Rabu, 30 September 2015

Haji dan Calon Pemimpin Dunia




وَإِذْ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا قَالَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي قَالَ لَا يَنَالُ عَهْدِي الظَّالِمِينَ

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam (pemimpin) bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim". (QS. Al-Baqarah: 124)

Salah satu prasyarat menjadi pemimpin sejati adalah kesiapan seseorang untuk menerima dan mematuhi segala perintah dan larangan yang telah digariskan Allah swt tanpa banyak cingcong serta tanpa keberatan hati. Itulah yang pernah dilakukan pada diri nabi Ibrahim as. Ibrahim as dengan sangat patuh melaksanakan segala perintah Allah swt dan menjauhi segala yang dilarangNya, sekalipun perintah dan larangan itu bertentangan dengan kepentingan hawa nafsunya. Atau bertentangan dengan nalar logikanya.

Beberapa perintah yang di luar nalar logika manusia adalah perintah meletakkan keluarga di sebuah lembah yang tiada terdapat tumbuhan dan sumber makanan serta tidak berpenghuni, yaitu di Bakkah (Makkah). Makkah saat itu adalah sebuah lembah yang tandus dan kering kerontang serta tidak berpenghuni. Padahal perintah itu turun di saat putera Ibrahim yang sangat dicintai dan ditunggu-tunggu kelahirannya sejak dahulu bernama Ismail masih bayi dan masih perlu perawatan yang baik. Namun beliau melaksanakan perintah itu dengan sangat sempurna.

Saat beliau meletakkan anak dan isterinya disana, sebagai manusia, beliau merasa bersedih. Namun perintah Tuhan harus tetap dijunjung tinggi. Beliau meninggalkan mereka dengan iringan cucuran air mata. Hingga saat Siti Hajar memanggil dan bertanya berulang-berulanag. “Hai Ibrahim, mengapa engkau tinggalkan kami berdua disini?” Beliau tetap berjalan meninggalkan keluarga menuju Palestina dan tidak menghiarukan panggilan isterinya meski airmata beliau bercucuran karena rasa sedih. Hingga saat Siti Hajar bertanya kesekian kalinya, “Wahai Ibrahim, apakah engkau tinggalkan kami disini karena perintah Allah swt?”. Barulah Ibarhim as menengok sambil menjawab, “Benar wahai isteriku, aku meletakkan kalian karena perintah Allah swt.” Siti Hajar menjawab, “Jika demikian, pastilah Allah tidak akan menyia-nyiakan kami disini”

Di sini, Ibrahim telah sempurna menjalankan perintah Allah swt. Namun, ujian itu bukan sekali ini saja. Pada saat Ismail as menginjak usia dewasa, Allah menguji kembali keimanan Ibrahim as dengan memerintahkan beliau untuk menyembelih puteranya yang sangat disayangnya tersebut. Meski sempat bermusyawarah dengan Ismail as tentang rencana penyembelihan Ismail, namun karena keluarga calon pemimpin ini begitu kuat imannya, perintah itu pun siap dilaksanakan dengan sempurna.

Setelah sukses, kini keduanya pun diperintah Allah swt untuk membangun kembali pondasi-pondasi ka’bah yang menjadi matsabah (peneguh) bagi manusia, mereka –baik ayah maupun anak- melaksnakannya dengan sangat sempurna, hingga maqam Ibrahim as dijadikan Allah swt sebagai musholla (tempat sholat).

Setelah dengan sempurna menapaki ujian perintah dari Allah, barulah Allah menyiapkan Ibrahim menjadi pemimpin manusia (dunia). "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam (pemimpin) bagi seluruh manusia". Tidak hanya disitu, Ibrahim as pun memohon pada Allah agar keturunannya pun menjadi pelanjut kepemimpinan umat manusia. Allah mengabulkan dengan syarat mereka tidak melakukan kezhaliman. Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim". (QS. Al-Baqarah: 124)

Jadi, calon pemimpin adalah orang yang menapaki beberapa ujian yang Allah siapkan, dan mereka siap melaksanakannya dengan sempurna. Salah satunya adalah melanjutkan titah Ibrahim as dalam melaksnakan ibadah haji. Mengapa haji? Karena haji adalah mewakili seluruh bentuk ibadah mahdhoh yang ada. Dalam haji terdapat ibadah zikir (syahadatain), ibadah fisik (shalat), ibadah harta (zakat) dan ibadah menahan emosi dan nafsu (puasa). Karena di dalam haji terdapat ibadah zikir (talbiah), ibadah fisik (thowaf dan sai), ibadah harta (membayar ongkos naik haji) dan ibadah menahan emosi dan nafsu (tidak rofats, fasik dan jidal) Itulah sebabnya Allah swt menjelaskan bahwa perputaran bulan sabit (waktu) adalah waktu yang diperuntukkan untuk ibadah haji. Meskipun tidak menyebut bentuk ibadah lain, namun sudah include dengan ibadah-ibadah lain yang juga memperhatikan perhitungan waktu dan bulan sabit. Firman Allah swt:
يَسْأَلُونَكَ عَنْ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ

Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji (QS. Al-Baqarah: 189)

Jadi, calon pemimpin dunia adalah mereka yang siap melaksankan perintah Allah dengan sempurna. Dan salah satunya adalah melaksanakan pesan-pesan dalam ibadah haji. Antara lain:
  1. Dalam ibadah haji terdapat kesanggupan fisik. Bahkan dalan ibadah haji kandungan ibadah fisiknya sebanyak 99% seperti thowaf, sa’i, wukuf di arafah, mabit di Muzdalifah dan Mina, serta melontart jumroh. Kemampuan fisik ini menjadi prasyarat bagi seorang calon pemimpin. Firman Allah swt, Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu." Mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?" Nabi (mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa." Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui (QS. Al-Baqarah 247) 
  2.  Dalam ibadah haji terdapat kesanggupan berjuang dengan harta di jalan Allah swt. Firman Allah swt, Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (QS. Ash-Shaff: 10) 
  3.  Dalam ibadah haji terdapat perintah  jiwa ukhuwah dan pertemuan dengan seluruh warga dunia, terutama saat wukuf di Arafah. Calon pemimpi dunia harus siap menyatukan seluruh komponen warga dunia yang berlatar belakang suku, bangsa dan bahasa yang berbeda dalam nilai-nilai ajaran Islam yang mengajarkan katakwaan sebagai indikator tertinggi keududkan manusia. 
  4. Dalam Ibadah haji, diajarkan untuk mendeklarasikan permusuhan abadi dengan syaitan yang selalu mengajak kepada kerugian dan kehancuran, kefakiran, kemiskinan dan keterpecahbelahan di natara manusia. (ya’murukum bi al-ssu-i wa al-fahsya, wa yad’ukum ila al-faqri wa al-fasad). Deklarasikan permusuhan ini dijewantahkan dengan pelontaran jumroh yang tiga. Calon peminpin hendaknya tidak mengantarkan rakyat dan umatnya kepada kemiskinan, keterpurukan, kemaksiatan dan permusuhan antar sesama anak bangsa dan warga dunia. 
  5.  Dalam ibadah haji terdapat pesan kesiapan bekerja siang dan malam, tanpa mengenal waktu. Hal ini tercermin dari ritual mabit di Mina dan Muzdalifah. Calon pemimpin adalah seperti yang dicontohkan Umar bin Khattab, selalu perhatian kepada rakyatnya siang dan malam 
  6. Dalam ibadah haji terdapat pesan untuk tidak mengenal kata lelah dalam menggapai suatu tujuan. Hal ini dicerminkan dengan ibadah sa’i yang merupakan rekonstruksi dari keteguhan dan keuletan seorang wanita bernama Siti Hajar. 
  7. Dalam ibadah haji terdapat pesan agar memperhatikan rumah ibadah (baitullah) yang merupakan pusat seluruh ibadah dan gerak hidup mengarah kepadanya. Hal ini tercermin dalam ibadah thowaf. Calon pemimpin adalah mereka yang selalu mengantarkan rakyatnya untuk mendekat kepada Tuhan mereka dengan menganjurkan rakyatnya melazimkan masjid. Itulah sebabnya program pertama sejak kedatanagn nabi Muhammad saw di Madinah adalah membangun masjid. Program ini berdimensi
  • Negara yang dibangun Rasulullah saw adalah negara agamis (Islam), bukan negara sekuler atau atheis  
  • Kesejahteraan yang akan dibangun sebuah negara bukan hanya kesejahteraan fisik dan duniawi saja, namun juga kesejahteraan batin dan ukhrowi. 
  • Mendekatkan rakyat kepada Tuhannya, agar hidup mereka tidak kehilangan orientasi.


Wallahu a’lam bis Showab
Muhammad Jamhuri
Makkah al-Mukarramah, 15 Dzulhijjah 1436 H/29 September 2015


Selasa, 22 September 2015

Makkah Memotret Diri Manusia

Mungkin sebagian orang tidak percaya, bahwa saat melaksanakan ibadah haji di Kota Suci Makkah, keadaan akan normal-normal saja. Semuanya akan berjalan biasa, tanpa ada peristiwa-peristiwa aneh yang akan terjadi disana. Namun, kenyataannya banyak pula orang dengan pengalamannya masing-masing mengalami sesuatu yang di luar nalar dan logika.

Persitiwa-peristiwa aneh tersebut kadang sering terjadi. Dan peristiwa yang Allah ciptakan itu agar manusia mengambil ibroh/pelajaran sebagai bekal hidupnya pasca ibadah haji atau umroh.

Beberapa peristiwa aneh yang terjadi biasanya merupakan potret dari amal dan sikap manusia selama ini. Manusia biasanya banyak menampakkan seolah-olah baik dan terhormat bahkan disanjung di masyarakatnya, entah karena jabatan, maupun  status sosial dirinya. Kekurangan dan keburukannya disimpan di hadapan manusia, padahal tidak ada yang tersimpan di hadapan Allah. Dia hanya baik saat di hadapan manusia, namun di belakang manusia dia menjadi manusia terlihat celanya secara telanjang. Dia menjadi baik di depan media, namun kenyataan sehari-harinya dia penuh kesalahan.

Apa yang disembunyikan selama ini di Tanah Air, saat di Makkah justru dibuka oleh Allah swt. Apalagi dengan profesi dan kedudukannya dia bersikap sombong Beberapa kisah nyata ini menunjukkan hal tersebut:
  1. Seorang jamaah haji yang berprofesi sebagai tentara, saat diberi petunjuk oleh pembibing ibadah tentag jalan dan arah menuju ke Masjidil Haram hingga kembali ke hotel tempat menginap, tentara meremehkan arahan sang pembimbing, saat rombongan lain mengikuti arahan sang pembimbing, tentara ini memisahkan diri dan berkata dalam hatinya, "Ah...jangankan cuma Masjdil Haram ke Hotel yang cuma 200 meter, saya pernah menjelajah gunung Halimun yang rumit saja dapat kembali ke barak tanpa bantuan kompas". Namun apa yang terjadi? saat semua jamaah sudah kembali ke hotel mereka, jamaah yang tentara ini belum bisa kembali selama dua hari dua malam. Semua petugas haji dan jamaah dikerahkan untuk mencari orang tersebut. Setelah dua hari, dia ditemukan di antara Shafa dan Marwa, Dari peristiwa itu, dia insyaf dan sadar
  2. Saat seorang ustadz pembimbing haji mengunjungi jamaahnya yang sakit, ditemukan seorang pasien jamaah haji lain yang kondisinya sudah seperti sakarutul maut. Padahal menurut tim dokter haji, seluruh organ tubuhnya berfungsi normal. Lalu, ustadz ini bertanya kepada istri sang pasien. "Apa pekerjaan bapak?" "Bapak sudah pensiun" jawab isterinya. "Adakah bapak ini memegang amanah tertentu?" tanya ustadz. "Oh ya, bapak sebagai pengurus DKM Masjid." jawab isterinya. "Apakah ibu masih punya anak di Indonesia dan bisa menghubunginya?" tanya ustadz. "Ya " jawab si ibu sambil menelpon anaknya. Setelah terhubung, hp itu diserahkan ke ustadz tersebut, Sang ustadz berkata kepada anak sang pasien, "Apakah Anda memiliki uang Rp20 juta, jika ada sekarang juga tolong serahkan uang itu ke Masjid sekarang juga." Karena ingin sekali ayahnya yang sedang di Makkah sembuh, anak itu segera mengambil uang dan menyerahkannya ke masjid dekat rumahnya. Seketika ayahnya yang sedang koma di Makkah menjadi pulih dan sehat kembali. Setelah itu, dia dan isterinya sadar bahwa dia pernah "korupsi" uang pembangunan masjid.
  3. Seorang pejabat terbiasa sombong dengan bawahannya, sering perintah ini dan itu layaknya seorang lender. Saat berangkat ke Makkah, dia menjadi hilang ingatan. dan kebiasaan perintah-perintah terlihat dalam sikap-sikapnya, hingga jamaah lain dia perintah-perintah untuk melakukan ini dan itu layaknya bawahan atau pelayan hingga diperintah merapikan tempat tidurnya. Akhirnya, setelah ngoceh sana dan sini, diketahui bahwa dia menjabat sebuah jabatan prestis namun sangat takut pada seorang dirjen dan pejabat KPK. Maka jamaah-pun bila ingin menenangkan sikap orang tersebut mengaku sebagai dirjen atau kpk, sehingga dia ketakutan dan mau diam tidak berbuat onar lagi dengan perintah ini dan itu.
Demikianlah Tanah Suci telah banyak memotren manusia apa adanya. Semoga dengan mengetahui jati diri sendiri, para jamaah sadar bahwa dirinya hanyalah seorang hamba lemah di hadapan Allah swt

Jumat, 27 Maret 2015

Pendidikan Model Pesantren Kini Lebih Diminati



Meskipun dewasa ini banyak pihak, termasuk pemerintah, mengindentikkan pesantren dengan radikalisme, namun model pendidikan pesantren justru lebih diminati oleh masyarakat. Hal itu terlihat dengan banyaknya beberapa pesantren yang sudah memenuhi koata penerimaan santri baru, padahal tahun pendidikan dimulai bulan Juli. Beberapa pesantren bahkan membuat iklan pendaftaran “inden” untuk menerima calon santri baru untuk 2, 3, bahkan 4 tahun ke depan, layaknya waiting list dalam sistem pendaftaran ibadah haji. Jika kita mendaftar anak untuk diterima tahun ini, pesantren tersebut sudah tidak bisa menampung, padahal pesantren tersebut sudah menyebarkan calon santri ke beberapa cabangnya.

Ada pula pesantren menerima hampir 1000 calon santri baru, padahal kapasitas untuk menerima calon santri baru hanya 300 orang. Sehingga pada saat diselenggarakan tes masuk santri baru, pesantren ini tidak bisa menampung calon santri baru itu, sampai-sampai untuk mengadakan tes masuk, pesantren tersebut menyewa beberapa ruang convention PUSPIPTEK milik BPPT di kawasan Serpong, Banten.

Kenyataan ini bukan hanya terjadi di daerah jabotabek, di daerah Jawa Tengah, Jawa Barat dan Pulau Jawa saja, namun terjadi pula di beberapa daerah di luar Jawa. Bahkan beberapa pesantren dengan  spp yang tinggi pun tetap  banyak diminati oleh masyarakat.

Fenomena ini terjadi banyak faktor. Secara internal, pesantren kini banyak berbenah diri. Pesantren kini bukan hanya mengajarkan ilmu agama, namun juga memadukan antara ilmu agama dengan sains. Bahkan memadukan antara ilmu agama dengan kewirausahaan (ekonomi). Itulah sebabnya banyak pesantren menggunakan kata “TERPADU” karena memadukan ilmu agama dengan keterampilan (life skill) yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Selain itu, pesantren juga telah bergeser kepada model modern. Sehingga, pesantren tidak lagi dikesankan dengan situasi kumuh, kotor, dan terbelakang. Di samping itu, secara manajerial pesantren pun tidak kalah dengan sekolah-sekolah elit lainnya. Bobot pengetahuan sains dan agama diberikan secara seimbang sehingga tidak ada dikotomi antara ilmu agama dan sains. Oleh sebab itu banyak anak pesantren menjadi duta dalam pertukaran pelajar antar negara serta menjuarai berbagai olimpiade di tingkat internasional.

Secara eksternal, sekolah-sekolah umum telah “gagal” membangun karakter siswa yang berbudi pekerti mulia. Faktor inilah yang membuat masyarakat kini kurang memberi kepercayaan kepada sekolah-sekolah umum, baik swasta maupun negeri. Bahkan beberapa sekolah negeri di beberapa daerah kini “kurang laku”, hingga ada pemerintah daerah yang mengeluarkan surat edaran atau perda, bahwa anak daerah harus bersekolah di sekolah yang berada di daerahnya karena kekhawatiran sekolah-sekolah daerah tersebut akan kekurangan murid.

Banyaknya siswa yang terlibat kasus-kasus asusila, narkoba, kriminal, tauran bahkan pergaulan bebas di lingkungan sekolah akhir-akhir ini menunjukkan bahwa sekolah umum tidak lagi memberikan rasa aman kepada siswanya. Kenyataan inilah yang membuat masyarakat mulai melirik psantren. Belum lagi kebijakan pemerintah yang gonta-ganti kurikulum setiap pergantian rezim kekuasaan. Berbeda dengan pesantren, yang sebagian kitab atau buku klasiknya masih eksis menggunakan buku tersebut dan selalu aktual, sehingga jika ada seorang adik yang masuk pesantren, dia masih dapat menggunakan buku kakaknya yang juga dari pesantren. Coba bayangkan dengan buku umum, setiap tahunnya terus berganti tergantung “lobi” penerbit dan bongkar pasang kurikulum oleh pemerintah. Faktor-faktor inilah, sekali lagi, yang menyebabkan model pendidikan pesantren sangat diminati.

Faktor lain adalah jiwa kehidupan pesantren yang dibingkai dengan panca jiwa pesantren, yaitu keikhlasan, ketaatan, kesederhanaan, kemandirian, dan ukhuwah yang diamalkan dalam kehidupan pesantren selama 24 jam sehari. Kebiasaan yang dilakukan berkali-kali, terutama pada usia remaja akan menjadi karakter santri. Ada faktor lain yang mungkin tidak dimiliki oleh sekolah umum. Yaitu dalam masyarakat industri yang serba sibuk, dimana terkadang suami dan isteri sibuk bekerja di luar, maka pilihan tepat untuk “menitipkan” anaknya adalah pesantren. Karena di pesantren, anak dididik dan diawasi selama 24 jam. Sedangkan di sekolah umum, keberadaaan mereka hanya 5-7 jam di dalam suasana pendidikan. Di luar itu, anak di luar pengawasan orang tua dan guru. Sehingga tidak aneh jika anak berada di mall bahkan di dalam jam pelajaran sekalipun.

Muhammad Jamhuri
Pengasuh Pesantren Terpadu Ekonomi Islam MULTAZAM
Jum’at, 27 Maret 2015

Rabu, 18 Maret 2015

Pesantren, Boarding School dan Ruhul Ma’had



Oleh: Muhammad Jamhuri

Suatu kali, saya pernah bertemu dengan salah kepala madrasah yang berada dalam naungan suatu pesantren dalam suatu urusan akreditasi madrasah. Sekolah yang dia pimpin sudah lama berdiri. Karena nama sekolahnya pernah saya dengar bahkan sebelum saya menempuh kuliah dahulu. Setelah berkenalan, saya bertanya, “Ustadz, madrasahnya sudah berapa kali diakreditasi?”, “kalau madrasah saya baru kali ini, karena baru berdir empat tahun lalu.” Tambah saya. Ustadz itu menjawab, “Baru pertama kali juga, ya sekarang ini”. Saya agak heran dan bertanya, “Ustadz, bukankah sekolah ustadz ini sudah lama beridiri? Kok, baru pertama ini diakreditasi?” Dia menjawab, “Sebenarnya sudah berkali-kali diakreditasi, namun sebagai madrasah, baru kali pertama ini diproses akreditasi.” Saya tambah heran lagi. Lalu Dia menjelaskan. “Dulu sekolah kami adalah SMP yang berada dibawah binaan kemendiknas, nah saat statusnya SMP, sekolah kami sudah lama berdiri dan sudah diakreditasi berkali-kali. Namun  sekarang kami ubah menjadi MTs (Madrsah Tsanawiyah). Oleh sebab itu, baru kali ini akreditasinya diproses.”
Saya tambah merasa heran, karena bukankah banyak orang dan wali murid yang gandrung kepada SMP dari pada MTs? Mereka lebih bangga memasukkan anaknya ke SMP daripada MTs (madarsah)?. Teman saya itu menjelaskan, “Setelah kami jalani, ternyata status sekolah juga membentuk karakter anak. Nama SMP membentuk karakter dan sikap anak, dari sebutannya saja mereka disebut “anak SMP”. Berbeda saat sekolah kami diubah menjadi madrasah, sebutan untuk mereka sekarang adalah “anak madrasah”. Tanpa menjelaskan lebih rinci, saya sudah mafhum maksud dari penjelasannya. Kabarnya SMA yang ada di pesantren teman saya itu sedang proses embrio menjadi MA (Madrasah Aliyah).
Anda mungkin bisa tidak setuju dengan kesimpulan di atas. Bukankah tergantung kyai, atau kepala sekolah dan gurunya dalam membentuk karakter anak dari pada sekedar nama Sekolah atau Madrasah? Tapi itulah fenomena yang dialami pesantren teman saya itu. Dia me-reformasi “Sekolah” menjadi “Madrasah” karena menurut pengasuhnya hal itu penting.
Dalam suatu kunjungan ke sebuah lembaga sosial (Charity), saya bertemu dengan salah seorang pimpinan lembaga Charity yang banyak berkeliling ke pesantren-pesantren dalam misi memberi bantuan dan kerja-sama. Dalam diskusi ringan, dia bercerita, bahwa kini sering ditemukan guru-guru (asatidz) di sebagian pesantren mengeluh kepada beliau. Pasalnya, bayaran atau spp yang dikenakan kepada santri begitu tinggi (baca: mahal), namun kesejahteraan yang diterima asatidz tidak sebanding dengan spp tersebut. Lebih ironi lagi, kepuasan batin pun tidak didapatkan oleh para asatidz tersebut. Pasalnya, anak-anak santri dirasa kurang menghormati asatidz-nya. Mungkin –menurut teman saya itu- si santri menyikapi guru seperti orang gajian yang diberi gaji oleh orang tua mereka. Mereka juga tidak mendapatkan asupan tentang pentingnya menghormati guru.
Dua kenyataan di atas itulah yang mendorong saya membuat tulisan ini.


Adakah Perbedaan Antara Pesantren dan Boarding School?
Seringkali “pondok pesantren” diartikan dalam bahasa inggris dengan “Boarding School”, atau dalam bahasa Arabnya “Ma’had Islamy”. Untuk sementara memang kata itulah yang cocok untuk terjemah kata “pondok pesantren”. Namun kata “pesantren’ dalam kontek ke-Indonesiaan memiliki ciri khas yang unik dari sekedar “Boarding School” dan “Ma’had Islamy”.
Namun dengan dua alasan fenomena di atas, saya dapat bedakan antara pesantren dan boarding school. Perbedaan ini ada jika memang yang akan saya sebutkan itu ada. Namun jika tidak ada, maka antara pesantren dan boarding school itu sama saja.
.
1.    Ditinjau dari pendirian
Pesantren lebih sering dibangun dari modal nol, lalu sedikit demi sedikit membangun satu kobong atau satu ruang, kemudian berkembang hingga memiliki banyak gedung dan ruang. Sedangkan boarding school dibangun dengan secara sekaligus memiliki banyak gedung, bahkan sebagian gedungnya pun mewah-mewah, fasilitas pun lengkap
2.    Ditinjau dari pendiri
Pesantren biasanya didirikan oleh perorangan, bahkan langsung oleh sang kyainya, atau keluarga besar kyainya atau dengan beberpa temannya dengan idealismenya. Sedangkan boarding school biasanya dibangun oleh suatu lembaga, baik berupa lembaga charity, yayasan, pemerintah atau beberapa pengusaha atau investor
3.    Ditinjau dari pimpinannya
Pesantren biasanya dipimpin oleh seorang kyai yang gelarnya secara alami diperoleh karena kepercayaan dari masyarakat. Sedangkan boarding school dipimpin oleh seseorang yang diangkat oleh lembaga, yayasan, sekumpulan para pendiri atau para investor.
4.    Ditinjau dari kurikulum
Kurikulum pesantren biasanya berbasis kitab-kitab kuning dan kitab berbahasa Arab. Kalau pun bermetafora dengan sistem modern dengan mangadopsi kurikulum pemerintah, namun ciri khas kitab berbahasa Arab tetap dominan, atau minimal sama dengan muatan kurikulum pemerintah. Sedangkan boarding school lebih dominan menggunakan kurikulum pemerintah. Bahkan sebagian boarding school lebih dominan kurikulum materi umum dari pada materi agama.
5.    Ditinjau dari Orientasi Output
Pesantren biasanya berorientasi melahirkan para ulama dan orang yang memberi pencerahan kepada umat, meskipun kini output mereka banyak yang dapat melanjutkan di perguruan tinggi. Sedangkan boarding school lebih berorientasi kepada output yang dapat bersaing di bidang sains dan dapat melanjutkan ke perguruan tinggi umum, namun mereka tetap dibekali ilmu agama.
6.    Ditinjau dari biaya
Pesantren biasanya menerapkan spp/iuran yang dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat. Akibatnya, fasilitas penunjang pendidikan disediakan apa adanya, kecuali saat pesantren mendapat sumbangan atau bantuan, barulah beberapa fasilitas dapat dilengkapi. Sedangkan boarding school biasanya telah siap dengan berbagai fasilitas. Oleh sebab itu ia diminati oleh orang-orang yang mampu meskipun dengan iuran atau spp yang tinggi.


Ruhul Ma’had Antara Pesantren dan Boarding School
Pesantren di Indonesia sedikitnya mempunyai lima ciri khas yang kemudian disebut dengan  Panca Jiwa Pesantren (Ruhul Ma’had), yaitu keikhlasan (al-ikhlas), kesederhanaan (al-bisathoh), kemandirian (Al-i’timad ‘alan Nafs), ketaatan (at-Tho’ah), dan persaudaraan (ukhuwah). Lima ruhul ma’had (panca jiwa pesantren) inilah yang menghiasi seluruh komunitas dalam pesantren, mulai dari kyai, guru hingga para santrinya.
1. Al-Ikhlas (Keikhlasan)
Seluruh proses pendidikan di lingkungan pesantren harus dilakukan dengan penuh keikhlasan. Karena keikhlasan adalah energi dalam melakukan sebuah amal. Oleh sebab itu, meski dengan fasilitas yang sederhana, namun proses pendidikan di pesantren dilaksanakan dengan penuh semangat, karena dilandasi dengan keikhlasan.
Keikhlasan juga menjadi barometer berkahnya ilmu yang diajarkan kepada para santri. “Berkah” adalah kebaikan yang terus bertambah. Ilmu yang berkah adalah ilmu yang terus mendatangkan kebaikan kepada penuntutnya. Oleh sebab itu, perubahan sikkap yang terjadi pada diri santri saat sebelum menyantren dan setelah menyantren sehingga terus membaik adalah buah dari keikhlasan. Oleh sebab itu pula, mengapa antara santri dan pelajar di luar berbeda outputnya dalam sikap dan akhlak? Mungkin karena jiwa keikhlasan itu menjadi jiwa keseharian.
Hampir seluruh pesantren dan boarding school pasti memiliki jiwa keikhlasan. Hanya saja mungkin kadarnya berbeda-beda. Keikhlasan suatu pesantren atau boarding school dapat diukur dari orientasinya. Apakah orientasi hanya dunia? Atau akhirat?...Ada sebagian pesantren dibangun dari dana investor dengan perjanjian deviden tertentu bagi investornya. Jika hal ini tidak diniatkan untuk investasi akhirat, maka boleh jadi akan mengurangi rasa keikhlasan kecuali dibarengi dengan muhasabah (evaluasi diri) dan riyadhoh al-nafs (olah jiwa).

2. Al-Bisathoh (Kederhanaa)
Kesederhanaan harus menjadi ciri utama pesantren. Kesederhanaan bukan berarti kurangnya fasilitas. Akan tetapi para santri diajarkan hidup sederhana, dan kyai serta para guru memberikan contoh hidup sederhana. Sederhana dalam sikap, dalam berpakaian, dalam kebutuhan. Uang saku tidak boleh melebihi batas kecukupan, karena berlebihan dalam uang saku akan mendidik anak hidup glamor dan hedonis. Disipilin kesederhanaan ini akan menghilangkan gap antara santri kaya dan santri kurang mampu. Ada santri dalam sebuah pesantren minta berhenti kepada orang tuanya, karena santri itu tahu diri, bahwa ayahnya adalah dari kalangan menengah ke bawah, sedangkan teman-temannya mempunyai orang tua dari kalangan orang kaya. Dia melihat, jika teman-temannya berangkat ke sebuah mini market, begitu banyaknya yang ia beli. Sehingga santri itu berkata kepada ayahnya, “Pak, pesantren ini tidak pantas untuk kita, aku minta pindah saja.”

