Dalam bahasa Sunda, kata “udik” berarti kampung. Mungkin dari kata inilah lahir kata “mudik” yang berarti pulang kampung. Isu mudik belakangan ini menjadi kontraversi di masyarakat. Hal itu karena berkaitan dengan peraturan pembatasan pergerakan masayarakat di masa pandemi Corona yang telah berlangsung dua tahun belakangan ini. Tahun-tahun sebelumnya, kegiatan mudik berjalan normal.
Meski normal, sering
saja terjadi kecelakaan di tengah kegiatan mudik ini. Tidak sedikit banyak jatuh
korban karena mudik. Namun demikian, hal itu tidak menyurutkan keinginan
masyarakat untuk tetap mudik. Apapun resikonya. Termasuk tahun ini, meski dari
pemerintah daerah hingga pusat telah melarang kegiatan mudik di masa liburan
lebaran ini, animo masyarakat untuk mudik tetap tinggi. Ada masayarakat yang
diberhentikan karena dihadang oleh petugas, tapi tetap rela berjalan kaki
sejauh 15 km untuk menuju kampung yang ditujunya. Padahal mereka adalah kaum
ibu dan anak-anak. Ada juga yang pergi berkelompok dan konvoi hingga tak bisa
dibendung oleh para petugas, seperti yang terjadi di perbatasan Bekasi dan
Karawang baru-baru ini. Rombongan kendaran motor bersorak sorai saat petugas
tidak mampu membendung arus konvoi para pemudik. Singkatnya, keinginan mudik
tetap ada meski harus menerobos tapal batas petugas.
Oleh sebab itu, mudik
adalah fitrah setiap manusia. Apalagi sebelumnya jiwa mereka telah dibersihkan
dengan puasa, maka fitrah itu semakin tumbuh di dalam jiwa manusia. Sehingga
mudik adalah efek dari sprtualitas yang tumbuh dalam jiwa setelah puasa.
Salah satu bentuk
fitrah adalah ingin kembali ke asal. Para perantau di kota-kota besar adalah
berasal dari kampung mereka masing-masing. Mereka ingin kembali ke asal-muasal.
Asal mereka dilahirkan, dan asal manusia yang telah melahirkan, yaitu orang
tua. Ada ketengan batin yang dirasa saat jiwa manusia berada di samping asal
manusia yang melahirkan.
Orang tua adalah tempat
kita dilahirkan. Allah yang telah menciptakan kita telah “mewakilkan” orang tua
sebagai wadah proses keberadaan kita. Oleh sebab itu Allah telah menempatkan kedudukan
orang tua sebagai urutan kedua untuk diberikan bakti dan pengabdiannya. Akkag
swt berfirman: ”Allah telah menetapkan agar kamu tidak menyembah selain kepada
Allah dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orangtua”. (QS. Al-Isra: 26)
Selain mudik untuk kembali
ke asal muasal, ada lagi kegiatan “mudik akbar” yang semua muslim merindukan
terwujudnya keinginan itu. Yaitu ibadah haji. Jika mudik ke kampung asal adalah
ingin bertemu dengan “wakil” Tuhan, maka berangkat untuk berhaji adalah
keinginan kembali dan bertemu dengan sang Penciptanya, yaitu Allah swt. Oleh
sebab itu, apapun berita tentang banyaknya jatuh korban dalam pelaksanaan
ibadah haji, keinginan umat Islam untuk hadir di rumah Allah tetap tinggi dan besar.
Hingga melebihi koata yang telah ditentukan.
Selain dua mudik di
atas, ada mudik lain yang lebih dahsyat. Dia adalah kematian. Ini lah mudik
yang pasti akan kita lewati. Suka atau tidak suka, di lockdown atau di open. Kita
akan kembali menemui Sang Pencipta.
Apapun lika-liku mudiknya,
kita berharap semoga kita berbahagia saat "mudik" menemui Sang Pencipta. Rasulullah saw
bersabda, “Orang yang berpuasa itu diberi dua kebahagiaan. Bahagia saat berbuka
(berhari raya), dan bahagia saat bertemu Tuhannya” (HR: Muslim).
Wallahu a’lam.
Muhammad
Jamhuri, 29 Ramadhan 1422 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar