Orang-orang tua kita di Jakarta (Betawi) dan Tangerang dulu, setiap datang pertengahan Ramadhan selalu membuat menu ketupat untuk disedekahkan ke surau/musholla. Anak-anak pun senang membawa-bawa ketupat, baik ketupat yang masih dalam bentuk cangkangnya maupun sudah berisi. Kadang kita pakai untuk bermain seolah-olah berdagang ketupat “kupat-kupat..” layaknya pedagang ketupat. Lalu apabila kita akan membuka ketupat dengan cara mempreteli anyaman daun-daunya secara satu persatu, spontan dilarang orang tua. Ketika ditanya alasannya, orang tua hanya menjawab, “Gak boleh, itu pamali”. Lalu orang tua memerintahkan, kalau membuka ketupat harus dari tengahnya dengan cara membelahnya dengan pisau. Lalu jika datang tanggal 20 Ramadahan, orang-orang tua membuat menu kue ketimus atau clorot (jawa) dalam bentuk seperti ekor cecak tetapi ukurannya sebesar pisang, atau dalam bentuk kerucut. Kemudian saat kita akan memakannya, lagi-lagi orang tua kita melarang apabil cara makannya dimulai dari bagian besarnya, harusnya memakannya dari ujung terkecilnya dahulu. Sekali lagi, jika ditanya kenapa? Jawabannya sama, “gak boleh, pamali !.”
Setelah dewasa, saya baru mengerti, bahwa larangan di atas memberi pesan yang sangat dalam. Para Wali Songo memberi pesan dalam simbol menu makanan yang dibuat. Larangan membuka ketupat dengan cara dipereteli anyaman daunnya, dan hanya boleh dengan cara dibelah dengan pisau mengisyaratkan pesan kepada kita, bahwa Ramadhan sudah di pertengahan. Artinya, separuh Ramadhan sudah berakhir, dan yang tersisa separuhnya lagi. Ini memberi pesan kepada kita, agar jangan sia-sia kan separuh Ramadahan yang masih ada. Amalan harus ditingkatkan, target-target tilawah serta amalan baik lainnya harus tercapai.
Kemudian, larangan memakan kue ketimus berbentuk kerucut dimulai dari yang besarnya dan berakhir dengan yang kecilnya, dan hanya diperbolehkan memakan dari yang kecil dan berakhir di bagian yang paling besar, ialah berisi pesan juga bahwa puncak keutamaan ibadah di Ramadhan ada di 10 terakhir Ramadahan. Maka ibadah di hari-hari terakhir ini harus ditingkatkan dan dibesarkan porsinya. Karena di dalamnya terdapat satu malam yang mulia. Yaitu lailatul qodar.
Rasulullah saw sendiri telah mencontohkan, selama 10 tahun hidup di Madinah sejak hijrahnya hingga wafatnya tidak meninggalkan kebiasaan (sunah) I’tikaf (berdiam) di dalam masjid di sepuluh hari terakhir bulan Ramadahan. Bahkan di tahun beliau meninggal dunia, beliau beri’tikaf di masjid selama 20 hari. Rasulullah saw juga bahkan pernah mengqadha i’tikaf 10 harinya, jika tidak sempat i’tikaf saat terjadi peperangan di bulan Ramadhan.
Ini menunjukkan pentingnya taharri (berjaga-jaga) di sepuluh terakhir bulan Ramadhan.
Saudaraku, Ramadhan segera akan meninggalkan kita. Ia akan
berakhir beberapa hari lagi ke depan. Maka di sisa hari yang ada, hendaknya kita
meningkatkan amaliyah Ramadhan. Salah satunya dengan beri’tikaf di masjid.
Mengapa di masjid? Karena agar ibadah yang kita laksanakan lebih kosnsentrasi
dan tidak disibukkan dengan aktifitas keduniaan. Selain itu, Rasulullah saw
bersabda yang arinya, “Sebaik-baik dataran bumi adalah masjid, dan
seburuk-buruknya adalah pasar/mall.”
Akan tetapi fenomena yang nampak adalah, setiap mmenjelang akhir Ramadahan umat lebih memilih berbondong-bondong ramai mendatangi pasar/mall dan dari pada meramaikan masjid... . Yuk kita ubah balik, dengan 3 M; Mulai dari kita, Mulai dari sekarang, dan Mulai dari yang kita bisa.
Muhammad Jamhuri, 19 Ramadhan 1442 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar