Selasa, 30 Juni 2009

Memohon Jalan Yang Lurus

"Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang Telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat."(QS. Al-Fatihah: 6-7)

Sebanyak tujuhbelas kali –dalam sehari semalam– minimal kita memohon jalan yang lurus. Betapa tidak? Setiap kita melaksanakan shalat lima waktu, maka surat al-Fatihah harus kita baca dalam setiap rakaatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw “Tidaklah sah shalat bagi orang yang tidak membaca surat al-Fatihah (pembuka kitab)”.
Mengapa surat al-Fatihah begitu penting kita baca dalam shalat kita? Mengapa dia menjadi rukun shalat sehingga jika ditinggal maka akan batal shalat kita? Karena al-Fatihah adalah inti isi al-qur’an seluruhnya. Dia adalah pokok seluruh ajaran al-Quran. Di dalamnya ada kandungan akidah, ibadah, sejarah, serta manhaj (sistem) hidup bagi manusia. Al-fatihah, di dalamnya ada doa yang selalu kita panjatkan “Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang Telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.(QS. Al-Fatihah: 6-7).
Dalam ayat itu, kita selalu memohon jalan yang lurus. Sebenarnya, apa sih jalan yang lurus itu? Dijelaskan bahwa jalan yang lurus itu adalah jalan yang pernah ditapaki oleh orang-orang yang telah Allah beri nikmat pada mereka, dan bukan jalan orang yang dimurkai dan bukan pula jalam orang yang sesat. Pertanyaannya, siapakah orang yang pernah diberi nikmat oleh Allah SWT? Siapa pula orang yang pernah dimurkai? Dan siapa orang yang pernah sesat itu?
Dalam surat An-Nisaa ayat 69 Allah SWT berfirman yang artinya: 69. “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman baiknya.
Dalam ayat diterangkan bahwa orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah adalah Para Nabi, shiddiqin (orang yang teguh dan jujur keimananannya), orang yang berjuang membela agama Allah hingga mati syahid dan orang-orang shaleh. Dengan kata lain, bahwa jika kita menghendaki jalan yang lurus yang selalu kita mohonkan kepada Allah, maka kita harus berusaha mengikuti dan menapaki jalan yang pernah ditempuh oleh empat tipe manusia di atas:
Pertama, jalan yang pernah ditapaki para Nabi. Yakni jalan dakwah. Tugas para Nabi saw di dunia ini adalah berdakwah dan mengajak manusia kepada jalan kebaikan. Tugas mulia ini tentu saja bukan jalan mulus yang dihamparkan permadani. Melainkan jalan yang penuh dengan onak dan duri. Kesabaran dalam menjalani jalan dakwah ini adalah sebuah kemestian. Jika kita bisa melewati dengan baik dan sabar, maka kita akan selalu berada dalam jalan yang lurus. Para Nabi juga tidak segan-segan untuk memberikan peringatan kepada para penguasa yang keluar dari jalan kebenaran. Oleh karena itu tugas ini sangat berat, apalagi dituntut istiqomah dalam ajaran agama. Banyak di antara manusia yang berteriak membela agama, namun justru mereka menjual agama setelah mengetahui gemerlapnya dunia. Keistiqomahan dalam beragama sekaligus istiqomah dalam amar ma’ruf dan nahi mungkar adalah berat, namun jika bisa dilaluinya maka ia akan mencapai derajat para nabi.
Kedua, jalan yang pernah ditapaki para shiddiqin. Shiddiqin adalah orang-orang jujur dan teguh akan keimanannya. Abu Bakar mendapat gelar ash-shiddiq karena begitu kuat dan jujurnya keimanan beliau. Tidak ada secuil ruang pun dalam hatinya keraguan akan kebenaran yang dibawa Nabi Muhammad saw. Tidak ada sedikit pun ruang keraguan kepada Allah SWT, hingga saat Rasulullah dan umat membutuhkan biaya besar dalam sebuah pertempuran, Abu Bakar meng-infakkan seluruh kekayaannya untuk perjuangan Islam. Ketika beliau diitanya Nabi “Lalu apa yang engkau tinggalkan untuk keluargamu?” Abu Bakar menjawab dengan segala kemantapan, “Allah dan Rasulnya”.
Shiddiq secara bahasa adalah orang jujur. Kenapa dalam ayat itu tidak disebut orang alim atau pintar? Karena orang pintar itu banyak, namun sedikit sekali orang berlaku jujur. Banyak sarjana hukum, tapi tidak jujur dalam memutuskan perkara hukum,.Banyak sarjana ekonomi dengan segala rumus matematikanya tapi sering dengan sengaja memanipulasi angka, kok bisa angka di mark-up? Banyak sarjana pendidikan yang menjadi guru, namun saat menulis angka raport atau ijazah tidak sesuai dengan angka nilai sebenarnya.
Ketiga, jalan yang pernah ditapaki para syuhada. Syuhada adalah bentuk jamak dari kata syahid, yang berarti “saksi”. Mereka yang berjuang menegakkan Allah itulah disebut saksi (syahid). Hingga jika mereka wafat dikebumikan apa adanya, sebagai saksi di hadapan Allah nanti. Merekalah yang pantas menjadi pahlawan. Pahlawan adalah mereka yang bekerja dan berjuang dengan penuh ikhlas, dedikasi, serta semangat yang tinggi, sehingga menghasilkan karya-karya yang bermanfaat dan dikenang banyak orang. “Karya”nya menjadi saksi dan pelajaran untuk generasi berikutnya.
Keempat, jalan orang-orang shaleh. Jika kita tidak mampu berdakwah seperti para nabi, atau berkorban harta seperti Abu Bakar, atau tidak bisa berjuang hingga menjadi syahid, maka minimal kita memiliki sifat-sifat orang yang shaleh. Mereka adalah orang selalu baik, menebar kebaikan serta tidak melakukan sesuatu yang kontra kebaikan.
Sudahkah kita mengikuti jalan salah satu dari empat jalan yang ditempuh mereka? Jika belum, berarti permohonan kita akan petunjuk jalan yang lurus cuma main-main, bacaan al-fatihah yang kita baca tujuh belas kali sehari semalam baru sampai tenggorokan, dan belum masuk ke dalam relung hati, belum menggetarkan tulang dan sumsum kita, belum menggetarkan kulit kita, dan belum menggetarkan anggota tubuh kita sehingga ia tergerak untuk menampilkan sikap seperti yang ditampilkan oleh empat tipe manusia di atas;
Mulailah melangkah menapaki jalan yang lurus, ikuti langkah mereka, jika tidak mampu, setidaknya ikuti jalan orang-orang yang shaleh. )I(

Selasa, 16 Juni 2009

Karakteristik Syari’ah Islam

“Dan demikian (pula) kami Telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS.Al-Baqarah: 143)

Syari’ah secara bahasa berarti sumber air yang mengalir. Sedangkan secara istilah syari’ah berarti aturan yang ditentukan Allah SWT melalui Rasulnya agar dijalankan manusia untuk kebahagian mereka. Korelasi makna bahasa dan makna istilah adalah bahwa manusia membutuhkan syariah sebagaimana kebutuhan mereka terhadap air yang menjadi sumber kehidupan. Tanpa air, manusia tidak akan hidup layak dan baik. Demkian juga hal-nya dengan syariah. Tanpa syariah, manusia tidak akan hidup layak dan baik.
Syari’ah, yang meskipun telah turun berabad-abad lalu, namun keberadaannya selalu relevan dalam kehidupan manusia, baik dahulu, kini, maupun masa depan. Baik di Arab, Indonesia, Eropa, Amerika bahkan di seluruh belahan bumi ini. Karena pada hakekatnya, seluruh alam ini adalah milik Allah, Tuhan yang menurunkan aturan atau syariah itu.
Berbeda dengan aturan dan undang-undang yang diciptakan manusia, syari’ah atau Islamic Law mempunyai kelebihan dan karakteristiknya. Antara lain:
Pertama, robbaniyah, artinya berorientasi ketuhanan, baik secara tujuan maupun sumbernya. Secara tujuan, jelas, syariah Islam ditujukan agar manusia hanya menyembah dan mengabdi kepada Allah. Sebagaimana firman Allah SWT: “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepadaKu” (QS. Adz-Dzariyat: 56).
Selain tujuan mengabdi hanya kepada Allah, syari’ah juga bertujuan membebaskan manusia dari penyembahan kepada sesama manusia serta kepada makhluk lainnya. Manusia harus bebas dari tekanan manusia lainnya, terlebih mengaggap dirinya sebagai Tuhan yang dapat mengatur segala hal.
Dari segi sumbernya, robbaniyah-nya syari’ah Islam adalah bahwa dia berasal dan bersumber dari wahyu Allah SWT. Dia bukan ciptaan manusia, bukan pula karangan manusia yang penuh hawa nafsu. Berbeda undang-undang dan peraturan dunia yang diciptakan manusia yang bersifat relatif dan dipengaruhi oleh hawa nafsu manusia.
Efek dari karakteristik robbaniyah ini membuat manusia melaksanakan undang-undang dan aturan Allah tidak hanya dilihat saat dipantau aparat atau atasan. Tetapi dia tetap patuh melaksanakan aturan itu meskipun tidak dipantau oleh aparat. Puasa misalnya, tetap ditaati oleh muslim yang patuh, meskipun jika ia makan atau minum di siang hari tidak diketahui aparat.
Kedua, Insaniyah, yang berarti sesuai dengan peri-kemanusiaan. Bukti atas hal itu adalah dijadikan Rasul dari kalangan manusia, bukan dari jin atau malaikat. Hal itu terjadi, agar manusia melihat langsung bagaimana aplkasi hukum Allah yang ideal melalui persaksian mereka terhadap perilaku dan nasehat Rasulullah saw. Andaikata rasul itu berupa jin atau malaikat, maka akan terjadi kesulitan bagi kita tentang bagaimana mengaplikasikan isi ajaran Allah SWT, karena jin dan malaikat adalah makhluk non-fisika yang tidak terlihat oleh kasat mata. Ketika Aisyah ditanya tentang bagaimana perilaku kehidupan Rasulullah? Beliau menjawab, perilakunya adalah al-Qur’an.
Bukti insaniyah syariah Islam juga adalah bahwa Islam mengajarkan persamaan derajat manusia. Keunggulan dan kemuliaan manusia tidak terletak kepada ras, suku, bangsa, warna kulit, kekayaan, ilmu dan pangkat-jabatan. Akan tetapi kemuliaan dan keunggulan manusia hanya terletak pada ketakwaannya kepada Allah SWT.
Dengan demikian hukum dan syariah Allah berlaku sama untuk semua manusia. Tidak ada perbedaan antara pejabat dan rakyat kecil, tidak ada perbedaan antara darah biru dan darah merah. Di depan hukum Allah semua manusia sama.
Ketiga; al-Syumul, artinya syariah Islam bersifat komprehensif (menyeluruh). Syariah Islam tidak hanya mengatur tentang ibadah ritual saja, namun juga mengatur seluruh kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, negara bahkan dunia internasional. Dengan demikian syariah Islam dapat diterapkan dimana saja, dan dibelahan bumi mana saja. Selain itu, ia juga dapat diterapkan di segala zaman dan era.
Keempat, al-wasathiiyah, yang berarti menengah, moderat dan adil. Syariah islam bersifat menengah dan adil. Tidak ghuluw (keterlaluan), tafrith (berlebihan), dan ifrath (serba kekurangan). Umat Islam yang komitmen melaksanakan ajaran Islam yang moderat ini juga bersifat menengah. Sebagaimana firman Allah SWT: “Dan demikian (pula) kami Telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (QS.Al-Baqarah: 143)
Menengah dan adil adalah sifat ber-keseimbangan. Keseimbangan dalam sikap, keseimbangan akhlak, ibadah, akidah, dan lainnya. Sikap ekstrim adalah sikap yang jauh dari karakteristik ajaran Islam. Baik ekstrim dalam hal akidah, sikap, maupun ibadah.
Kelima, al-Waqi’iyyah, artinya bahwa syariah dan ajaran Islam itu bersifat realistis. Ia membumi dan mudah diaplikasikan oleh semua manusia. Bukti realistis ajaran Islam adalah adanya rukhsoh (dispensasi) serta bersifat memudahkan. Oleh karena itu ajaran Islam bisa masuk ke semua negara dan ke semua suku dengan beraneka ragam budaya sosial mereka. Ia juga dapat masuk di tengah kondisi yang berbeda-beda di suatu negara, baik hukum, undang-undang maupun model sistem negara yang dianut. Kaidah fiqih mengatakan, Al-Hukmu yaduuru ma’al illati wujudan wa ’adaman. “Hukum berlaku sesuai dengan illat (sebab)nya, ada atau tidak adanya”. #

