Rabu, 18 Maret 2015

Pesantren, Boarding School dan Ruhul Ma’had



Oleh: Muhammad Jamhuri

Suatu kali, saya pernah bertemu dengan salah kepala madrasah yang berada dalam naungan suatu pesantren dalam suatu urusan akreditasi madrasah. Sekolah yang dia pimpin sudah lama berdiri. Karena nama sekolahnya pernah saya dengar bahkan sebelum saya menempuh kuliah dahulu. Setelah berkenalan, saya bertanya, “Ustadz, madrasahnya sudah berapa kali diakreditasi?”, “kalau madrasah saya baru kali ini, karena baru berdir empat tahun lalu.” Tambah saya. Ustadz itu menjawab, “Baru pertama kali juga, ya sekarang ini”. Saya agak heran dan bertanya, “Ustadz, bukankah sekolah ustadz ini sudah lama beridiri? Kok, baru pertama ini diakreditasi?” Dia menjawab, “Sebenarnya sudah berkali-kali diakreditasi, namun sebagai madrasah, baru kali pertama ini diproses akreditasi.” Saya tambah heran lagi. Lalu Dia menjelaskan. “Dulu sekolah kami adalah SMP yang berada dibawah binaan kemendiknas, nah saat statusnya SMP, sekolah kami sudah lama berdiri dan sudah diakreditasi berkali-kali. Namun  sekarang kami ubah menjadi MTs (Madrsah Tsanawiyah). Oleh sebab itu, baru kali ini akreditasinya diproses.”
Saya tambah merasa heran, karena bukankah banyak orang dan wali murid yang gandrung kepada SMP dari pada MTs? Mereka lebih bangga memasukkan anaknya ke SMP daripada MTs (madarsah)?. Teman saya itu menjelaskan, “Setelah kami jalani, ternyata status sekolah juga membentuk karakter anak. Nama SMP membentuk karakter dan sikap anak, dari sebutannya saja mereka disebut “anak SMP”. Berbeda saat sekolah kami diubah menjadi madrasah, sebutan untuk mereka sekarang adalah “anak madrasah”. Tanpa menjelaskan lebih rinci, saya sudah mafhum maksud dari penjelasannya. Kabarnya SMA yang ada di pesantren teman saya itu sedang proses embrio menjadi MA (Madrasah Aliyah).
Anda mungkin bisa tidak setuju dengan kesimpulan di atas. Bukankah tergantung kyai, atau kepala sekolah dan gurunya dalam membentuk karakter anak dari pada sekedar nama Sekolah atau Madrasah? Tapi itulah fenomena yang dialami pesantren teman saya itu. Dia me-reformasi “Sekolah” menjadi “Madrasah” karena menurut pengasuhnya hal itu penting.
Dalam suatu kunjungan ke sebuah lembaga sosial (Charity), saya bertemu dengan salah seorang pimpinan lembaga Charity yang banyak berkeliling ke pesantren-pesantren dalam misi memberi bantuan dan kerja-sama. Dalam diskusi ringan, dia bercerita, bahwa kini sering ditemukan guru-guru (asatidz) di sebagian pesantren mengeluh kepada beliau. Pasalnya, bayaran atau spp yang dikenakan kepada santri begitu tinggi (baca: mahal), namun kesejahteraan yang diterima asatidz tidak sebanding dengan spp tersebut. Lebih ironi lagi, kepuasan batin pun tidak didapatkan oleh para asatidz tersebut. Pasalnya, anak-anak santri dirasa kurang menghormati asatidz-nya. Mungkin –menurut teman saya itu- si santri menyikapi guru seperti orang gajian yang diberi gaji oleh orang tua mereka. Mereka juga tidak mendapatkan asupan tentang pentingnya menghormati guru.
Dua kenyataan di atas itulah yang mendorong saya membuat tulisan ini.