3. Al-I’timad ‘alan-Nafs (Kemandirian)
Kemandirian jelas sangat terlihat di kehidupan pesantren. Para santri hidup jauh dari orang tuanya. Akan tetapi bukan hanya itu mendidik kemandirian. Para santri juga diberi tugas membersihkan kamar, kelas dan asramanya dengan sendirinya. Membersihkan piring dan meletakkannya pada tempatnya setelah digunakan. Bahkan membersihkan sudut-sudut pesantren. Hal itu dilakukan setiap hari agar menjadi pembiasaan. Sehingga kelak di kemudian hari mereka terbiasa melakukan aktifitas itu. Pesantren bukanlah hotel atau motel yang kebersihan dan kerapian kamar, kelas, kamar mandi, halaman harus dikerjakan oleh prtugas cleaning service. Para santrilah yang menjadi cleaning-service. Beberapa pesantren atau boarding school yang dengan spp atau iurannya tinggi menyajikan layanan kebersihan dengan memperkerjakan petugas cleaning service, sehingga santri tidak mendapat pendidikan kemandirian, terutama dalam mengurus kebutuhannya sendiri. Bahkan pada pesantren tradisional, para santri dituntut untuk masak sendiri, mencuci dan menyetrika baju sendiri bahkan mencari rezeki sendiri untuk menghidupi dirinya sendiri. Meski beberapa item ini sudah dihilangkan akibat sistem pesantren modern, namun pembiasaan kemandirian tidak boleh dihilangkan sama sekali.
Santri yang dibiasakan setiap harinya dengan aktifitas peduli pada lingkungannya, akan terlihat saat mereka liburan di rumahnya. Mereka tidak manja dan selalu membantu orang tuanya dalam membersihkan rumah dan lingkungannya. Kemandirian berekenomi juga perlu diajarkan kepada santri, baik dengan magang di koperasi atau berjualan di lingkungan pesantren tanpa harus menganggu pelajaran.

4. At-Tho’ah (ketaatan),
Sikap patuh santri pada guru dan kyai harus menjadi ciri utama sebuah pesantren. Kepatuhan akan hadir jika kyai dan guru memberikan keteladanan kepada para santri. Sebab ketataatan itu akan timbul jika adanya tsiqoh (trust) kepada yang orang yang ditaati. Dan tsiqoh (trust) akan lahir jika kita memberikan keteladanan (uswah). Sebagai contoh, jika santrinya diwajibkan shalat berjamaah, maka kyai dan semua gurunya melaksanakan shalat berjamaah. Sedangkan pelajaran atau kitab tentang akhlak murid kepada gurunya hanyalah penguat saja timbulnya ketaatan murid kepada gurunya. Faktor utamanya adalah keteladanan. Selain itu, para santri pun perlu diajarkan tentang pentingnya ilmu dan kedudukan orang yang berilmu. Sehingga mereka tidak menyikapi para guru seperti orang gajian yang digaji oleh orang tua mereka. Akibatnya sikap hormat mereka kepada guru menjadi kurang. Di samping itu, guru pun jangan bersikap pilih kasih terhadap anak didiknya, apalagi hanya memperhatikan anak orang kaya saja. Hal ini akan menimbulkan sikap kurang penghormatan, baik dari si anak tersebut maupun anak-anak lainnya.

5. Ukhuwah (persaudaraan)
Suasana persaudaraan nampak dalam kehidupan santri. Mereka tidur bersama, makan bersama, belajar bersama, membersihkan tempat bersama. Bahkan mereka menganggap kyai dan guru seperti orang tua mereka sendiri. Tahapan ukhuwah sudah terbentuk dengan sendirinya, mulai dari taaruf (saling mengenal), tafahum (saling memahami), taawun (saling tolong menolong) dan takaful (saling sepenanggungan) serta talahum (seperti sedarah sedaging). Sikap ini diharapkan akan menjadi karakter mereka selamanya. Bukan hanya pada saat di pesantren saja, namun juga ketika mereka sudah terjun di masyarakat.

Penutup
Baik pesantren maupun boarding school, jika kita setuju membedakan keduanya, keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan. Alangkah baiknya jika pesantren dapat melengkapi dengan sesuatu yang positif yang terdapat pada boarding school. Demikian juga boarding shool melengkapi dengan sesuatu yang positif yang terdapat pada pesantren. Jika titik ini bertemu, maka Pesantren adalah Boarding School, dan Boarding School adalah Pesantren. Wallahu a’lam.
Rumpin, 18 Maret 2015