“Ah, Bapak sih kayak
anak kecil aja!” Ustadz menaggapi santai
“Maksudnya apa ustadz?
Ada yang salah kalau saya nanya begitu?” Tanya jamaah agak kecewa.
“Tidak, cuma tidak elok
saja..Bahkan boleh dikata tidak dewasa.” Ustadz menanggapi
“Maksud ustadz?” Tanya
jamaah lagi
“Begini, banyak orang
yang konsentarsi ke hari itu, tapi lupa dia sedang berada di hari apa? Sedang di bulan apa? Apa yang dilakukan di
tengah-tengah waktu seperti ini?. Ibarat
anak murid, baru juga beberapa hari
menghadapi ujian semesteran, sudah nanya kapan
liburannya? Lalu lupa tidak mempersiapkan ujiannya, tapi sibuk membicarakan
liburan dengan temannya, dengan keluarganya, dengan berbagai rencana di
dalamnya. Akhirnya, ketika hasil ujian diumumkan, nilainya buruk, bahkan tidak
lulus. Akibat sibuk bicara tentang liburan dan perencanaannya. Tapi lalai
dengan ujiannya” Ustadz coba menjelaskan.
“Bahkan, beberapa tahun
lalu, ramai di media elektronik dan cetak, memberitakan perbedaan pendapat
tentang hari idul fitri, antara satu ormas dengan ormas lain saling adu
argumentasi, kemudian imbas ke masyarakat, hingga di sebuah kampung, masjid
kampung yang satu-satunya itu menjadi rebutan antara kelompok yang mendukung
lebaran hari ini dengan kelompok yang lebarannya besoknya.
Sudahlah...! masalah penentuan lebaran kita serahkan kepada
ulil amri, para ulama dan pemerintah, atau ormas yang menjadi naungan kita.
Yang perlu kita menyibukkan diri adalah apakah sisa Ramadhan kita ini dapat
selesai dengan baik? Bisa husnul khotimah? Ataukah hanya akan kita lewati
begitu saja?. Istilah anak murid, ujian yang sedang dihadapi akan mendapat
nilai terbaik tidak?” Ustadz menjelaskan panjang lebar.
“Betul ustadz. Tapi
kenapa orang banyak meributkan hari apa lebaran jatuh ya?” Tanya jamaah.
“Ini yang harus kita
evaluasi. Pengusaha garmen ingatnya kapan lebaran? Sehingga dia mempersiapkan
peningkatan produksi garmennya. Pengusaha kue juga begitu. Bahkan orang miskin,
atau orang-orang yang pura-pura miskin, konsentrasi nya pada lebaran, bukan
pada ibadah yang rentang waktunya lebih panjang dari pada lebaran.” Ujar Ustadz
menambahkan.
“Maaf ustadz, tadi
ustadz mengatakan orang miskin pun konsentrasinya ‘kapan lebaran’? Apa ada keperluan mereka memikirkan hari lebaran?.
Kalau pengusaha tadi kan wajar memikirkan kapan lebaran? Untuk menentukan
jumlah produknya menjelang dan saat lebaran. Tapi kalau orang miskin kan gak punya
pabrik?” Jamaah protes.
“Lha kan orang miskin
juga tahu kapan saja waktu ramai yang dapat menghasilkan pendapatan?” Jelas
ustadz
“Oh iya..ya..” . Jamaah
mengangguk-angguk
“Nah..gara-gara
konsentrasi kepada hal itu, konsentrasinya serba ke materi, akhirnya hikmah
zakat fitrah yang diajarkan Nabi saw pun sirna.” Ustadz menimpali
“Maksudnya?” Tanya
jamaah.
“Di antara hikmah zakat
fitrah yang harus dikeluarkan sebelum bubar shalat ied, adalah agar di hari dan
suasana berbahagia itu tidak ada lagi kesedihan, apalagi suasana kemiskinan.
Semua mukmin berbahagia. Oleh karena itu, harus dipastikan semua orang yang
miskin mendapat zakat fitrah. Oleh sebab itu juga, zakat fitrah kewajiban yang
harus dikeluarkan untuk setiap individu, baik yang sudah berakal maupun tidak,
dewasa atau anak-anak. Itu agar dipastikan orang
miskin semua akan mendapat zakat fitrah dan mereka ikut berbahagia di hari
lebaran. Tapi kenyataannya, setiap kita mau masuk mesjid atau lapangan untuk
melaksanakan shalat idul fitri, pasti disambut oleh orang miskin, atau
orang-orang yang berpura-pura miskin dengan pakaiannya yang serba kumuh dan
mengemis. Demikian juga saat kita bubaran shalat, saat keluar masjid maka
mereka sudah berbaris dengan tangan yang di tengadahkan sambil minta belas
kasih sayang. Bahkan dengan pemandangan anak-anak yang digendongnya seakan
mereka memang dimintai belas kasih sayang. Jika demikian, mana fungsi zakat fitrah
disini yang katanya sudah dibagikan
sebelum shalat id? Apakah zakat fitrah yang kita keluarkan salah sasaran? Ataukah memang
mereka berpura-pura miskin di hari itu? Apapun juga alasannya, pemandangan
banyaknya orang-orang miskin yang meminta belas kasih dihari raya mestinya tidak boleh ada lagi. Tidak sesuai dengan hikmat dan
tujuan adanya zakat fitrah. Karena zakat
fitrah sudah didistribusikan, sebelum shalat ied selesai” Jelas ustadz panjang
lebar.
“Kalau zakat fitrah
sudah didistribusikan kepada mustahik, apa mungkin karena mental mereka selalu
meminta-meminta ustadz, sehingga di Idul Fitri pun, malah mereka menjamur di
sekitar masjid?” Ujar jamaah.
“Wallahu a’lam...kita
tidak boleh su-uz zhon” Ustadz menimpali.
“Tapi ustadz, pernah ada penilitian dan sampling, bahwa
para pengemis yang biasa mengemis merasa
lebih baik jadi pengemis dari pada bekerja, karena penghasilan mengemis itu
lebih besar dari pada bekerja, apalagi gak punya keterampilan. Bayangkan saja,
jika lampu merah menyala merah selama 3 menit, dalam setiap 3 menit itu seorang
pengemis mendapat pemberian sebesar Rp.6000 atau setara Rp.2000 per menit, maka
jika sehari mengemis 8 jam, yang berarti 8 jam x 60 menit = 480 menit x Rp.2000
= Rp960.000/hari. Berarti sebulan (30
hari x Rp 960.000) pendapatannya mencapai Rp 28.800.000.
Ini berarti lebih besar dari pejabat sekalipun. Nah..apalagi musim
ramadhan dan lebaran seperti ini, pak ustadz.” Terang jamaah.
“Anu ustadz.....tadi
bicara masalah kapan lebaran?.....Tapi....sudahlah ustadz, saya gak mau tanya
lagi.....memang kayaknya gak ada guna. Saya konsentrasi aja lah beribadah yang
terbaik di akhir Ramadhan ini...Masalah penentuan hari Ramadhan saya serahkan
saja kepada ahlinya.... ya kan ustadz?” Tanya jamaah minta persetujuan.
“Betul...sudah .! kita
lanjutkan tilawahnya saja !..” Ustadz menutup obrolannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar