Selasa, 29 Mei 2012

Ihsan dan Profesionalisme


“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat ihsan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (QS.An-Nahl: 80)


    Rasulullah saw pernah ditanya oleh  malaikat jibril as tentang ihsan, “Beritahu aku tentang ihsan” tanya Jibril as. Rasulullah saw menjawab, “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya, jika engkau tidak dapat melihatNya, maka sesunggunya Dia melihat engkau” (HR: Bukhori-Muslim)

Dari hadist ini, disimpulkan bahwa ihsan adalah perasaan kebersamaan dengan Allah (ma’iyyatullah)  di mana pun kita berada. Bukan hanya pada saat kita melakukan ibadah yang bersifat ritual saja (ibadah mahdhoh), tetapi juga ibadah selain ritual (ghoiru mahdhoh).. Karena pada hakekatnya seluruh hidup dan desah nafas kita diperuntukkan hanya menyembah dan beribadah kepada Allah swt. Firman Allah swt :  “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat:  56).

Dengan demikian, luang lingkup ibadah adalah luas. Bukan hanya terbatas pada ritual saja seperti shalat dan puasa, namun ibadah mencakup seluruh aspek kehidupan, termasuk bekerja menjacari nafkah, bersosial, berpolitik, berekenomi, mendidik, membangun bangsa dan lain sebagainya.

Nah, untuk menjalankan semua ibadah yang maknanya luas itulah, diperlukan sikap ihsan, yakni merasa diawasi dan dilihat oleh Allah swt. Jika dalam shalat dan puasa  yang merupakan ibadah ritual kita merasakan kebersamaan dengan Allah, d a n merasa disaksikan oleh Allah, maka demikian juga dalam melaksanakan ibadah non ritual. Saat kita bekerja, maka hendaklah merasa diawasi Allah, saat kita mengelola uang negara, maka hendaklah merasa diawasi Allah, saat kita berdagang, mendidik, memimpin, menjalankan tugas, semuanya hendaklah diiringi dengan perasaan diawasi oleh Allah swt.

Jika sikap di atas dapat diterapkan, maka kita akan bekerja dengan sebaik mungkin, datang tepat waktu, semangat dalam melaksanakan tugas, tidak korupsi dan manipulasi, tidak menipu serta lahir sikap tanggung jawab yang tinggi kepada perusahaan dan instansi bahkan merasa bertanggungjawab kepada Allah swt dalam melaksanakan amanat tugasnya, serta memiliki sikap dedikasi dan integrasi yang tinggi. Inilah yang di zaman sekarang disebut dengan PROFESIONALISME.

Ada beberapa contoh aplikatif tentang ihsan yang melahirkan sikap profesionalisme, mulai dari seorang pedagang, pengembala hingga kepala negara.

Seorang gadis penjual susu kambing di malam hari sedang memeras susu kambing untuk dijualnya di pagi hari di pasar Madinah. Ibunya yang melihat anak gadisnya yang telah memeras susu berkata padanya, “Nak, bukankah sebaiknya kamu campur susu itu dengan sejumlah air, sehingga akan terlihat lebih banyak, dan kamu akan mendapat keuntungan lebih esok.”  Si gadis itu menjawab, “Bukankah hal itu dilarang oleh Amirul Mukminin karena itu merupakan kecurangan?”. Ibunya berkata, “Toh, Amirul Mukminin di malam seperti ini tidak melihat kita dan dia tidak tahu perbuatan kita?” Anak gadis itu berkata, “Meskipun beliau tidak melihat kita malam ini, Akan tetapi bukankah Allah swt,Tuhannya Amirul Mukminin melihat kita?”

Seorang budak pengembala kambing sedang mengembala kambing milik tuannya yang jumlahnya begitu banyak hampir tak terhitung. Datanglah Umar bin Kahttab ra menguji sikap profesionalisme sang pengembala ini. “Wahai pengembala, bagaimana jika aku membeli seekor saja dari kambing-kambing ini dan engkau bisa mengambil uangku.” rayu Umar. Sang pengembala menjawab, “Maaf Tuan, kambing-kambing milik Tuan saya, saya tidak berani menjualnya tanpa seizin dari tuanku.” Umar merayu lagi, “Bukankah tuanmu tidak mengetahui jika engkau jual satu ekor saja dari kambing-kambing yang jumlah banyak ini?” Sang pengembala tetap tidak mau menjualnya dan memberi alasan pada Umar, “Maaf tuan, meskipun tuanku tidak melihat perbuatanku, akan tetapi Allah swt selalu menatap dan melihat apa yang aku kerjakan, aku takut berdosa padaNya.”

Pada suatu malam Khalifah Umar bin Abdul Aziz sedang kerja lembur menyelesaikan pekerjaan kekhalifahannya di ruang kantornya. Tiba-tiba datang seorang tamu yang masih familii-nya. Setelah dibukakan pintu kantor oleh Umar, orang itu segera duduk dan berkata pada Umar bin Abdul Aziz, “Wahai Umar, aku datang keisini karena ingin membicarakan hal penting.” Umar  bertanya, “Apakah hal penting yang akan kau bicarakan disini adalah masalah negara atau masalah keluarga?”. Orang itu menjawab, “ini masalah penting tentang keluarga kita, wahai Umar”. Lalu Umar berkata padanya, “Kalau begitu tunggu sebentar.” Tidak lama kemudian Umar bin Abdul Aziz meniup lampu yang menerangi ruangan mereka sehingga ruangan itu menjadi gelap gulita. Orang yang datang itu menjadi heran dan berkata, “Wahai Umar, bukankah sudah aku katakan bahwa aku ingin membahas masalah penting kepadamu?” Umar menjawab, “Ya, karena masalah penting yang engkau ingin bicarakan adalah masalah keluarga, dan bukan masalah negara, maka aku padamkan lampu ini karena bahan bakar lampu iini dibiayai oleh negara, maka haram bagiku menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan keluarga.”

Jika saja seluruh komponen bangsa ini, mulai dari rakyat, pedagang, pengusaha, pengacara, gruru, pegawai, pejabat, hingga presiden, mempunyai jiwa-jiwa ihsan, yakni sikap merasa diawasi oleh Allah swt, maka pastilah bangsa dan negara ini akan sejahtera.

Namun sayangnya, jangankan sikap ihsan itu ada pada perbuatan aktifitas sehari-hari, pada saat shalat saja kita masih jauh dari sikap ihsan. Padahal Allah swt berfirman, “Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar “ (QS. Al-Ankabut: 46)

Muhammadjamhuri.blogspot.com


Tidak ada komentar: