Kamis, 09 Juli 2009

Urgensi Amal Jama'i

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara” (QS. Ali Imran: 103)

Amal Jama’i secara harfiyah berarti bekerja sama, atau bekerja kolektif. Dalam kehidupan, amal jama’i (kerja sama) adalah sebuah kemestian. Tidak ada satu orang pun dapat hidup sendiri tanpa membutuhkan pertolongan orang lain. Orang yang kaya membutuhkan si miskin untuk membantu tugas-tugas sehari-harinya. Orang miskin pun membutuhkan orang kaya.

Jika dalam kehidupan saja kita tidak terlepas dari amal jama’i, maka dalam sebuah perjuangan mencapai tujuan tertentu, atau cita-cita tertentu, maka amal jama’i lebih sangat dibutuhkan. Para pendahulu kita dahulu tidak mungkin dapat mewujudkan Indonesia Merdeka tanpa adanya amal jama’i (kerja sama). Demikian juga, sehebat apapun seorang Nabi atau Rasul tidak mungkin dapat mewujudkan negara Madinah tanpa adanya kerja sama antara kaum muslimin, terutama kaum Muhajirin dan Anshar. Oleh karena itu kerja sama atau amal jama’i mutlak dilakukan dalam mewujudkan sebuah cita-cita atau tujuan. Kenapa demikian?

Pertama, karena amal jama’i adalah tabiat alam (natural). Bangsa semut tidak dapat membuat sarang atau menyimpan makanan tanpa adanya kerjasama di antara mereka. Bila kita melihat kehidupan semut, betapa mereka ulet dan saling bergotong royong dalam bekerja. Bahkan bila seekor semut bertemu dengan kawannya dia berhenti sejenak dan saling besalaman. Demikian juga pada kehidupan lebah, mereka mempunyai tugas masing-masing dalam mengembangkan dirinya dan di antara mereka tercipta kerjasama yang harmonis dalam bekerja.

Kedua, karena manusia adalah makhluk sosial. Meskiupun nabi Adam telah disediakan segala kenikmatan surga, namun beliau masih saja merasa kurang jika tidak ada teman dalam hidupnya. Sehingga Allah menciptkan Hawa sebagai teman hidupnya. Demikian pula kita dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat hidup sendiri, melainkan membutuhkan bantuan orang lain.

Ketiga, karena persatuan itu kekuatan dan bercerai berai itu adalah kelemahan. Ibarat lidi, bila dia sendirian, maka dia mudah dipatahkan. Namun jika hidup bersama dalam sebuah jamaah (kumpulan) sapu lidih, maka ia sulit dipatahkan.

Seekor singa tidak akan menerkam seekor rusa yang berkumpul bersama kawanan rusa lainnya. Namun jika rusa itu telah terpisah dari kawanan rusa lainnya, maka ia akan mudah diterkam dan di mangsa oleh singa.

Oleh sebab itu Rasulullah saw telah mengingatkan kepada kita bahwa suatu saat umat Islam akan menjadi santapan umat lain. Padahal pada saat itu jumlah umat Islam begitu banyak. Akan tetapi banyaknya tidak memiliki kekuatan. Mereka bagaikan buih yang terombang-ambing kesana kemari. Hal itu disebabkan karena mereka memiliki penyakit berupa wahan. Para sahabat apakah wahan itu? Rasulullah menjawab wahan adalah cinta dunia dan takut mati.

Cinta dunia akan menimbulkan sikap egois dan jauh dari amal jamai. Cinta dunia juga membuat lemahnya semangat perjuangan meraih pahala surga. Sehingga umat lain dapat mudah menyantap umat Islam seperti kawanan srigala menyantap kambing-kambing.

Keempat, karena kemampuan invidu atau perorangan itu sangat terbatas. Setiap kita bukanlah Superman atau Avatar yang dapat mudah merubah dunia secara sendirian. Ada di antara kita yang hanya mampu menjadi pedagang, namun tidak mampu menjadi politikus. Ada yang mampu menjadi sekretaris yang bekerja di kantor namun tidak mampu menjadi kurir atau marketing di lapangan.

Oleh sebab itu kita membutuhkan bantuan orang lain. Terlebih dalam mewujudkan sebuah cita-cita, karena tidak mungkin dilakukan oleh perorangan. Dengan berhimpunnya manusia-manusia dengan latar belakang dan keahliannya masing-masing maka hal itu akan saling melengkapi, sehingga cita-cita atau tujuan yang dicapai akan terwujud.

Dalam perjuangannya, Rasulullah saw memiliki sahabat-sahabat yang memiliki karakter masing-masing. Abu Bakar dikenal sebagai orang yang paing arif karena kematangan usianya. Umar bin Khattab dikenal sebagai orang yang tegas da berwibawa dalam memutuskan suatu perkara. Utsman bin Affan dikenal sebagai konglomerat yang banyak menginfakkan harta di jalan Allah SWT. Ali bin Abi Thalib dikenal sebagai anak muda yang cerdas serta penuh hikmah.

Keragaman karakter seperti itu memperkaya khazanah serta saling melengkapi satu sama lainnya, sehingga Islam dapat tersebar luas hampir ke seluruh benua dalam jangka waktu yang singkat.

Kelima, karena umat lain pun bersatu dan bekerja sama dalam menghadapi umat Islam. Allah SWT berfirman yang artinya, Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu (QS. Al-Baqarah: 120)

Oleh sebab itu, umat Islam pun harus bersatu dan tidak boleh terpecah belah. Bukan saatnya lagi umat Islam dipecah-belah karena perbedaan organisasi atau partai, apalagi menghasut dan memfitnah sana sini. Sebagaimana firman Allah SWT: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu -Karena nikmat Allah– menjadi orang-orang yang bersaudara” (QS. Ali Imran: 103) . Wallahu a’lam. )I(