Selasa, 09 Juni 2009

Kriteria Pemimpin Ideal

“Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. “(QS. Al-Ahzab: 21)

Tidak syak lagi, pemimpin ideal yang pernah ada di atas permukaan bumi adalah: Rasulullah saw. Dialah pemimpin abadi bagi umatnya dan umat manusia umumnya. Tidak ada nama pemimpin besar yang namanya disebut hingga kini sebanyak nama Muhammad saw. Dalam adzan nama beliau disebut, dalam bacaan shalat pun disebut. Demikian juga dalam segala kesempatan acara tertentu, ia disebut namanya. Apalagi dalam buku-buku sejarah, nama beliau tertulis dengan tinta emas dengan keharuman semerbak bagi yang membacanya. Beliaulah Muhammad saw pemimpin abadi karena memiimpin umat dengan hati dan sepenuh hati.
Ada empat kriteria sehingga beliau menjadi pemimpin ideal hingga saat ini:
Shiddiq, artinya benar. Kata dan ucapan yang keluar dari mulut beliau selalu benar dan tak ada kata dusta. Beliau disegani oleh sahabat, umat, kawan, bahkan lawan karena ucapannya sesuai dengan laku perbuatannya. Apa yang diinformasikannya tidak ada sedikitpun kandungan dusta. Beliau tidak pernah memerintah suatu perintah kecuai beliau memulai sendiri melaksanakan perintah itu. Dan tidak pernah melarang akan sesuatu kecuali beliau memulainya pada dirinya sendiri untuk menjauh dari larangan tersebut. Inilah rahasia mengapa kata-kata beliau menjadi “bermutu” di dengar oleh siapapun. Itulah yang menyebabkan keluar kata “sami’na wa atho’na” (kami dengar dan kami taat) dari mulut sahabat bila beliau memeintah atau melarang mereka. Tidak ada reserve, tidak ada protes apalagi demontrasi atas ketidakpercayaan kepemimpinan beliau. Beliau saw pernah bersabda, “Andaikata Fatimah puteri Muhammad mencuri, maka aku sendiri yang akan memotong tangannya.” Kebenaran kata dan perbuatan inilah yang menyebabkan supremasi hukum berjalan, sehingga hukum berwibawa di hadapan rakyatnya. Hukum tidak hanya berlaku bagi rakyat jelata, namun juga ditegakkan kepada para elite dan pemimpinnya.
Amanah. Artinya adalah jujur. Sejak sebelum menjadi rasul-pun, Muhammad saw remaja telah mendapat gelar al-Amin (yang dipercaya). Sifat amanah telah menjadi darah daging beliau dalam kehidupan sehari—hari, tidak pura-pura dan tidak dibuat-buat. Rasa amanah inilah yang menyebabkan tercipta kemakmuran di kota Madinah. Tidak jarang Rasulullah melakukan operasi pasar untuk melihat tingkat kejujuran para pelaku ekonomi. Suatu saat Rasulullah mencelupkan tangan di atas onggokan gandum dan ditemuinya gandum yang bagian bawahnya basah, sementaa si penjual gandum menghargainya dengan harga gandum kering yang bagus. Maka Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang menipu kami maka bukan termasuk golongan kami”.
Kejujuran Rasulullah saw tidak hanya ditunjukkan kepada sesama kaum muslimin saja, bahkan beliaupun tetap berbuat jujur kepada kaum kafir. Pada saat beliau akan berhijrah ke Madinah, beliau kembalikan dahulu semua amanah dan titipan orang-orang Quraisy kepada pemiliknya masing-masing, padahal para pemilik barang yang dititipkan kepada Rasulullah saw adalah dari golongan non muslim. Padahal jika mau, bisa saja beliau membawa kabur barang-barang itu ke Madinah, apalagi pada saat itu beliau perlu bekal yang tidak sedikit. Akan tetapi beliau tetap mengembalikan semua titipan itu kepada sang pemiliknya.
Tabligh, artinya menyampaikan. Atau dalam bahasa modernnya adalah transparan (keterbukaan, menyampaikan apa adanya), akuntabel dan bertanggungjawab. Tidak ada satu ayat pun yang beliau korupsi atau sembunyikan. Semuanya disampaikan apa adanya oleh beliau kepada para sahabat. Meskipun ayat tersebut berisi oto-kritik kepada beliau, namun beliau tetap menyampaikan kepada umatnya dengan terbuka, transparan dan semangat tabligh (menyampaikan). Adalah surat “Abasa” berisi kritik keras kepada Rasulullah akan sikapnya saat menerima orang buta miskin yang ingin bergabung dengan Rasulullah. Namun, mesti isinya menyinggung dan mengkritik diri beliau, beliau tetap menyampaikan isi surat ‘abasa itu kepada umatnya. Sikap transparan akuntable dan responsblity inilah yang membuat beliau sukses dalam kepemimpinannya. Hingga hari-hari menjelang wafat beliau pun, beliau masih menanyakan kepada para sahabatnya, “Adakah diantara kalian yang pernah aku zhalimi?” Bahkan dalam khutbah Wada’ di padang Arafah yang terkenal itu bertanya meyakinkan para sahabatnya, “Hal Ballaghtu?” (Sudahkah semua telah aku sampaikan?). Para sahabat menjawab. “Balaa ya Rasulullah” (benar, engkau telah menyampaikan, wahai Rasulullah).
Fathonah, artinya cerdas, smart dan inovatif. Rasulullah saw adalah pemimpin yang cerdas dan inovatif. Banyak strategi dakwah dan perang yang tidak terjangkau oleh pasukan musuh. Demikian juga dalam mendamaikan antar anggota warga Madinah. Penduduk Madinah sebelum datangnya Islam seringkali bertikai, bahkan ratusan tahun mereka dalam pertikaian. Namun setelah memeluk Islam, mereka menjadi bersaudara melebihi cinta mereka kepada saudara kandung mereka sendiri.
Kita merindukan sang pemimpin bagai kepemimpinan Rasulullah saw. Meski tidak mirip benar, setidaknya sifat-sifat itu harus menjadi ciri para pemimpin ke depan, meki tidak sampai 100%. Namun, faktor lain yang membuat suatu kepemimpinan itu berwibawa adalah para pembantunya yang juga memiliki keempat sifat di atas. Jika seorang pemimpin berada di lingkungan para pembantu dan pendukunnya yang shiddiq, Amanah, tabligh dan fathonah maka suasana kepemimpinan seperti itu bukan hanya dirasakan di level tertentu, namun juga di semua level hingga ke pelosok terdalam sekalipun. Wallahu a’lam. )I(