Selasa, 29 Mei 2012

Ihsan dan Profesionalisme


“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat ihsan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (QS.An-Nahl: 80)


    Rasulullah saw pernah ditanya oleh  malaikat jibril as tentang ihsan, “Beritahu aku tentang ihsan” tanya Jibril as. Rasulullah saw menjawab, “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya, jika engkau tidak dapat melihatNya, maka sesunggunya Dia melihat engkau” (HR: Bukhori-Muslim)

Dari hadist ini, disimpulkan bahwa ihsan adalah perasaan kebersamaan dengan Allah (ma’iyyatullah)  di mana pun kita berada. Bukan hanya pada saat kita melakukan ibadah yang bersifat ritual saja (ibadah mahdhoh), tetapi juga ibadah selain ritual (ghoiru mahdhoh).. Karena pada hakekatnya seluruh hidup dan desah nafas kita diperuntukkan hanya menyembah dan beribadah kepada Allah swt. Firman Allah swt :  “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat:  56).

Dengan demikian, luang lingkup ibadah adalah luas. Bukan hanya terbatas pada ritual saja seperti shalat dan puasa, namun ibadah mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk bekerja menjacari nafkah, bersosial, berpolitik, berekenomi, mendidik, membangun bangsa dan lain sebagainya.

Nah, untuk menjalankan semua ibadah yang maknanya luas itulah, diperlukan sikap ihsan, yakni merasa diawasi dan dilihat oleh Allah swt. Jika dalam shalat dan puasa  yang merupakan ibadah ritual kita merasakan kebersamaan dengan Allah, d a n merasa disaksikan oleh Allah, maka demikian juga dalam melaksanakan ibadah non ritual. Saat kita bekerja, maka hendaklah merasa diawasi Allah, saat kita mengelola uang negara, maka hendaklah merasa diawasi Allah, saat kita berdagang, mendidik, memimpin, menjalankan tugas, semuanya hendaklah diiringi dengan perasaan diawasi oleh Allah swt.

Jika sikap di atas dapat diterapkan, maka kita akan bekerja dengan sebaik mungkin, datang tepat waktu, semangat dalam melaksanakan tugas, tidak korupsi dan manipulasi, tidak menipu serta lahir sikap tanggung jawab yang tinggi kepada perusahaan dan instansi bahkan merasa bertanggungjawab kepada Allah swt dalam melaksanakan amanat tugasnya, serta memiliki sikap dedikasi dan integrasi yang tinggi. Inilah yang di zaman sekarang disebut dengan PROFESIONALISME.

Ada beberapa contoh aplikatif tentang ihsan yang melahirkan sikap profesionalisme, mulai dari seorang pedagang, pengembala hingga kepala negara.

Seorang gadis penjual susu kambing di malam hari sedang memeras susu kambing untuk dijualnya di pagi hari di pasar Madinah. Ibunya yang melihat anak gadisnya yang telah memeras susu berkata padanya, “Nak, bukankah sebaiknya kamu campur susu itu dengan sejumlah air, sehingga akan terlihat lebih banyak, dan kamu akan mendapat keuntungan lebih esok.”  Si gadis itu menjawab, “Bukankah hal itu dilarang oleh Amirul Mukminin karena itu merupakan kecurangan?”. Ibunya berkata, “Toh, Amirul Mukminin di malam seperti ini tidak melihat kita dan dia tidak tahu perbuatan kita?” Anak gadis itu berkata, “Meskipun beliau tidak melihat kita malam ini, Akan tetapi bukankah Allah swt,Tuhannya Amirul Mukminin melihat kita?”

Seorang budak pengembala kambing sedang mengembala kambing milik tuannya yang jumlahnya begitu banyak hampir tak terhitung. Datanglah Umar bin Kahttab ra menguji sikap profesionalisme sang pengembala ini. “Wahai pengembala, bagaimana jika aku membeli seekor saja dari kambing-kambing ini dan engkau bisa mengambil uangku.” rayu Umar. Sang pengembala menjawab, “Maaf Tuan, kambing-kambing milik Tuan saya, saya tidak berani menjualnya tanpa seizin dari tuanku.” Umar merayu lagi, “Bukankah tuanmu tidak mengetahui jika engkau jual satu ekor saja dari kambing-kambing yang jumlah banyak ini?” Sang pengembala tetap tidak mau menjualnya dan memberi alasan pada Umar, “Maaf tuan, meskipun tuanku tidak melihat perbuatanku, akan tetapi Allah swt selalu menatap dan melihat apa yang aku kerjakan, aku takut berdosa padaNya.”

Pada suatu malam Khalifah Umar bin Abdul Aziz sedang kerja lembur menyelesaikan pekerjaan kekhalifahannya di ruang kantornya. Tiba-tiba datang seorang tamu yang masih familii-nya. Setelah dibukakan pintu kantor oleh Umar, orang itu segera duduk dan berkata pada Umar bin Abdul Aziz, “Wahai Umar, aku datang keisini karena ingin membicarakan hal penting.” Umar  bertanya, “Apakah hal penting yang akan kau bicarakan disini adalah masalah negara atau masalah keluarga?”. Orang itu menjawab, “ini masalah penting tentang keluarga kita, wahai Umar”. Lalu Umar berkata padanya, “Kalau begitu tunggu sebentar.” Tidak lama kemudian Umar bin Abdul Aziz meniup lampu yang menerangi ruangan mereka sehingga ruangan itu menjadi gelap gulita. Orang yang datang itu menjadi heran dan berkata, “Wahai Umar, bukankah sudah aku katakan bahwa aku ingin membahas masalah penting kepadamu?” Umar menjawab, “Ya, karena masalah penting yang engkau ingin bicarakan adalah masalah keluarga, dan bukan masalah negara, maka aku padamkan lampu ini karena bahan bakar lampu iini dibiayai oleh negara, maka haram bagiku menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan keluarga.”

Jika saja seluruh komponen bangsa ini, mulai dari rakyat, pedagang, pengusaha, pengacara, gruru, pegawai, pejabat, hingga presiden, mempunyai jiwa-jiwa ihsan, yakni sikap merasa diawasi oleh Allah swt, maka pastilah bangsa dan negara ini akan sejahtera.

Namun sayangnya, jangankan sikap ihsan itu ada pada perbuatan aktifitas sehari-hari, pada saat shalat saja kita masih jauh dari sikap ihsan. Padahal Allah swt berfirman, “Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar “ (QS. Al-Ankabut: 46)

Muhammadjamhuri.blogspot.com


Jumat, 25 Mei 2012

Tadabbur Ayat Al-Israa’


“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui “ (QS. Al-Israa: 1)



Mengapa Allah  swt memulai ayat  ini dengan kata “subhanalladzi” (Maha Suci Alllah) ? Jawabannya adalah agar kita menyikapi peristiwa Isra Mi’raj ini dengan pendekatan iman, bukan dengan pendekatan logika. Sebab, jika dengan pendekatan logika maka akan sulit dinalar oleh akal untuk suatu peristiwa Isra Mi’raj yang jaraknya jauh itu hanya dilakukan dalam waktu semalam saja.  Orang-orang Quraisy menempuh perjalanan Makkah-Jerussalem  biasa memakan waktu tidak kurang dari sepuluh hari.

Dengan pendekatan iman, maka kita akan mudah menerima peristiwa mukjizat ini. Karena tidak ada yang tidak mungkin di tangan Allah swt . Firman Allah swt, “Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia“ (QS. Yasin: 82)

Penjelasan ini dikuatkan dengan kata berikutnya, “asraa” (Yang memperjalankan di malam hari). Dalam tata bahasa Arab, kata “asraa”  merupakan fi’il  maziid (kata kerja yang ditambahkan huruf), asalnya adalah “saraa-yasrii” (berjalan malam). Kata “saraa-yasrii” adalah bentuk fi’il lazim (kata kerja yang tidak membutuhkan objek). Kemudian ditambah dengan hamzah al-qoth’i di awal kata itu menjadi “asraaa’, sehingga berubah menjadi fi’il muta’addi (kata kerja yang membutuhkan objek/maf’ul-bih). Dengan demikian, pada dasarnya perjalanan Nabi saw pada peristiwa ini bukanlah berjalan dengan sendirinya. Akan tetapi beliau diperjalankan oleh Allah swt.

Pada ayat di atas berariti subjeknya adalah Allah, dan objeknya adalah Nabi Muhammad saw. Sehingga,  pada hakekatnya Allah-lah yang memperjalankan beliau di malam hari, bukan jalan dengan kemampuan Nabi sendiri.

Ibarat kisah dua semut. Semut pertama menempel di baju seseorang, sehingga saat baju itu dipakai, semut itu terbawa kemana-mana hingga ke tempat yang jauh mengikuti sang pemilik baju, lalu tiba sebelum malam. Tatkala semut itu turun dari baju dan bertemu semut lainnya, ia bercerita bahwa ia sudah berjalan-jalan ke tempat anu dan anu yang jauh. Tentu saja, jika semut yang kedua berpikir dengan logika semut, maka semut itu tidak mungkin berjalan ke tempat yang jauh, dan kembali sebelum matahari terbenam, sementara langkah-langkah semut begitu kecilnya. Akan tetapi permasalahannya adalah, semut itu bukan jalan sendiri, tapi diperjalankan oleh seorang yang memiliki baju yang telah dihinggapi semut tersebut..

Selanjutnya, Allah swt dalam ayat al-Israa ini menyebut kata “bi ’abdihi” (memperjalankan hambanya). Mengapa tidak menggunakan kata “bi rosulihi”? (memperjalankan rasul-Nya)? Hal ini menunjukkan adanya “isytirok” atau “musyarakah  atau kesertaan siapapun dari hamba Allah yang ingin mendapat derajat seperti Rasulullah saw ber-mi’roj. Jadi siapa saja yang telah menyembah Allah dengan sebenar-benarnya penghambaan, totalitas hidupnya hanya untuk mengabdi kepada Allah, maka ia dapat bermi’roj (naik) ke hadapan Allah, meskipun tidak secara fisik. Oleh sebab itu, Rasulullah saw  bersabda, “Ash-Sholatu Mi’rojul Mukminin” (Sholat adalah mi’roj-nya orang-orang beriman).. Jadi, mi’roj bisa dilakukan semua hamba Allah swt yang totalitas hidupnya hanya mengabdi demi dan untuk Allah swt.

Kata berikutnya adalah “Lailan” (di malam hari). Mengapa Allah swt menyebut kata “lailan” ini?, padahal kata “saraa” atau “asraa” sudah mengandung makna berjalan di malam hari?. Hal ini untuk memberi pesan, bahwa jika seseorang ingin connect dan online dengan Allah swt tanpa ada gangguan “sinyal”, maka waktu yang tepat adalah beribadah di malam hari melalui qiyamullail atau sholat malam/tahajjud. Firman Allah swt,  “Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan”  (QS. Al-Muzammil: 6). Betapa banyak wahyu yang Allah turunkan di malam hari? Termasuk wahyu yang pertama surat al-’Alaq 1-5 yang diturunkan saat malam Ramadhan di gua Hira. Begitu pula dengan surat al-Muddatstsir yang merupakan wahyu kedua yang Allah turunkan.

Dan seseorang yang rajin melaksanakan shalat tahajjud, maka ia mendapat kedudukan yang terpuji. Firman Allah swt:  “Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji “ (QS. Al-Israa: 79).

Berikutnya, Allah swt menyebut dua masjid; Masjidl Haram dan Masjidil Aqsha. Mengapa? Untuk mengantarkan kepada kita agar hati kita selalu terpaut dengan masjid. Di mana pun kita berada, hendaknya hatinya terpaut dengan masjid. Maksudnya adalah sesibuk apapun kita, di manapun kita berada, usahakanlah saat-saat shalat fardhu di lakukan di masjid. Sehingga jika kita sedang di jalan tol misalnya, lalu datang waktu shalat, maka hendaknya kita sholat di masjid di rest Area. Karena dalam tiap langkah ke masjid akan dihapus satu dosa dan diangkat satu derajat.

Rasulullah saw dalam sebuah hadits menyebutkan bahwa salah satu golongan yang akan mendapat naungan di hari Kiamat yang tidak ada naungan kecuali nanungan Allah, adalah rojulun qolbuhu mu’allaqun bil masajid (seorang yang hatinya selalu terpaut dengan masjid). Ada dua kemungkinan makna hati yang terpaut dengan masjid ini. Pertama, orang itu tetap di masjid menunggu shalat setelah shalat (intizhar sholat ba’da shalat). Kedua, boleh jadi orang itu keluar dan melakukan aktifitas sehari-hari, namun setiap mendekati waktu shalat, dia bersiap-siap untuk melaksanakannya di masjid,, bukan di rumah, kantor atau lainnya.

Pesan kedua adanya penyebutan masjidil Aqsha pada ayat ini adalah, seakan ayat ini berpesan bahwa masjidil Aqsha adalah bagian dari sejarah peninggalan umat Islam. Dia adalah tempat di-israami’roj-kannya Nabi saw, dan dia juga merupakan kiblat pertama kaum muslimin. Sehingga keberadaan dan nasib masjid itu merupakan tanggung jawab seluruh kaum muslimin, dan bukan hanya menjaidi tanggung jawab bangsa Palestina saja. Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang tidak memperdulikan urusan kaum muslimin, maka dia bukan termasuk golongan mereka.” (al-hadits).

Jika kita tidak bisa berjihad secara fisik membebaskan Masjidil Aqsha, maka hendaklah berjuang dengan harta kita. Jika masih belum dapat membantu dengan harta, maka paling tidak kita membantu mereka dengan doa-doa. Adakah kita pernah mendo’akan mereka?

Selanjutnya Allah swt menyebut kata “alladzi baarokna haulahu” (yang Kami berkahi sekelilingnya). Para ulama menyebut bahwa bentuk keberkahan Juressalem dan daaerah sekitarnya adalah bahwa di tanah itu banyak diutus para Nabi dan Rasul.  Imam al-Syafi’i menyebut bahwa keberkahan Masjidil Aqsha lebih luas dibanding keberkahan Makkah. Sebab, saat Allah menyebut keberkahan Masjidil Aqsha, Allah menyebutnya dengan ”Baarokna Haulahu” (Kami berkahi sekitarnya). Sedangkan pada saat menyebut Bakkah (Makkah), Allah hanya menyebut “bi bakkata mubaarokan” (di Makkah yang diberkahi) (QS. Ali Imran 96). Oleh sebab itu, Imam Syafi’i lebih menyukai beri’tikaf di Masjidil Aqsha dari pada di Masjidil Haram.

Lalu, di akhir ayat al-Israa ini, Allah berfirman, “Untuk Kami perlihatkan kepadanya (Muhammad) sebagian tanda-tanda kebesaran Kami, sesungguhnya Dia (Allah) Maha Mendengar dan Maha Melihat (mengetahui)”.

Kalimat terakhir pada ayat ini memberi pesan kepada Nabi Muhammad saw dan kita semua agar tidak takut dalam menghadapi menjalankan tugas dakwah, karena backingnya adalah Allah yang Maha Kuasa, dan Dia melihat dan mendengar kita, tidak membiarkan kita sendirian.

Sebab turunnya ayat ini adalah, pada tahun kedelapam kemabian, Rasulullah mengalami musibah yang membuat beliau merasakan kesedihan. Sehingga tahun itu dalam kitab-kitab tarikh disebut ‘Aamul Huzni (tahun kesedihan). Sebab, pada tahun itu beliau berturut-turut ditinggal mati oleh dua orang yang sangat dicintainya dan menolong dakwahnya, yaitu Khadijah binti Khuwailid sang isteri tercinta, dan paman beliau bernama Abu Thalib.

Keduanya berpihak membela dan membantu dakwah Rasulullah saw. Mereka adalah pemuka Quraisy yang sangat disegani oleh kaumnya.

Nah, dengan kematian mereka, Rasulullah saw merasa berdakwah sendiri. Tidak ada lagi yang dapat menolong beliau dari intimidasi kaum Quraisy dan beliau mengkhawatirkan dakwahnya dan para pengikutnya.

Untuk menghibur Nabi saw dan menguatkan hatinya itulah, Allah swt ‘mengundang’ Nabi saw melihat-lihat kekuasan-Nya menyaksikan tanah Jerussalem tempat banyak nabi diutus di sana, bahkan nabi diperlihatkan ciptaan Allah yang spektakuler, yaitu berupa planet dan galaksi yang teratur rapi, bahkan beliau bisa naik ke langit yang ketujuh.

Hal ini seakan memberi pesan, “Hai para da’i, janganlah engkau takut pada orang-orang durjana, engkau berjuang tidak sendiri, engkau akan dibela dan ditolong Allah swt yang memiliki kekuasan di langit dan di bumi. Allah tidak membiarkan engkau berjuang sendiri, tapi Allah tetap memantau, melihat dan mendengar segala aduanmu. Oleh karena itu, janganlah engkau bersedih, meskipun harus ditinggal oleh orang-orang yang engkau cintai dan telah membantu engkau.”

Perjalanan rohani Isra Mi’rtaj ini menambah spritual  dan kestabilan jiwa Rasulullah saw dalam melanjutkan tugas dakwahnya. Begitupun bagi siapa saja yang ingin kestabilan jiwa, hendaklah mendekatkan Allah di malam hari. Karena hanya dengan mengingat Allah sajalah hati akan stabil (tenang). “Ketahuliah, hanya dengan mengingat Allah hati akan tenang.” (QS.Al-Ra’d: 28). Wallahu a’lam bish-showab.                                   
  Jamhuri


Rabu, 23 Mei 2012

Semua Kerusakan Bermula Dari Sekulerisme


“Dan bila dikatakan kepada mereka:"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi. Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan “
(QS. Al-Baqarah: 11)

 Sekularisme adalah paham yang meyakini bahwa kehidupan sehari-hari harus terlepas dari nilai-nilai agama. Baginya, agama cukup dipraktekkan di tempat-tempat ibadah saja. Agama tidak boleh dibawa ke kantor, pabrik, pasar serta istana negara. Agama juga tidak boleh diikutkan dalam ekonomi, penididikan, seni, dan politik.

 Para pengikut dan pendukung paham ini mengatakan bahwa agama adalah suci, dan politik itu kotor, oleh sebab itu agama tidak boleh dicampur adukkan dengan politik agar kemurnian agama tetap terpelihara..

Akibat paham dan ajaran sekulerisme itu, kini banyak orang tabu bicara agama di kantor, pergaulan sehari-hari, dan apalagi dalam politik. Sehingga para politikus kini melakukan aktifitas perpolitikannya tanpa didasari oleh nilai-nilai agama, sehingga banyak kita temukan mereka berbohong kepada publik dengan seenaknya, yang penting tujuan politiknya dapat tercapai.

Mengapa paham sekulerisme ini timbul? Sekulerisme timbul akibat buruknya sikap dan kebijakan yang zalim dari kaum gereja di abad pertengahan di Eropa. Saat itu kaum agamawan menjadikan agamanya sebagai legimitasi dari kezaliman yang dilakukannya, bahkan sikap dan kebijakan kaum gereja dianggap menghambat kemajuan. Banyak para ilmuwan yang dihukum mati akibat penemuan ilmiahnya yang dianggap bertentangan dengan sikap gereja. Tiap keterangan ilmu yang tidak sesuai dengan paham gereja, dibatalkan oleh gereja. dan dilarang jika hal itu melemahkan otoritas gereja

Sebagai contoh Copernicus (1507) dihukum mati tatkala mengungkapkan teori bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. Galelio yang membela teori Copernicus diancam hukuman bakar.

Akhirnya, agama dianggap sebagai penghambat kemajuan ilmu pengetahuan. Lahirlah pemberontakan atas kekuasaan gereja. Pada tahun 1517 terjadi reformasi yang dipimpin oleh Martin Luther, yang kemudian melahirkan protestan, memprotes kekuasaan para pendeta Katolik dan uskupnya hingga tentang mereka dapat mengampuni dosa manusia melalui surat ampunan.

Untuk melawan kekuasaan dan kediktatoran para pendeta dan uskup gereja itulah, maka lahirlah gerakan sekulerisasi yang memisahkan nilai agama dari kehidupan masyarakat dan Negara.

Akan tetapi paham sekulerisme ini kini menjadi penyebab segala kerusakan di atas muka bumi. Para pendukung dan pengikut ajaran ini sering berbicara bahwa mereka membangun perdaban baru, namun sebaliknya, mereka melakukan kerusakan di atas bumi dengan dalil perbaikan dan reformasi. Firman Allah swt: Dan bila dikatakan kepada mereka:"Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi’  Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan” (QS. Al-Baqarah:  11)

Mengapa mereka dianggap membuat kerusakan di atas muka bumi? Karena ilmu dan tindakan mereka terlepas dari bimbingan wahyu.

Dari paham sekulerrisme inilah, lahir paham-paham yang tidak berpijak pada bimbingan wahyu.

Dalam ilmu biologi, lahirlah paham dan ajaran Darwinisme, yang mengetengahkan teori Darwin yang menyatakan bahwa manusia adalah bentuk evolusi dari kera. Padahal wahyu al-Qur’an menjelaskan bahwa manusia berasal dari Adam as. Oleh sebab itu bangsa manusia disebut Bani Adam atau kaum Adamy. Bukan berasal dari bangsa kera.

Dalam ilmu politik, lahirlah paham Machiavelisme yang dikembangkan oleh Machviaelli ilmuwan berasal Itali (1469-1527 ) yang salah satu rumus terkenalnya adalah “Membolehkan segala cara untuk mendapat tujuan politik”. Paham inilah yang hingga kini dipakai oleh kebanyakan para politisi untuk mencapai tujuannya. Mereka boleh berbohong, manipulasi, money politic dan lain sebagainya asalkan menang dalam politik.

Dalam ilmu ffilsafat dan pemikiran, lahirlah  paham Rasionalisme yang dibawa oleh  Rane Descrates (1598-1650) yang menentang segala bentuk wahyu jika bertentangan dengan akal dan logika. Atau jika wayu tidak bisa dicerna oleh logika. Seperti keyakinan adanya pertanyaan dalam kubur, ada kehidupan seteloah kematian, serta adanya surga dan neraka.

Dalam ilmu ekonomi, lahirlah kapitalisme yang berkonsentrasi kepada kesejahteraan pribadi dan tidak menghiraukan kelompok miskin. Hanya para pemilik modallah yang dapat menguasai ekonomi. Kemudian lahir sosialisme atau komunisme untuk melawan kapitalsme. Akan tetapi karena keduanya terlepas dari bimbingan agama, mereka pun hanya melahirkan kelas-kelas masyarakat tertentu yang berakibat pada  revolusi sosial.

Dan kini, lahir pula ajaran dan paham baru yang beraasl dari akar yang sama yakni sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan), yaitu paham Liberalisme . Paham ini mengkampanyekan kebebasan dalam segala hal. Sesuai dengan kalimatnya “liberal” yang artinya bebas, bebas dari segala ikatan budaya dan  agama. Mereka menuntut hak kebebasan dalam segala hal. Termasuk yang kini mereka perjuangkan adalah tuntutan disahkannya undang-undang kesetaraan gender, yang berisi kebebasan menikah dengan sesama jenisvkelamin, lesbi dan homo seksual.

Dan masih banyak lagi isme-isme (paham dan ajaran) yang merupakan turunan dari sekulerisme, seperti plularisme (menyamakan semua agama), hedonisme (kesuksesan dilihat dari kemewahan), materialisme (kesuksesan dilihat dari materi).

Kita sebagai umat Islam harus waspada dengan gerakan mereka. karena gerakan mereka didukung dengan dana yang besar dari kalangan Barat, terutama Yahudi dan Nasrani. Bahkan isu dan paham itu kini masuk ke ormas-ormas Islam. Waspadalah...!

M. Jamhuri


Jumat, 18 Mei 2012

Bersiap Diri Menghadapi Ajal


“Maka apabila telah datang ajal mereka, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya” (QS. Al-A’raf: 34)




Tidak ada yang tahu kapan ajal kita akan tiba. Ajal (kematian) adalah rahasia yang dimiliki Allah swt.  Dia-lah yang menentukan, kapan kematian itu akan datang menghampiri kita.

Tidak ada yang menyangka, demontrasi pesawat Shukoi  sebagai ajang promisi penerbangan berakhir dengan duka yang dalam. Para pramugari dan penumpang  yang berpose dengan riang gembira sesaat sebelum pesawat lepas landas, harus berakhir dengan musibah yang sangat menyedihkan semua manusia. Wajah yang cantik dan tampan beberapa jam yang lalu, kini harus hancur dan nyaris tidak dikenali lagi.

Begitulah ajal. Ia datang secara tiba-tiba dan sulit diprediksi kapan datangnya. Ia akan datang ke semua orang, baik anak kecil maupun orang dewasa, baik lelaki maupun perempuan, baik rakyat maupun penguasa. Semua akan datang ajalnya.

Hidup kita memang dibatasi  oleh ajal dan waktu. Cobalah anda siapkan pena dan secarik kertas, lalu tulislah di atas secarik kertas itu angka tahun berikut: “1940—2060”, lalu tanyakan pada diri Anda, apakah Anda pernah wujud dan terlahir di dunia ini sebelum tahun 1940? Lalui tanyakan kembali pada diri Anda, apakah Anda akan hidup terus hingga tahun 2060? Jawabannya adalah tidak.! Hidup kita benar-benar dibatasi waktu, dan kematian akan selalu datang menghampiri kita kapan saja Allah menghendakinya.

Lalu, persiapan apa yang harus kita lakukan sebelum ajal menjemput kita?.

Hidup adalah ibarat sebuah perjalanan. Jika kita hendak melakukan sebuah perjalanan maka segala sesuatunya harus dipersiapkan. Sebagai contohj: Jika kita ingin melakukan perjalanan menuju Surabaya, maka kita harus mempersiapkan segala sesuatunya, mulai dari biaya (ongkos), pakaian, obat-obatan, bahkan jalan mana yang harus kita lewati sehingga kita selamat sampai tujuan seperti yang kita kehendaki.

Demikian pula dalam hidupi ini, tempat tujuan akhir kita adalah kematian. Lalu apa yang harus kita siapkan menghadapi kematian itu?.

Rasulullah saw bersabda, “Orang yang cerdas adalah orang yang dapat menahan hawa nafsunya, dan ia beramal untuk persiapan setelah ia meninggal dunia” (HR: Muslim).

Orang yang melakukan perjalanan, akan tetapi orang itu tidak tahu tempat tujuannya maka dia aldah orang bodoh. Dan jika dia sudah tahu tempat tujuannnya, akan tetapi tidak mempersiapkan bekal, maka ia pun termasuk orang bodoh.

Orang cerdas adalah orang yang dalam melakukan suatu perjalanan, mengetahui ke mana tujuannya? Kemudian ia pun mempersiapkan bekal untuk perjalanan tersebut agar tiba di tempat tujuan dengan selamat.

Dengan demikian, jika kita hidup di dunia ini yang diibaratkan seperti melakukan perjalanan, maka kita harus mengerti bahwa tujuan akhir kita adalah akhirat, kemudian kita pun harus mempersiapkan bekal untuk sampai ke akhirat dengan selamat dan bahagia.

Orang yang hanya sibuk dan menyibukkan diri untuk kebahagiaan dunia saja tanpa memikirkan bekal untuk akhirat, naka sama saja dia melakukan sebuah perjalanan akan tetapi dia tidak mengetahui kemana tempat tujuannya dan dimana dia akan berakhir. Demikian pula orang yang mengetahui bahwa tujuan akhir hidup ini  adalah akhirat akan tetapi dia tidak mempersiapkan bekal untuk akhiratnya, maka sama saja dengan orang bodoh.

Oleh sebab itulah, dalam mengarungi bahtera hidup ini, yang pelabuhan akhirnya adalah akhirat, maka kita harus mempersiapkan bekal untuk menuju kampung akhirat itu dengan selamat dan bahagia.

Lalu, bekal apa yang ideal dalam hidup kita ini? Allah swt berfirman, “Dan, berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal “ QS. Al-Baqarah: 197)

Jadi, takwa-lah sebaik-baik bekal dalam hidup ini. Takwa adalah perasaan takut melakukan perbuatan dosa, takwa adalah menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya. Takwa adalah seperti engkau berjalan di sebuah jalan yang oenuh dengan onak-duri lalu engkau berhati-hati agar tidak terluka oleh duri itu. Takwa adalah perasaan selalu diawasi oleh Allah dimanapun kita berada.

Dengan takwa itulah, kebahagiaan akan dapat kita raih, bukan hanya kebahagiaan abadi di akhirat saja yang memang menjadi ujung perjalanan hidup kita, akan tetapi kebahagiaan juga akan kita rasakan saat dalam perjalanan hidup kita di dunia.

Firman Allah swt,  “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, maka Dia akan memberikan baginya jalan keluar (dari segala masalah) dan akan memberi rezeki yang tidak diduga-duga” (QS. At-Thalaq: 2-3

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi” (QS. Al-A’raf: 96)

“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa mendapat kemenangan (yaitu) kebun-kebun dan buah anggur dan gadis-gadis remaja yang sebaya dan gelas-gelas yang penuh (berisi minuman). Di dalamnya mereka tidak mendengar perkataan yang sia-sia dan tidak (pula) perkataan dusta Sebagai pembalasan dari Tuhanmu dan pemberian yang cukup banyak.” (QS. An-Naba’: 31-36).

M. Jamhuri