Minggu, 02 Mei 2021

HIKMAH RAMADHAN HARI KE-20: DUA SISI KESEMPURNAAN AMAL

Dalam teks-teks al-Quran dan hadist, selalu saja ada dua amal yang saling berkaitan. Satu sama lainnya tidak terpisahkan. Kedua amal itu memang harus ada pada diri setiap muslim. Jika salah satunya tidak ada, maka amalan itu tidak akan sempurna. Kedua amalan itu adalah berdimensi hablun minallah dan hablun minannas (hubungan kepada Allah dan hubungan kepada sesama makhluk). Atau ibadah yang besifat individual dan ibadah bersifat sosial

Kata “sholat” dan kata “zakat” umpanya selalu disebut berdampingan dalam al-Quran, karena sholat berdimensi pribadi dengan Tuhannya, sedang zakat berdimensi sosial. Kata beriman dan beramal sholeh (alladzina aamanu wa amilussholihat) juga selalu berdampingan, karena iman bersifat keyakinan pribadi, sedang amal sholeh berdampak sosial.

Bagaimana dengan perintah puasa? Sama. Dalam puasa,  kita selain dianjurkan banyak shalat malam, juga dianjurkan banyak bersedekah. Rasulullah saw adalah orang yang paling dan bertambah kedermawanannya saat memasuki bulan puasa. Bahkan usai puasa, malam takbir hingga sebelum usai shalat idul fitri kita diwajibkan untuk mengeluarkan zakat fitrah. Zakat yang harus dikeluarkan oleh inidividu muslim yang mempunyai kelebihan makanan di hari raya. Termasuk yang fakir dan miskin pun, jika dia di hari itu kelimpahan makanan pokok, walau pun awalnya sebagai mustahiq, dia tetap harus berzakat fitrah.

Kedua perintah berdimensi peribadi dan sosial ini menjadi prinsip ajaran Islam. Imam Nawawi dalam kitab Nashoih al-‘Ibad berkata, “Afdholul ‘Amal: Al-iman billahi wa al-naf’u lil muslimin”. Sebaik-baik amal adalah mengimani Allah dan bermanfaat bagi kaum muslimin. Inilah prinsip sekaligus way of Life.

Perkara kepedulian sosial bukan lagi menjadi masalah furuiyah fiqhiyyah (masalah cabang fiqih), akan tetapi menjadi masalah imaniyah. Nabi saw bersabda “Tidaklah beriman seseorang di antara kamu, hingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri” (HR: Bukhori). Di sini Nabi saw menyatakan “tidaklah beriman” yang menunjukkan bahwa masalah kepedulian sosial bukan masalah furuiyyah fiqhiyyah, akan tetapi menjadi masalah keimanan.

Bahkan dalam beberapa hadist, menyebut beberapa contoh bahwa rasa peduli kepada sesama (kepedulian sosial) dianggap sebagai yang lebih utama dari pada ibadah individual. Nabi saw bersabda, “Seseorang yang keluar untuk menunaikan kebutuhan saudaranya lebih utama dari pada beri’itikaf di mesjidku.” (HR: at Thabrani)  Bayangkan, i’tikaf di masjid Nabi saw adalah ibadah yang didamba-dambakan. Namun keutamaan itu dikalahkan oleh pergi menunaikan kebutuhan manusia.

Bahkan kisah seorang wanita yang berprofesi “psk” pun, mendapat pahala surga setelah dia memberi minum kepada seekor anjing yang sedang kehausan.

Syeikh DR. Yasir bin Salim Asy-Sayhiri ulama asal Yaman yang baru-baru ini berkunjung ke Indonesia, saat mewisuda para santri dan memberi ijazah sanad hadist musalsal bil awwaliyah berkata, “Mengapa setiap Syeikh saat memberi ijazah sanad hadist, maka ijazah yang pertama diberi adalah hadist  al-musalsal bil awwaliyah?.. Karena agar umat Nabi Muhammad saw selalu menjadi rahmat kepada semua makhluk, sebagai kelanjutan dari tujuan diutusnya Nabi Muhammad saw. ‘Tidaklah Aku utus engkau kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam.”

Hadist al-musalsal bil awaaliyah itu bunyinya adalah: “Orang yang kasih sayang, akan dikasihsayang oleh Dzat yang Maha Kasih Sayang (Ar-Rahman), Sayangilah semua yang di bumi, maka kalian akan disayangi oleh yang di langit.” (HR: Bukhori)

Muhammad Jamhuri, 20 Ramadhan 1442 H.

 

 

 

 

Tidak ada komentar: