Jumat, 26 Desember 2008

Muhasabah di Tahun Baru

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok; dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan” (QS. Al-Hasyr: 18)

Banyak tidak sadar di antara kita. Saat pergantian tahun baru kita terbawa huru hara dalam kegembiraan yang terlewat batas. Dari peniupan terompet yang membisingkan telinga, hingga acara muda mudi yang berpesta pora bebas etika. Padahal saat pergantian tahun, sebenarnya satu tahun jatah hidup kita berkurang. Pada saat kita menyobek dan mengganti lembar kalender kita, pada hakekatnya kita sedang “merobek” jatah satu tahun umur kita. Namun sedikit sekali orang yang merenung akan hakekat itu.

Ayat di atas menegur kita dengan tegas. hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok. Pergantian tahun hendaknya dijadikan sebagai momentum untuk merenung diri dan muhasabah. Seberapa amal kebaikan yang telah kita tanam pada tahun lalu? Atau bahkan sudah seberapa banyak amal keburukan yang kita perbuat? Jangan-jangan amal buruk kita tahun kemarin lebih banyak dari pada amal kebaikan yang kita lakukan. Oleh karena itu, hendaklah memperhatikan apa yang telah diperbuatnya tahun lalu, untuk kemudian merencanakan target-target hidup untuk tahun mendatang.
Yang dimaksud target dan rencana hari esok pada ayat di atas adalah lebih jauh lagi, bukan rencana tahun depan saja, bukan rencana lima atau sepuluh tahun kedepan. Tetapi rencana hidup di akhirat nanti. Tujuan hidup kaum muslimin bukan terbatas pada lima atau sepuluh tahun kedepan, tapi lebih dari itu, rencana hidup kaum muslimin adalah kehidupan di akhirat yang akan panjang. Sebab, kehidupan dunia hanya bersifat sementara. Rasulullah saw bersabda, “Jadlilah kalian di dunia seperti orang menyeberang jalan”. Sifat dan karakter orang yang menyebrang jalan adalah:

1. Dia berkonsentrasi pada tujuan yang di hadapannya, bukan jalan yang akan diseberanginya. Dia selalu berpikir agar selamat sampai di seberang sana, dan merasa lega apabila tiba di tempat tujuannya dengan selamat. Artinya seorang muslim selalu konsentrasi pada akhirat yang menjadi akhir perjalanan hidupnya.

2. Dalam menyeberang jalan, dia akan bersikap hati-hati jangan sampai tertabrak kendaraan. Dia akan menengok ke kanan dan ke kiri agar tidak ada sesuatu yang mencelakakan dirinya. Setelah dirasa aman barulah dia menyeberanginya. Artinya, saat hidup di dunia, dia akan bersifat berhati hati dalam menjalaninya, jangan sampai menabrak norma dan hukum Islam, dia selalu akan memperhatikan mana yang halal dan mana yang haram. Dia berhenti jika itu haram, dan dia terus jalani jika itu halal

3. Dalam menyeberangi jalan, dia berjalan atau berlari dengan cepat. Dia tidak akan berlama-lama di tengah jalan dan segera menuju tempat tujuan yang ada di hadapannya. Artinya, dunia ini bersifat sementara sama sebentarnya saat kita menyeberangi jalan dibanding tempat tujuan kita. Kenikmatan dunia laksana setetes air dari jari yang kita celupkan di samudera yang maha luas, dibanding kenikmatan akhirat yang luas bagai air di samudera.

4. Dia merasa lega dan bersyukur saat tiba di tempat tujuan setelah menyebarang. Kemudian di sanalah dia berlama-lama beraktifitas dan menjalani kehidupannya. Artinya, kehidupan sesungguhnya dan kehidupan yang panjang dan selamanya adalah kehidupan akhirat. Di sanalah dia akan mendapat nikmat yang kekal.

5. jika penyeberang jalan tidak berhat-ihati dalam menyeberang, maka ia akan ditabrak atau mendapat kecelakaan. Rasa sakit akibat kecelakaan tadi bisa membuat kita merasa sakit yang tidak terkira. Artinya, jika selama hidup di dunia kita tidak berhati-hati, maka kita akan sengsara hidup di akhirat, rasa sakit dari siksa neraka begitu panjang dan pedih.
Sudahkah kita memperhatikan dan merenungi hal itu? Sudahkah kita mempersiapkan diri saat bertemu Allah nanti?
Suatu saat, seorang wanita ahli maksiat mendatangi Ibrahim bin Adham mengajukan pertanyaan, “Saya masih ingin tetap maksiat tapi ingin tidak masuk neraka. Bagaimana caranya?” Ibrahim bin Adham tidak langsung melarang, kemudian beliau menjawab, “Engkau boleh tetap bermaksiat dan tidak masuk neraka, tapi harus kau penuhi lima syarat.” Sang wanita itu berkata, “Apa lima syarat itu?”
Ibrahim bin Adham berkata, “Pertama, engkau boleh bermaksiat tapi tidak boleh makan rezeki Allah. Kedua, engkau boleh tetap bermaksiat, tapi tidak tinggal dan melakukannya di bumi Allah. Ketiga, engkau boleh bermaksiat, tapi jangan kau lakukan di tempat yang tidak terlihat Allah. Keempat, engkau boleh bermaksiat jika engkau nanti mampu menolak kedatangan malaikat maut. Kelima, engkau boleh bermaksiat jika engkau mampu menolak malaikat zabaniyah yang menghukum ahli neraka.”
Mendengar persyaratan yang diajukan Ibrahim bin Adham, wanita itu pun mengucurkan airmata sambil berkata, “Mana mungkin aku melakukan sesuatu di selain bumi Allah, tidak terlihat Allah dan tanpa rezeki Allah? Apalagi jika aku kedatangan malaikat maut dan malaikat Zabaniyah yang kasar itu?” Iya tersungkur menangis dan saat itu juga bertaubat nasuha.
Kalau itu ditanyakan pada diri kita, “Silakan berpesta tahun baru yang sia-sia itu asal dilakukan di selain bumi Allah, sanggupkah kita?” Semoga tahun baru ini menjadi tahun perenungan kita. Amin ##
Jamhuri

Selasa, 16 Desember 2008

Penyebab Hati Menjadi Keras

"Dan karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat)"
(QS. Al-Maidah: 13)

Ayat di atas menceritakan hukuman Allah SWt kepada Bani Israil berupa kutukan dan dijadikannya hati mereka menjadi keras. Hati keras adalah hati yang tidak mau menerima petunjuk kebenaran, meskipun kebenaran itu sudah di dapan mata. Menurut ayat di atas, ada lima sebab yang membuat seseorang atau suatu kaum menjadi keras hatinya, antara lain:

Pertama, Melanggar perjanjian. Perjanjian yang dimaksud dalam ayat ini adalah segala perjanjian, terutama perjanjian kepada Allah. Perjanjian kepada Allah adalah kesiapan kita melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya. Pada saat di alam ruh, Allah bertanya kepada kita, ”Bukankah Aku adalah Tuhan kalian? Mereka menjawab, ”Ya, kami bersaksi (atas hal itu)”. Keasyikan kita melanggar perintah Allah SWT dan tidak mengindahkan perintahNya akan mengakibatkan hati kita keras. Jika hati keras, maka segala nasehat, masukan, dan kritikan tidak akan diterima. Baginya, nasehat dan kritikikan disikapinya sebagai penghinaan. Jika demikian, maka akan lahir sikap-sikap sombong. Sebagaimana bangsa Bani Israel yang merasa superior dibanding bangsa lainnya. Bagaimana nasehat orang lain akan masuk ke dalam hatinya, sementara janji Allah pun dilanggarnya?. Oleh karena itu, semakin diri kita asyik melanggar perintah Allah, maka lama-kelamaan hati kita akan keras dan menjauh dari hidayah Allah SWT.

Kedua, merubah perkataan Allah SWT. Orang-orang Bani Israel dikutuk dan hatinya menjadi keras disebabkan mereka sering merubah firman-firman Allah SWT. Allah menjelaskan bahwa Allah Maha Esa dan tidak mempunyai anak, namun Bani Israel menganggap bahwa Uzair adalah anak Allah SWT, mereka diharamkan memakan riba (bunga hutang), tapi mereka menafsirkan sendiri bahwa larangan itu berlaku jika dilakukan sesama Bani Israel, adapun jika dilakukan kepada orang lain maka memakan riba diperbolehkan.
Saat ini, usaha-usaha merubah ayat Allah SWT sulit dilakukan, karena setiap kali mereka melakukan pemalsuan al-Qur’an, setiap kali itu pula perbuatan itu segera diketahui umat Islam dan mendapat reaksi yang luas. Oleh karena itu kini mereka beralih dengan merubah tafsir al-Qur’an yang sesuai dengan hawa nafsunya. Ironisnya, program penafsiran al-Qur’an secara sesat itu ikut melibatkan umat Islam, terutama kalangan intelektual Islam. Slogan bahwa ”al-Qur’an sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman”, ”Semua agama sama saja”, ”Iblis juga masuk surga” adalah bentuk-bentuk penafsiran sesat. Mereka merubah makna dan tafsir al-Qur’an dari tempat-tempat yang semestinya. Penafsiran seperti ini adalah termasuk merubah al-Quran dari tempat semestinya. Termasuk penafsiran jenis ini juga adalah menafsirkan al-Quran sesuai dengan hawa nafsunya, tanpa melihat kaitannya dengan ayat lain serta penjelasan dari Nabi saw dan para Sahabat.
Termasuk merubah al-Quran juga adalah menggunakan ayat-ayat sebagai alat justifikasi suatu kebijakan yang jelas-jelas terlihat kezalimannya dan bertentangan dengan al-Qur’an itu sendiri.

Ketiga, lupa akan hal yang telah diperingatkannya. Ini boleh jadi ciri hati keras yang nampak. Sebab hati yang keras, meskipun diingatkan berkali-kali, dia tidak mengindahkannya alias melupakannya. Uniknya, bahasa al-Qur’an menyebutnya dengan redaksi ”melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya”. Kata ”sebagian” dalam ayat tersebut berarti tidak melupakan seluruhnya. Jadi disebabkan mereka melupakan “sebagain” saja dari yang diperingatkannya maka akan mengantarkan mereka menjadi keras hatinya, yakni akan bersikap masa bodoh dengan segala peringatan dan nasehat.
Bani Israel adalah bangsa yang masa bodoh dengan berbagai peringatan. Allah pernah memperingatkan mereka tentang nikmat yang Allah berikan berupa terbebasnya Bani Israel dari kejaran Fir’aun dan tentaranya, namun sesampainya mereka di daratan dengan selamat, mereka meminta kepada nabi Musa as untuk membuat sesembahan selain Allah. Mereka jua pernah diingatkan dengan nikmat para Nabi yang lahir dari kalangan keturunan bangsa mereka, namun mereka justru membunuh para Nabi tersebut.

Keempat, pengkhianatan. Inilah puncak dari akibat penyakit hati yang keras. Jika kita hidup dalam sebuah jama’ah, bisa dianalogikan bahwa benih-benh pengkhianatan adalah dimulai dari (1) melanggar perjanjian dari AD/ART yang sudah disepakati bersama, (2) merubah ayat-ayat dan pasal, atau setidaknya merubah penafsiran dari ayat-ayat dan pasal-pasal tersebut, (3) Ketika penyimpangan terjadi, mereka pun diberi nasehat, namun mereka tidak mau menerima nasehat itu dengan ikhlas. (4) Melupakan segala masukan dan nasehat yang masuk ke hati mereka, bahkan mereka merasa benar sendiri, (5) Melakukan pengkhianatan terhadap jamaahnya.
Jika lima hal itu terjadi pada setiap individu muslim, maka alangkah dikutuknya ia, sebagaimana Allah mengutuk kaum Bani Israel. Wal’iayadzu billah. Wallahu a’lam.# )I(