Adakah Perbedaan Antara Pesantren dan Boarding School?
Seringkali “pondok pesantren” diartikan dalam bahasa inggris dengan “Boarding School”, atau dalam bahasa Arabnya “Ma’had Islamy”. Untuk sementara memang kata itulah yang cocok untuk terjemah kata “pondok pesantren”. Namun kata “pesantren’ dalam kontek ke-Indonesiaan memiliki ciri khas yang unik dari sekedar “Boarding School” dan “Ma’had Islamy”.
Namun dengan dua alasan fenomena di atas, saya dapat bedakan antara pesantren dan boarding school. Perbedaan ini ada jika memang yang akan saya sebutkan itu ada. Namun jika tidak ada, maka antara pesantren dan boarding school itu sama saja.
.
1.    Ditinjau dari pendirian
Pesantren lebih sering dibangun dari modal nol, lalu sedikit demi sedikit membangun satu kobong atau satu ruang, kemudian berkembang hingga memiliki banyak gedung dan ruang. Sedangkan boarding school dibangun dengan secara sekaligus memiliki banyak gedung, bahkan sebagian gedungnya pun mewah-mewah, fasilitas pun lengkap
2.    Ditinjau dari pendiri
Pesantren biasanya didirikan oleh perorangan, bahkan langsung oleh sang kyainya, atau keluarga besar kyainya atau dengan beberpa temannya dengan idealismenya. Sedangkan boarding school biasanya dibangun oleh suatu lembaga, baik berupa lembaga charity, yayasan, pemerintah atau beberapa pengusaha atau investor
3.    Ditinjau dari pimpinannya
Pesantren biasanya dipimpin oleh seorang kyai yang gelarnya secara alami diperoleh karena kepercayaan dari masyarakat. Sedangkan boarding school dipimpin oleh seseorang yang diangkat oleh lembaga, yayasan, sekumpulan para pendiri atau para investor.
4.    Ditinjau dari kurikulum
Kurikulum pesantren biasanya berbasis kitab-kitab kuning dan kitab berbahasa Arab. Kalau pun bermetafora dengan sistem modern dengan mangadopsi kurikulum pemerintah, namun ciri khas kitab berbahasa Arab tetap dominan, atau minimal sama dengan muatan kurikulum pemerintah. Sedangkan boarding school lebih dominan menggunakan kurikulum pemerintah. Bahkan sebagian boarding school lebih dominan kurikulum materi umum dari pada materi agama.
5.    Ditinjau dari Orientasi Output
Pesantren biasanya berorientasi melahirkan para ulama dan orang yang memberi pencerahan kepada umat, meskipun kini output mereka banyak yang dapat melanjutkan di perguruan tinggi. Sedangkan boarding school lebih berorientasi kepada output yang dapat bersaing di bidang sains dan dapat melanjutkan ke perguruan tinggi umum, namun mereka tetap dibekali ilmu agama.
6.    Ditinjau dari biaya
Pesantren biasanya menerapkan spp/iuran yang dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat. Akibatnya, fasilitas penunjang pendidikan disediakan apa adanya, kecuali saat pesantren mendapat sumbangan atau bantuan, barulah beberapa fasilitas dapat dilengkapi. Sedangkan boarding school biasanya telah siap dengan berbagai fasilitas. Oleh sebab itu ia diminati oleh orang-orang yang mampu meskipun dengan iuran atau spp yang tinggi.


Ruhul Ma’had Antara Pesantren dan Boarding School
Pesantren di Indonesia sedikitnya mempunyai lima ciri khas yang kemudian disebut dengan  Panca Jiwa Pesantren (Ruhul Ma’had), yaitu keikhlasan (al-ikhlas), kesederhanaan (al-bisathoh), kemandirian (Al-i’timad ‘alan Nafs), ketaatan (at-Tho’ah), dan persaudaraan (ukhuwah). Lima ruhul ma’had (panca jiwa pesantren) inilah yang menghiasi seluruh komunitas dalam pesantren, mulai dari kyai, guru hingga para santrinya.
1. Al-Ikhlas (Keikhlasan)
Seluruh proses pendidikan di lingkungan pesantren harus dilakukan dengan penuh keikhlasan. Karena keikhlasan adalah energi dalam melakukan sebuah amal. Oleh sebab itu, meski dengan fasilitas yang sederhana, namun proses pendidikan di pesantren dilaksanakan dengan penuh semangat, karena dilandasi dengan keikhlasan.
Keikhlasan juga menjadi barometer berkahnya ilmu yang diajarkan kepada para santri. “Berkah” adalah kebaikan yang terus bertambah. Ilmu yang berkah adalah ilmu yang terus mendatangkan kebaikan kepada penuntutnya. Oleh sebab itu, perubahan sikkap yang terjadi pada diri santri saat sebelum menyantren dan setelah menyantren sehingga terus membaik adalah buah dari keikhlasan. Oleh sebab itu pula, mengapa antara santri dan pelajar di luar berbeda outputnya dalam sikap dan akhlak? Mungkin karena jiwa keikhlasan itu menjadi jiwa keseharian.
Hampir seluruh pesantren dan boarding school pasti memiliki jiwa keikhlasan. Hanya saja mungkin kadarnya berbeda-beda. Keikhlasan suatu pesantren atau boarding school dapat diukur dari orientasinya. Apakah orientasi hanya dunia? Atau akhirat?...Ada sebagian pesantren dibangun dari dana investor dengan perjanjian deviden tertentu bagi investornya. Jika hal ini tidak diniatkan untuk investasi akhirat, maka boleh jadi akan mengurangi rasa keikhlasan kecuali dibarengi dengan muhasabah (evaluasi diri) dan riyadhoh al-nafs (olah jiwa).

2. Al-Bisathoh (Kederhanaa)
Kesederhanaan harus menjadi ciri utama pesantren. Kesederhanaan bukan berarti kurangnya fasilitas. Akan tetapi para santri diajarkan hidup sederhana, dan kyai serta para guru memberikan contoh hidup sederhana. Sederhana dalam sikap, dalam berpakaian, dalam kebutuhan. Uang saku tidak boleh melebihi batas kecukupan, karena berlebihan dalam uang saku akan mendidik anak hidup glamor dan hedonis. Disipilin kesederhanaan ini akan menghilangkan gap antara santri kaya dan santri kurang mampu. Ada santri dalam sebuah pesantren minta berhenti kepada orang tuanya, karena santri itu tahu diri, bahwa ayahnya adalah dari kalangan menengah ke bawah, sedangkan teman-temannya mempunyai orang tua dari kalangan orang kaya. Dia melihat, jika teman-temannya berangkat ke sebuah mini market, begitu banyaknya yang ia beli. Sehingga santri itu berkata kepada ayahnya, “Pak, pesantren ini tidak pantas untuk kita, aku minta pindah saja.”

3. Al-I’timad ‘alan-Nafs (Kemandirian)
Kemandirian jelas sangat terlihat di kehidupan pesantren. Para santri hidup jauh dari orang tuanya. Akan tetapi bukan hanya itu mendidik kemandirian. Para santri juga diberi tugas membersihkan kamar, kelas dan asramanya dengan sendirinya. Membersihkan piring dan meletakkannya pada tempatnya setelah digunakan. Bahkan membersihkan sudut-sudut pesantren. Hal itu dilakukan setiap hari agar menjadi pembiasaan. Sehingga kelak di kemudian hari mereka terbiasa melakukan aktifitas itu. Pesantren bukanlah hotel atau motel yang kebersihan dan kerapian kamar, kelas, kamar mandi, halaman harus dikerjakan oleh prtugas cleaning service. Para santrilah yang menjadi cleaning-service. Beberapa pesantren atau boarding school yang dengan spp atau iurannya tinggi menyajikan layanan kebersihan dengan memperkerjakan petugas cleaning service, sehingga santri tidak mendapat pendidikan kemandirian, terutama dalam mengurus kebutuhannya sendiri. Bahkan pada pesantren tradisional, para santri dituntut untuk masak sendiri, mencuci dan menyetrika baju sendiri bahkan mencari rezeki sendiri untuk menghidupi dirinya sendiri. Meski beberapa item ini sudah dihilangkan akibat sistem pesantren modern, namun pembiasaan kemandirian tidak boleh dihilangkan sama sekali.
Santri yang dibiasakan setiap harinya dengan aktifitas peduli pada lingkungannya, akan terlihat saat mereka liburan di rumahnya. Mereka tidak manja dan selalu membantu orang tuanya dalam membersihkan rumah dan lingkungannya. Kemandirian berekenomi juga perlu diajarkan kepada santri, baik dengan magang di koperasi atau berjualan di lingkungan pesantren tanpa harus menganggu pelajaran.

4. At-Tho’ah (ketaatan),
Sikap patuh santri pada guru dan kyai harus menjadi ciri utama sebuah pesantren. Kepatuhan akan hadir jika kyai dan guru memberikan keteladanan kepada para santri. Sebab ketataatan itu akan timbul jika adanya tsiqoh (trust) kepada yang orang yang ditaati. Dan tsiqoh (trust) akan lahir jika kita memberikan keteladanan (uswah). Sebagai contoh, jika santrinya diwajibkan shalat berjamaah, maka kyai dan semua gurunya melaksanakan shalat berjamaah. Sedangkan pelajaran atau kitab tentang akhlak murid kepada gurunya hanyalah penguat saja timbulnya ketaatan murid kepada gurunya. Faktor utamanya adalah keteladanan. Selain itu, para santri pun perlu diajarkan tentang pentingnya ilmu dan kedudukan orang yang berilmu. Sehingga mereka tidak menyikapi para guru seperti orang gajian yang digaji oleh orang tua mereka. Akibatnya sikap hormat mereka kepada guru menjadi kurang. Di samping itu, guru pun jangan bersikap pilih kasih terhadap anak didiknya, apalagi hanya memperhatikan anak orang kaya saja. Hal ini akan menimbulkan sikap kurang penghormatan, baik dari si anak tersebut maupun anak-anak lainnya.

5. Ukhuwah (persaudaraan)
Suasana persaudaraan nampak dalam kehidupan santri. Mereka tidur bersama, makan bersama, belajar bersama, membersihkan tempat bersama. Bahkan mereka menganggap kyai dan guru seperti orang tua mereka sendiri. Tahapan ukhuwah sudah terbentuk dengan sendirinya, mulai dari taaruf (saling mengenal), tafahum (saling memahami), taawun (saling tolong menolong) dan takaful (saling sepenanggungan) serta talahum (seperti sedarah sedaging). Sikap ini diharapkan akan menjadi karakter mereka selamanya. Bukan hanya pada saat di pesantren saja, namun juga ketika mereka sudah terjun di masyarakat.

Penutup
Baik pesantren maupun boarding school, jika kita setuju membedakan keduanya, keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan. Alangkah baiknya jika pesantren dapat melengkapi dengan sesuatu yang positif yang terdapat pada boarding school. Demikian juga boarding shool melengkapi dengan sesuatu yang positif yang terdapat pada pesantren. Jika titik ini bertemu, maka Pesantren adalah Boarding School, dan Boarding School adalah Pesantren. Wallahu a’lam.
Rumpin, 18 Maret 2015




Tidak ada komentar: