teks al-Quran dan hadist, selalu saja ada dua amal yang saling berkaitan. Satu sama lainnya tidak terpisahkan. Kedua amal itu memang harus ada pada diri setiap muslim. Jika salah satunya tidak ada, maka amalan itu tidak akan sempurna. Kedua amalan itu adalah berdimensi hablun minallah dan hablun minannas (hubungan kepada Allah dan hubungan kepada sesama makhluk). Atau ibadah yang besifat individual dan ibadah bersifat sosial

Kata “sholat” dan kata “zakat” umpanya selalu disebut berdampingan dalam al-Quran, karena sholat berdimensi pribadi dengan Tuhannya, sedang zakat berdimensi sosial. Kata beriman dan beramal sholeh (alladzina aamanu wa amilussholihat) juga selalu berdampingan, karena iman bersifat keyakinan pribadi, sedang amal sholeh berdampak sosial.

Bagaimana dengan perintah puasa? Sama. Dalam puasa,  kita selain dianjurkan banyak shalat malam, juga dianjurkan banyak bersedekah. Rasulullah saw adalah orang yang paling dan bertambah kedermawanannya saat memasuki bulan puasa. Bahkan usai puasa, malam takbir hingga sebelum usai shalat idul fitri kita diwajibkan untuk mengeluarkan zakat fitrah. Zakat yang harus dikeluarkan oleh inidividu muslim yang mempunyai kelebihan makanan di hari raya. Termasuk yang fakir dan miskin pun, jika dia di hari itu kelimpahan makanan pokok, walau pun awalnya sebagai mustahiq, dia tetap harus berzakat fitrah.

Kedua perintah berdimensi peribadi dan sosial ini menjadi prinsip ajaran Islam. Imam Nawawi dalam kitab Nashoih al-‘Ibad berkata, “Afdholul ‘Amal: Al-iman billahi wa al-naf’u lil muslimin”. Sebaik-baik amal adalah mengimani Allah dan bermanfaat bagi kaum muslimin. Inilah prinsip sekaligus way of Life.

Perkara kepedulian sosial bukan lagi menjadi masalah furuiyah fiqhiyyah (masalah cabang fiqih), akan tetapi menjadi masalah imaniyah. Nabi saw bersabda “Tidaklah beriman seseorang di antara kamu, hingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri” (HR: Bukhori). Di sini Nabi saw menyatakan “tidaklah beriman” yang menunjukkan bahwa masalah kepedulian sosial bukan masalah furuiyyah fiqhiyyah, akan tetapi menjadi masalah keimanan.

Bahkan dalam beberapa hadist, menyebut beberapa contoh bahwa rasa peduli kepada sesama (kepedulian sosial) dianggap sebagai yang lebih utama dari pada ibadah individual. Nabi saw bersabda, “Seseorang yang keluar untuk menunaikan kebutuhan saudaranya lebih utama dari pada beri’itikaf di mesjidku.” (HR: at Thabrani)  Bayangkan, i’tikaf di masjid Nabi saw adalah ibadah yang didamba-dambakan. Namun keutamaan itu dikalahkan oleh pergi menunaikan kebutuhan manusia.

Bahkan kisah seorang wanita yang berprofesi “psk” pun, mendapat pahala surga setelah dia memberi minum kepada seekor anjing yang sedang kehausan.

Syeikh DR. Yasir bin Salim Asy-Sayhiri ulama asal Yaman yang baru-baru ini berkunjung ke Indonesia, saat mewisuda para santri dan memberi ijazah sanad hadist musalsal bil awwaliyah berkata, “Mengapa setiap Syeikh saat memberi ijazah sanad hadist, maka ijazah yang pertama diberi adalah hadist  al-musalsal bil awwaliyah?.. Karena agar umat Nabi Muhammad saw selalu menjadi rahmat kepada semua makhluk, sebagai kelanjutan dari tujuan diutusnya Nabi Muhammad saw. ‘Tidaklah Aku utus engkau kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam.”

Hadist al-musalsal bil awaaliyah itu bunyinya adalah: “Orang yang kasih sayang, akan dikasihsayang oleh Dzat yang Maha Kasih Sayang (Ar-Rahman), Sayangilah semua yang di bumi, maka kalian akan disayangi oleh yang di langit.” (HR: Bukhori)

Muhammad Jamhuri, 20 Ramadhan 1442 H.

 

 

 

 

Sabtu, 01 Mei 2021

HIKMAH RAMADHAN HARI KE-19: 10 TERAKHIR RAMADHAN, ANTARA NASIB MASJID DAN MALL

Orang-orang tua kita di Jakarta (Betawi) dan Tangerang dulu, setiap datang pertengahan Ramadhan selalu membuat menu ketupat untuk disedekahkan ke surau/musholla. Anak-anak pun senang membawa-bawa ketupat, baik ketupat yang masih dalam bentuk cangkangnya maupun sudah berisi. Kadang kita pakai untuk bermain seolah-olah berdagang ketupat “kupat-kupat..” layaknya pedagang ketupat. Lalu apabila kita akan membuka ketupat dengan cara mempreteli anyaman daun-daunya secara satu persatu, spontan dilarang orang tua. Ketika ditanya alasannya, orang tua hanya menjawab, “Gak boleh, itu pamali”. Lalu orang tua memerintahkan, kalau membuka ketupat harus dari tengahnya dengan cara membelahnya dengan pisau.

Lalu jika datang tanggal 20 Ramadahan, orang-orang tua membuat menu kue ketimus atau clorot (jawa) dalam bentuk seperti ekor cecak tetapi ukurannya sebesar pisang,  atau dalam bentuk kerucut. Kemudian saat kita akan memakannya, lagi-lagi orang tua kita melarang apabil cara makannya dimulai dari bagian besarnya, harusnya memakannya dari ujung terkecilnya dahulu. Sekali lagi, jika ditanya kenapa? Jawabannya sama, “gak boleh, pamali !.”

Setelah dewasa, saya baru mengerti, bahwa larangan di atas memberi pesan yang sangat dalam. Para Wali Songo memberi pesan dalam simbol menu makanan yang dibuat. Larangan membuka ketupat dengan cara dipereteli anyaman daunnya, dan hanya boleh dengan cara dibelah dengan pisau mengisyaratkan pesan kepada kita, bahwa Ramadhan sudah di pertengahan. Artinya, separuh Ramadhan sudah berakhir, dan yang tersisa separuhnya lagi. Ini memberi pesan kepada kita, agar jangan sia-sia kan separuh Ramadahan yang masih ada. Amalan harus ditingkatkan, target-target tilawah serta amalan baik lainnya harus tercapai.

Kemudian, larangan memakan kue ketimus berbentuk kerucut dimulai dari yang besarnya dan berakhir dengan yang kecilnya, dan hanya diperbolehkan memakan dari yang kecil dan berakhir di bagian yang paling besar, ialah berisi pesan juga bahwa puncak keutamaan ibadah di Ramadhan ada di 10 terakhir Ramadahan. Maka ibadah di hari-hari terakhir ini harus ditingkatkan dan dibesarkan porsinya. Karena di dalamnya terdapat satu malam yang mulia. Yaitu lailatul qodar.

Rasulullah saw sendiri telah mencontohkan, selama 10 tahun hidup di Madinah sejak hijrahnya hingga wafatnya tidak meninggalkan kebiasaan (sunah) I’tikaf (berdiam) di dalam masjid di sepuluh hari terakhir bulan Ramadahan. Bahkan di tahun beliau meninggal dunia, beliau beri’tikaf di masjid selama 20 hari.  Rasulullah saw juga bahkan pernah mengqadha i’tikaf 10 harinya, jika tidak sempat i’tikaf saat terjadi peperangan di bulan Ramadhan.

Ini menunjukkan pentingnya taharri (berjaga-jaga) di sepuluh terakhir bulan Ramadhan.

Saudaraku, Ramadhan segera akan meninggalkan kita. Ia akan berakhir beberapa hari lagi ke depan. Maka di sisa hari yang ada, hendaknya kita meningkatkan amaliyah Ramadhan. Salah satunya dengan beri’tikaf di masjid. Mengapa di masjid? Karena agar ibadah yang kita laksanakan lebih kosnsentrasi dan tidak disibukkan dengan aktifitas keduniaan. Selain itu, Rasulullah saw bersabda yang arinya, “Sebaik-baik dataran bumi adalah masjid, dan seburuk-buruknya adalah pasar/mall.”

Akan tetapi fenomena yang nampak adalah, setiap mmenjelang akhir Ramadahan umat lebih memilih berbondong-bondong ramai mendatangi pasar/mall dan dari pada meramaikan masjid... . Yuk kita ubah balik, dengan 3 M; Mulai dari kita, Mulai dari sekarang, dan Mulai dari yang kita bisa.

Muhammad Jamhuri, 19 Ramadhan 1442 H.