Minggu, 30 Mei 2021

Pesantren Terbuka dan Nasehat Sang Kyai: "Sarjana Bukanlah Orang Yang Pandai Cari Pekerjaan, Tapi Pandai Membuka Lapangan Pekerjaan"

Bersama KH. Syukron Makmun Saat Peresimian Gedung Rumah Quran
Nasehat ini saya dapatkan dari Kyai dan "Guru Besar" saya, KH. Syukron Makmun. Terutama saat acara wisuda atau Haflatul Wada' para santri. Dan nasehat itu juga yang saya sampaikan kepada para santri-santri saya saat Haflatul Wada'.

Nasehat sang Kyai ini masih sangat relevan di tengah segala hal yang serba instan. Bahkan ada indikasi gelar sarjana pun kini dapat diraih dengan cara instan, tanpa proses ilmiah apalagi khuluqiyah dalam proses pendidikan meraih gelar sarjana.

Mungkin nasehat itulah yang membuat saya selalu ingin hidup mandiri. Usai lulus kuliah dari Umm al-Quro University, Makkah saya tidak canggung dan malu untuk membuat TPA (Taman Pendidikan Al-Quran) yang sederhana di Masjid dekat rumah saya. Namun TPA yang saya dirikan berbeda dengan TPA biasa. Sistem yang saya buat mirip dengan pesantren, nyaris para santrinya belajar 24 jam. Kalau dapat diistilahkan TPA yang saya dirikan adalah "Pesantren Terbuka", nyontek dari istilah UT (Universitas Terbuka). Para santri bangun subuh dan shalat subuh, lalu mereka pergi ke sekolah masing-masing. Jam 14.00 mereka mulai ke Masjid hingga pukul 16.30. Lalu menjelang maghrib mereka ke Masjid lagi untuk shalat maghrib, ngaji dan shalat Isya berjamaah. Bakda shalat Isya mereka belajar bersama secara mandiri di masjid mengulang pelajaran sekolah hingga pukul 21.00. Setelah itu mereka tidur di rumah masing-masing, namun ada 3-5 santri diberi tugas sebagai bulis (ronda) di masjid sambil itikaf, tugasnya membangunkan para santri di rumah masing-masing saat menjelang subuh. Sehingga para santri melaknasakan shalat subuh berjamaah. Tiap hari Ahad saya ajak mereka berolah raga ke lapangan atau ke pinggir sungai Cisadane. Ringkasnya, miriplah dengan kehidupan pesantren. Bedanya tidak punya komplek atau asrama. Itu sebabnya saya istilahkan sebagai "Pesantren Terbuka."

Santrinya yang tadinya cuma 20 orang langsung naik menjadi 120 orang. Bahkan anak-anak balita pun mau ikutan. Maklum sejak adanya pesantren terbuka itu, anak-anak balita tidak punya teman bermain karena anak dewasanya semua di masjid. Sehingga yang masih balita pun dibawa orang tuanya daftar ikut TPA. Di saat itulah, saya tidak bisa menaganinya sendiri. Maka saya ajak beberapa teman di kampung dan dari kampung sebelah untuk membantu mengajar dan mendidik anak-anak. Di sini -saat itu- saya merasa sudah melaksanakan nasehat Kyai saya, "Sarjana adalah orang yang pandai membuka lapangan pekerjaan. Bukan pandai mencari pekerjaan".

Di sela waktu kosong saya juga banyak menulis tausiyah-tausiyah ringkas yang kemudian di cetak menjadi bulletin jum'at dan disebar ke mesjid-mesjid. Saat itu saya pun telah "membuka" lapangan pekerjaan kepada teman saya, baik bagian pencetakan maupun distributor ke mesjid-mesjid.

Kisah ini saya sampaikan kepada para santri di acara Wisuda atau Haflatul Wada Lulusan Angkatan 6 Ahad lalu, agar menjadi isnpirasi buat mereka. 

Jadi, mendirikan pesantren tidak harus punya lahan dan bangunan. Dengan potensi dan pengalaman yang dimiliki saat nyantren serta lingkungan kondusif, kita bisa mendirikan pesantren. Yang terpenting ide dan kreatifitas serta semangat jangan mati. Bahkan saat dianugrahi Allah lahan dan fasilitas sekalipun.

Semoga bermanafaat.

Muhammad Jamhuri

Rumpin, 30 Mei 2021.


Tidak ada komentar: