Kamis, 13 April 2023

Ramadhan dan Optimisme Dunia Menuju Kehidupan yang Islami

Umat Islam AS shalat taraweh di Time Square New York
Seorang jamaah dalam sebuah pengajian bertanya kepada seorang ustadz, "Pak Ustadz, apa yang dimaksud dari sebuah hadist Nabi Muhammad saw yang menyatakan,  bahwa di bulan Ramadhan, syetan-syetan dibelenggu? ". 

Sang ustadz menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan hadist itu karena di bulan Ramadhan suasana kehidupan umat Islam di mana-mana lebih religi, sehingga pemandangan kemaksiatan berkurang. Di mana-mana kesadaran umat islam meningkat tinggi dalam mengamalkan ajaran Islam. Hampir semua sektor tersentuh dengan suasana Ramadhan. Entertaitment di televisi-teleivisi berubah menjadi Islami, Toko-toko berbau maksiat tutup, sehingga sulit bagi syetan untuk menggoda manusia ke jalan kemungkaran, karena di sana-sini sudah terkunci baginya untuk menjalankan misinya. Bagaikan seseorang yang terbelenggu, tidak dapat bergerak bebas melakukan program dan tujuannya kepada manusia, kecuali di ruang-ruang yang sempit yang syetan masih dapat melakukan misinya. "Itulah makna terbelenggunya syetan." Jelas sang ustadz.

Pernyataan dan penjelasan sang ustadz di atas selain menjawab pertanyaan yang sering timbul di benak sebagaian kaum muslimin, namun juga memberi angin segar rasa optimisme bagi para aktifis dakwah,  da'i, ulama, ustadz dan umat Islam secara kesuluruhan, bahwa suasana dunia masih dapat diubah dan berubah kepada kondisi kehidupan yang Islami. Betapa wilayah Time Square di kota New York  Amerikat Serikat baru-baru ini telah menghadirkan suasana berbuka puasa bersama dan shalat taraweh yang belum ada sebelumnya dalam tiga tahun terakhir ini. Sebuah pemandangan religi dan Islami yang beritanya mendunia sehingga berdampak pada hampir seluruh penduduk dunia Demikian juga lapangan-lapangan sepakbola dan stadion dari berbagai club-club di Eropa telah nampak mengistirahatkan para pemain sepak bola nya di saat memasuki waktu maghrib demi menghormati pemain muslim berbuka puasa, kepala-kepala negara dari negara-negara non muslim besar secara terbuka menyampaikan selamat beribadah puasa kepada kaum muslimin di seluruh dunia.

Acara-acara di TV, mall-mall dan pusat perbelanjaan yang biasanya berisi hiburan semata berubah menjadi lebih religi dan islami. Di beberapa mall ada acara lomba adzan, MTQ, marawis, hadroh dan ceramah-ceramah keagamaan.

Relawan-relawan penebar kebaikan seperti pembagian ta'jil di jalan-jalan raya atau Ta'jil On The Road (TOR), di mesjid-mesjid umum serta tempat terbuka lainnya semakin marak. Saat ini jika kita berada dalam perjalanan lalu kemasukan waktu maghrib/berbuka puasa di jalan, maka tinggal mampir di masjid manapun, maka pasti masjid tersebut telah menyediakan makanan untuk ta'jil atau berbuka puasa. Belum lagi kegiatan-kegiatan itikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan kini semakin menjamur di berbagai wilayah dan propinsi, sesuatu yang belum terlihat pada dua sekade sebelumnya. 

Jiwa-jiwa kebaikan dalam hati setiap manusia kini semakin semarak di tengah bulan Ramadahan ini. Oleh sebab itu, kondisi ini adalah sebuah fakta bahwa perubahan dunia ke arah suasana berkehidupan Islami itu adalah sebuah keniscayaan.

Ramadhan memang telah memberikan optimisme kepada seluruh umat Islam, karena Ramadhan telah menyatukan seuluruh umat Islam sedunia dalam satu perasaan yang sama, suasana yang sama, kebersamaan yang, kepedulian yang sama serta tanggung jawab yang sama. Mereka bersama-sama menahan rasa lapar di siang hari, mereka bersama berbahagia saat waktu berbuka puasa tiba, mereka saling memberi ta'jil kepada saudara-saudaranya dan bahkan mereka memberi dampak positif bagi saudara-saudara mereka yang masih belum beriman.

Maka bulan Ramadahan yang di dalamnya terdapat syariat berpuasa, taraweh, itikaf dan lain sebagainya adalah sebuah nikmat hidayah yang diberikan Allah swt kepada umat Islam dan umat manusia yang wajib disyukuri. Firman Allah swt :

وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

"Hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur." (QS. Al-Baqarah: 185)

Allahu Akbar..Allahu Akbar...Allahu Akbar..Walillahil Hamd....

Muhammad Jamhuri, 23 Ramadhan 1444 H/12 April 2023 M




Rabu, 12 April 2023

Biarlah Menjadi Golongan yang Sedikit di Bulan Suci Ini

Pada suatu hari Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra merasa heran dengan seseorang yang sedang melaksanakan thawaf di Masjidil Haram. Karena orang itu dalam setiap putaran thawafnya hanya membaca satu jenis doa yang dibaca diulang-ulang. Doa itu berbunyi : Ällahumma ij'alni minal qoliiliin" (Ya Allah, jadikanlah aku termasuk golongan orang-orang yang sedikit). Usai orang itu melaksanakan thawaf, Umar  pun memanggilnya dan bertanya, "Mengapa engkau membaca hanya satu jenis doa dalam setiap putaran thawaf dengan doa  seperti engkau baca?." Orang itu menjawab, "Wahai Amirul Mukmini, bukankah Allah swt berfirman ( وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِي الشَّكُورُ ) Dan sedikit sekali dari hamba-hambaKu yang pandai bersyukur (QS.Saba: 13)? . Nah aku ingin dijadikan Allah sebagai bagian dari golongan sedikit yang pandai bersyukur itu." 

Dalam surat al-Waqiáh, Allah swt berfirman:

أُوْلَئِكَ الْمُقَرَّبُونَ . فِي جَنَّاتِ النَّعِيمِ . ثُلَّةٌ مِنْ الْأَوَّلِينَ . وَقَلِيلٌ مِنْ الْآخِرِينَ

Mereka itulah yang didekatkan kepada Allah. Berada dalam jannah kenikmatan. Segolongan besar dari orang-orang yang terdahulu, dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian. (QS. Al-Waqiah: 11-14)

Dr. Muhammad Sulaiman Al Asyqar mengungkap salah satu pendapat ulama, bahwa yang dimaksud dengan golongan yang besar adalah orang-orang terdahulu dari umat Nabi Muhammad, sedangkan golongan yang kecil adalah generasi setelah mereka.

Dari pendapat ini, maka bisa dipahami bahwa generasi akhir dari umat Muhammad saw lebih sedikit yang masuk surga dibanding dengan generasi awal dari umat ini. Hal ini juga didukung oleh hadist Nabi saw yang menyebutkan bahwa ;

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ

“Sebaik-baik manusia ialah pada generasiku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 3651, dan Muslim, no. 2533)

Salah satu tanda bukti akan sinyalemen di atas adalah fenomena bulan Ramadhan yang kita hadapi saat ini. Betapa menjelang akhir Ramadahan, justru semakin sedikit dari umat ini yang berada di Masjid. Padahal pada saat awal Ramadhan tiba, jamaah shalat taraweh saja sudah membludak, bahkan shaf-shaf jamaah padat hingga ke luar area masjid. Namun di akhir Ramdahan yang  berisi " daging" semua,  justru masjid-masjid semakin sepi ditinggal jamaahnya. Dan kepadatan manusia justru beralih dari masjid-masjid ke mall-mall, pasar, pusat berbelanjaan dan terminal-terminal.

Untuk apa kepadatan manusia berpindah dari masjid ke pasar dan mall-mall? untuk memperjuangkan eksistensi diri pada hari raya idul fitri nanti. Padahal jika dibanding keutamaan pahala yang terdapat di 10 terakhir Ramadhan ini dengan satu hari di hari raya Idul fitri maka pahala yang disediakan di 10 terakhir Ramadhan lebih banyak berlipat-lipat kali dibanding di hari Raya Idul fitri.

Memang sebagian manusia masih berpikir seperti anak-anak kecil yang masih sekolah. Saat menghadapi ujian akhir tahun, mereka malah lebih konsentrasi memikirkan rencana liburan sekolah dari pada memikirkan ujian yang sedang mereka hadapi saat ini. Padahal suksesnya melewati ujian maka akan sukses pula dalam melanjutkan tahapan pendidikannya. Atau seperti bodohnya orang yang bertanding dalam lomba lari marathon, semakin dekat dengan garis finish, malah  memperlambat kecepatan lari mareka, 

Biarlah kita menjadi golongan-golongan orang sedikit di bulan suci ini, karena Allah swt akan memilih yang terbaik dari hamba-hambaNya. Teruslah istiqomah dalam keakraban dengan Allah di sisa-sisa Ramadhan nan syahdu ini, biarkan mereka berjibaku dengan kesibukan dunia dan kebisingan kendaraan serta suara hiruk-pikuk pasar. Mudah-mudahan ibadah kita diterima Allah swt dan kesibukan mereka dimaklumi Allah swt dengan segala niatnya. 

Muhammad Jamhuri, 21 Ramadhan 1444 H/ 12 April 2023 M








Selasa, 11 April 2023

Ibadah Sosial Lebih Utama Dari Ibadah Individual, Agar Sifat ZhahirNya Allah Dirasakan Semua Makhluk

Allah swt tidak membiarkan  ibadah individual yang dilakukan hambaNya kecuali menuntut setelahnya melakukan ibadah sosial. Allah tidak memerintahkan shalat, kecuali setelahnya ada perintah zakat. Allah pun tidak membiarkan hambaNya melaksanakan ibadah puasa, kecuali harus ditutup dengan ibadah zakat fitrah. Shalat dan puasa adalah bentuk ibadah individual, sedangkan zakat adalah bentuk ibadah sosial.

Mengapa demikian? Karena Allah swt adalah ghaib (tidak nampak dengan kasat mata) sehingga salah satu sifat Allah adalah Al-Bathin (Maha Tak Nampak). Namun Allah juga memiliki sifat  yang salah satu asmaul husnaNya adalah Al-Zhahir (Yang Maha Nampak). Sebagaimana firman Allah swt :

هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآخِرُ وَالظَّاهِرُ وَالْبَاطِنُ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

 Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Hadid: 3)

Para ulama menyatakan bahwa yang dimaksud  Yang Zhahir ialah, Yang nyata adanya karena banyak bukti- buktinya. Bukti di sini bukan hanya langit, bumi, planet, laut, sungai dan segala alam yang kita lihat saja. Namun juga bagaimana sifat-sifat baik (asmaul husna) Allah itu dapat dirasakan secara inderawi oleh semua makhluk Allah melalui para khalifahNya di atas muka bumi ini. Siapakah para khalifahNya itu? tidak lain adalah kita sebagai manusia.

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi (QS. Al-Baqarah: 30)

Para ulama tafsir bersepakat bahwa yang dimaksud dengan kata khalifah dalam ayat itu adalah manusia, yakni Nabi Adam as.

Maka, agar makhluk-makhluk Allah swt, termasuk manusia, hewan dan lainnya, mengenal sifat-sifat Allah yang baik itu, maka Allah memperkenalkan sebagian kecil sifat-sifatnya melalui para khalifahNya denga tindakan-tindakan zhahir yang mengejewantahkan sebagian kecil dari sifat-sifat Allah yang baik itu, agar makhluk lain, termasuk manusia, mengenal siapa itu Allah. Maka perlu ada tindakan "zhahir" agar para makhluk mengenal Allah.

Oleh sebab itu, ketika seseorang melakukan kebaikan kepada makhluk lainnya -baik kepada manusia, hewan dan lainnya - maka hal itu pahalanya dianggap lebih utama di sisi Allah dari pada ibadah individual. Karena ia sedang mengejewantahkan dan memperkenalkan salah satu atau beberapa sifat baik Allah swt kepada pihak lain, diantaranya sifat rahman dan rahimnya Allah.

Sebagai contoh, kisah ulama bernama Ibnu Mubarok yang mendahulukan membantu seorang ibu miskin yang memiliki anak-anaknya yang sudah yatim karena dia ditinggal wafat suaminya, sehingga tidak memiliki makanan di rumahnya, sang ibu memungut dan memasak daging hewan sang sudah menjadi bangkai. Ketika Ibnu Mubarok bertanya, "Bukankah daging bangkai itu haram? mengapa kau memasak dan memberikannya untuk anak-anakmu?". Sang ibu menjawab, "Ini haram buat Tuan, tapi halal buat kami." Ketika ditanya, "Mengapa bisa begitu?." Sang Ibu Menjawab Karena kami sudah tiga hari belum makan sehingga hidup kami dalam keadaan darurat, . Bukankah daging bangkai menjadi halal dimakan jika dalam keadaan darurat?. Ibnu Mubarok yang saat itu sedang dalam perjalanan menuju ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji yang ke sekian kalinya bersama kafilah haji lainnya, langsung bersedih dan menyerahkan semua sisa perbekalan hajinya kepada wanita tersebut sehingga beliau tidak jadi berangkat ke Mekkah. Namun di akhir kisah itu, Ibnu Mubarok justru bermimpi bertemu dengan Rasululllah saw dan dikabarinnya bahwa ibadah hajinya yang tidak jadi dilaksanakan itu telah dibadalkan (digantikan) oleh malaikat Allah swt karena kebaikan pada wanita miskin itu. Ini menujukkan bahwa ibadah sosial lebih utama dari ibadah individual.

Demikian juga dengan kisah Alqomah yang tidak memperdulikan panggilan ibunya karena sibuk dengan ibadah individualnya berupa shkat sunnah yang kisahnya berakhir pada kesulitan Alqomah saat sakratul maut pun menjadi contoh betapa kepedulian dan ibadah sosial lebih penting dari pada ibadah individual.

Contoh lain adalah kisah  seorang wanita penzina yang teleh memberi pertolongan kepada seeokor anjing yang sedang kehausan dan berada di samping sebuah sumur. Anjing itu tidak dapat menjangkau air sumur karena kedalamannya, sang wanita itu lalu dengan menanggalkan salah satu sepatunya untuk mengambill air dari dalam sumur tadi agar dapat diberikan kepada seekor anjing yang sedang kehausan itu, Atas perbuatan sosial baiknya itu Allah pun memasukkan wanita tersebut ke dalam surga.

Dari kisah-kisah di atas kita menjadi tahu, bahwa betapa kepedulian kepada sesama makhluk, bahkan kepada anjing sekalipun, dapat menandingi tumpukan kesalahan dan dosanya sebagai penzina sehingga dimasukkannya ke dalam surga. 

Sebaliknya, ada pula kisah seorang wanita yang dimasukkan ke dalam neraka, hanya karena mengurung seekor kucing, dia tidak memberinya makanan dan minuman serta tidak membiarkannya kucing di luar kurungan sehingga kucing itu dapat mencari makanan dan kebutuhannya sendiri.(al-Hadist)

Semua kisah-kisah di atas, menunjukkan bahwa agar sifat  Allah yang Az-Zhahir  dapat dirasakan secara "zhahir" (nyata) melalui makhlukNya berupa manusia.  Maka kita sebagai hamba Allah yang mukmin diperintahkan untuk berbuat baik kepada sesama makhluk Allah agar menjadi bukti adanya Allah swt. 

Itulah sebabnya, setiap kali ada perintah mendirikan shalat, Allah menyandingkannya dengan perintah berzakat:

 وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ

Dan dirikan shalat dan tunaikanlah zakat

Puasa juga mengajarkan kepada kita bagaimana rasa lapar yang dirasakan kaum dhuafa, hingga timbul rasa solidaritas dan kepedulian sosial kita.

Hal ini ditegaskan agar kita tidak merasa puas hanya dengan ibadah  individual semata, tanpa ada pengaruh dalam hubungan sosial dan melupakan ibadah sosial (berhubungan dan berbuat baik kepada sesama makhluk Allah). Karena kebaikan Allah dengan sifat-sifat baikNya (asamaul husna) harus dikenal semua makhluk melalui duta-duta kebaikanNya di muka bumi. Dan kita-lah seharusnya yang m menjadi duta-duta Allah dalam mengenalkan sifat-sifat Rahman dan Rahim Allah kepada semua makhluk Allah swt,, dengan sikap dan akhlak sosial kita.

Muhammad Jamhuri 20 Ramadahan 1444 H/ 11 April 2023 M



Minggu, 09 April 2023

Puasa Sebagai Sarana Meraih Husnul Khotimah

Bencana gempa bumi yang baru-baru ini menimpa daerah Cianjur, kemudian disusul dengan bencana yang sama di negara Turki, mengkorfirmasi kepada kita bahwa ratusan bahkan ribuan jiwa telah melayang dalam waktu yang singkat, baik karena tertimbun bangunan maupun yang tidak diselamatkan saat tiba rumah sakit.

Peristiwa ini, dan peristiwa lainnya mengingatkan kepada kita bahwa kematian dan ajal akan datang kapan saja. Kematian hanya satu, sedangkan sebab bisa bermacam-macam. (الموت واحد و تعددت الأسباب). Ada yang wafat karena kecelakaan di jalan, ada pula yang wafat karena jatuh disebabkan darah tinggi, stroke atau lain sebagainya. 

Apa pun jenis sebab kematian itu, yang terpenting bagi seorang muslim adalah saat wafat berada dalam keadaan husnul khotimah (kesudahan yang baik). Salah satu sarana terpenting agar wafat dalam keadaan husnul khotimah adalah puasa. Sebab jika seseorang sedang kondisi berpuasa kemudian ia wafat, maka ia wafat keadaan sedang beribadah kepada Allah swt. Oleh sebab itu, puasa adalah satu-satunya jenis ibadah yang meskipun kita dalam keadaan tidur atau fisik kita sedang non aktif, maka tidur kita tetap bernilai ibadah. Sebagaimana sabda Rasulullah saw:

  نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ وَذَنْبُهُ مَغْفُوْرٌ

“Tidurnya orang puasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, amal ibadahnya dilipatgandakan, doanya dikabulkan, dan dosanya diampuni” (HR Baihaqi).

Tentu saja bukan tidurnya yang ibadah, namun karena kondisi orang tidur itu dalam keadaan berpuasa, maka meskipun fisiknya sedang non aktif atau dalam kondisi tidur, maka tetap orang itu sedang dalam kondisi melaksanakan ibadah, yakni puasa.

Alangkah indahnya jika seseorang ditakdirkan dalam kondisi beribadah puasa lalu ia harus menemui ajalnya, baik karena musibah gempa bumi, kecelakaan kendaraan, atau dalam kondisi wafat mendadak.

Ketika Rasulullah saw ditanya alasan mengapa beliau  sering melaksanakan ibadah puassa di hari Senin dan Kamis, maka beliau memberi jawaban, bahwa kedua hari itu adalah hari dilaporkannya amal seorang hamba, dan Nabi saw menyukai jika saat dilaporkan, kondisi beliau dalam keadaan sedang beribadah. 

 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُعْرَضُ الْأَعْمَالُ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ

Artinya: Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah bersabda, seluruh amal hamba itu dilaporkan di hadapan Allah pada hari Senin dan hari Kamis. Aku senang sekali jika amalku diperlihatkan di saat aku sedang berpuasa. (HR Turmudzi dan lainnya)

Di sini semakin jelas, bahwa ibadah puasa itu adalah ibadah yang dapat dilakukan sambil melakukan aktifitas lain sepanjang hari. Berbeda dengan ibadah shalat misalnya, yang dibatasi hanya oleh aktifitas antara takbirotul  ihram hingga salam saja.

Jika dalam kondisi hidup saja, saat amal manusia dilaporkan dalam kondisi ibadah puasa itu disukai, tentu saja manusia akan lebih bahagia lagi jika saat wafat tiba, diri dalam kondisi sedang beribadah , yakni puasa. Maka ibadah puasa dapat dikatakan menjadi sarana seseorang mendapat husnul khotimah (kesudahan hidup yang baik).

Cara lainnya untuk menadapat husnul khotimah adalah menjaga wudhu. Seseorang yang diwafatkan Allah swt dalam kondisi dia sedang suci (tidak memiliki hadas), maka dia dalam kondisi sedang dicintai Allah swt. Berdasarkan firman Allah swt :

 إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ

Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri. (QS. Al=Baqarah: 222)

Oleh sebab itu, menjaga wudhu atau menjaga kesucian adalah satu amalan yang sering dilakukan oleh orang-orang sholeh

Di kondisi saat ini - yang menurut sebagian orang sebagai hidup di akhir zaman, dimana salah satu tandanya adalah banyaknya fenomena orang mati mendadak, maka amalan berpuasa (baik yang bersifat wajib maupun sunah) serta rajin menjaga kesucian (berwudhu),  adalah sangat penting kita amalkan, agar kita dapat mencapai akhir hidup dalam kondisi terbaik (husnul khotimah)

Hadits Anas bin Malik menyebutkan, Nabi Muhammad SAW bersabda:

عن أنس بن مالك رضي الله عنه أن النبي -صلى الله عليه وسلم- قال : إن من أمارات الساعة أن يظهر موت الفجأة

"Salah satu tanda akhir zaman adalah munculnya kematian secara mendadak." (HR Ath-Thabrani)

Semoga Allah swt memberi kita karunia husnul khotimah. Aamiin

Muhammad Jamhuri, 18 Ramadhan 1444 H/ 9 April 2023 M


Jumat, 07 April 2023

Muzakki Bermental Mustahik

Beberapa waktu lalu kita mendengar berita seorang pejabat yang cukup memiliki kekayaan, dia setiap bulannya mendapat BLT (Bantuan Langsung Tunai). Padahal BLT dirancang pemerintah untuk membantu rakyat yang berpenghasilan kecil bahkan tidak cukup untuk kebutuhan sehari-harinya. 

Jika pejabat yang kaya raya itu mendapat jatah BLT, maka penyaluran BLT telah salah sasaran. Karena mestinya BLT disalurkan kepada rakyat kecil, bukan kepada pejabat yang sudah kaya raya. Kalau dalam Islam, khususnya dalam bab tentang zakat, maka pejabat yang sudah kaya raya itu statusnya adalah seperti muzakki (orang yang terkena kewajiban mengeluarkan zakat). Akan tetapi karena bermental mustahik (merasa pihak yang berhak menerima jatah zakat), maka ia juga ingin menikmati bantuan langsung tunai (BLT) dari pemerintah itu. Orang seperti ini dapat dikatakan "Muzakki Bermental Mustahik". Hanya ingin menerima dan tidak mau mengeluarkan.

Fenomena Muzakki bermental Mustahik ini masih banyak kita temukan di masjid-masjid saat pelaksanaan shalat Idul Fitri. Saat para jamaah usai melaksanakan shalat Idul Fitri, masih saja banyak para pengemis yang berbaris di pintu keluar mesjid untuk mendapatkan sedekah atau zakat. Padahal disyariatkannya pengeluaran zakat fitrah sebelum pelaksanaan shalat idul fitri bertujuan agar di hari bahagia itu tidak ada seorang pun yang masih bersedih karena tidak bisa makan, apalagi meminta-minta atau mengemis.

Dalam sebuah hadist disebutkan:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ ـ صلى الله عليه وسلم ـ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ

 Artinya: Dari Ibnu Abbas RA mengatakan, "Rasulullah SAW telah memerintahkan zakat fitrah sebagai ajang menyucikan bagi orang yang berpuasa dari omong kosong dan kata-kata kotor, serta untuk memberi makan kepada orang-orang miskin. Barang siapa yang menunaikannya sebelum shalat (Idul fitri), maka zakatnya diterima, dan barang siapa yang menunaikannya setelah shalat Id, maka itu dianggap sebagai sedekah (biasa)." (HR Abu Daud dan Ibnu Majah)

Hadist ini menjelaskan bahwa zakat fitrah itu memiliki dua tujuan:

Pertama, Menyucikan Orang yang Berpuasa. Maksud dari tujuan ini adalah untuk menyucikan orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia yang dilakukan selama bulan Ramadan. Perbuatan sia-sia ini seperti dosa akibat berkata kotor dan tiada artinya, menggunjing, mencaci maki, dan lain sebagainya.

Tujuan ini juga berarti menyucikan orang yang berpuasa dari dosa karena berbuat rafats, yaitu suatu tindakan dalam bentuk bercumbu rayu antara suami-istri yang menyebabkan timbulnya nafsu birahi. Akan tetapi menurut pendapat ulama Dr. Yusuf Qardawi, yang dimaksud dengan rafats adalah kejahatan dalam bidang pembicaraan.

Kedua. Memberi Makan Fakir Miskin. Maksud dari tujuan mengeluarkan zakat fitrah yang kedua ini agar kaum fakir miskin dapat bersiap dalam menghadapi Idul fitri dan mereka dapat merasakan bahagianya merayakan hari Idul fitri yang dijanjikan oleh Allah SWT sebagai hari kemenangan.

Tujuan kedua inilah yang menjadi sebab zakat fitrah harus dikeluarkan sebelum menunaikan shalat Idul fitri. Sehingga seuruh individu muslim di hari itu tidak ada lagi yang tidak makan, bersedih dan apalagi meminta-meminta atau mengemis. Namun kenyataannya? Justru di hari raya idul fitri terjadi pemandangan massif para pengemis ramai berbaris menyambut keluarnya para jamaah dari mesjid usai menunaikan shalat idul fitri untuk mendapat belas kasih dari mereka.

Timbul pertanyaan, apakah zakat fitrah yang diterima panitia atau pengurus masjid belum disalurkan? Jika sudah disalurkan, apakah penyalurannya tidak tepat sasaran? jika sudah tepat sasaran yakni hanya para mustahik atau kaum dhuafa yang menerimanya, lalu mengapa masih ada pemandangan barisan pengemis setiap usai shalat idul fitri?. Maka jika masalah ini terus ditanyakan dan diselidiki persoalannya, maka jawabannya adalah mental. Muzakki bermental Mustahik. Sebab orang miskin pun jika dia mendapat bagian dari zakat fitrah sehingga di malam idul fitri dia memilki makanan yang berlebih untuk hari itu bagi diri dan keluarganya, maka kelebihan makanan itu wajib dikeluarkan sebagai pembayaran zakat fitrah untuk dirinya. Sebeb zakat fitrah adalah kewajiban perkepala, meskipun anak kecil, ia tetap wajib dikeluarkan zakat fitrahnya. Namun boleh jadi karena dia sendiri mendapat beras dari jatah zakat fitrah orang lain, kemudian merasa tidak terkena kewajiban membayar zakat, padahal dia mendapatkannya melebihi dari kecukupan untuk hari itu.

Saya sendiri pernah mendengar keluhan seorang wali kota yang kesulitan menghilangkan para pengemis yang terdapat di lampu-lampu merah wilayahnya. Padahal dana pemerintah sudah disiapkan untuk memberi pelatihan kepada mereka dengan keterampilan usaha agar dapat bekerja atau berusaha layaknya kebanyakan orang. Namun para  pengemis yang ditampung untuk mendapat pelatihan ketrampilan itu justru kembali kepada profesi semula, yakni menjadi pengemis. Ketika ditanya kenapa? Karena menjadi pengemis lebih jelas hasilnya dari pada usaha. Bila setiap 5 menit saja mengemis di lampu merah dia mendapat Rp. 5.000 saja, maka satu jamnya (60 menit) menghasilkan 12 x Rp.5.000 = Rp 60.000. Jika setiap hari dia beroperasi 10 jam, maka sehari akan menghasilkan Rp. 600.000. Dan dalam sebulan dapat menghasilkan Rp. 18.000.000. Karyawan atau pejabat daerah mana yang penghasilan sebulan mencapai Rp 18 juta tanpa pendidikan tinggi? Oleh sebab itulah profesi sebagai pengemis itu sangat menjanjikan.

Fenomena ramainya pengemis di saat orang bubar shalat idul fitri memang menjadi pemandangan yang  ironis, dan tidak mencerminkan hikmah dan tujuan zakat fitrah disyariatkan. Oleh sebab itu diperlukan edukasi dan peraturan pemerintah agar suasana idul fitrii  di pagi hari menjadi suasana yang seluruh warganya merasa berbahagia, dan tidak ada lagi yang masih mencari belas kasihan alias mengemis.

Muhammad Jamhuri, 17 Ramadhan 1444 H/ 8 April 2023 M


Antara "Falah" dan "Wail" Dalam Shalat Taraweh Kita

Akhir-akhir ini media sosial dan elektronik dihebohkan oleh berita dan fenomena yang begitu viral tentang shalat taraweh kilat. Bahkan sebuah rekaman film di youtube berjudul "Shalat Taraweh Tercepat di Dunia". Ada pula komunitas tertentu melakukan shalat taraweh sebnayak 23 rakaat hanya diselesaikan dalam waktu 15 menit. Menyaksikan film dan video ini, banyak netizen menyampaikan komentarnya. Ada yang pro dan kontra.

Dalam tulisan ini, kami tidak membahas dan menyinggung tentang berapa rakaat shalat taraweh itu seharusnya, karena hal itu sudah dibahas panjang oleh para ulama. Ada yang melaksanakan Taraweh dengan 8 rakaat, 20 rakaat, 36 rakaat. Bahkan ada yang melaksanakan taraweh dengan 100 rakaat. Namun bahasan dalam tulisan ini lebih menyentuh tentang kualitas shalat taraweh kita yang selalu berlangsung sebulan setiap tahunnya.

Dalam pembahasan ini, ada dua ayat dalam al-Quran yang berkaitan dengan kondisi shalat untuk kita renungkan bersama, yaitu dalam surat al-Mu'minun:

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ 

Sesungguhnya beruntunglah (falah) orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya (QS. Al-Mu'minun: 1-2)

Dan dalam surat Al-Ma'un:

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ  الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ  وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ 

Maka kecelakaanlah (wail) bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna (QS. Al-Maa'un: 4-6).

Ayat pertama menjelaskan bahwa orang-orang yang melaksanakan shalat dengan khusyu' adalah orang-orang yang beruntung (mendapat falah), sementara ayat kedua menjelaskan bahwa orang yang melaksanakan shalat dengan lalai (tidak khusyu') dan melaksanakannya dengan riya, maka dia akan mendapat wail (celaka).

Para ulama fiqih bersepakat bahwa thuma'nah (ketenangan) adalah salah satu rukun dari rukun-rukun shalat. Kedudukannya sama dengan rukun lain, seperti membaca al-Fatihah, ruku', sujud, tasyahhud dan lainnya. Jika seseorang tidak melaksanakan rukun di antara rukun-rukun tersebut, termasuk thumaninah, maka batallah (sia-sia) shalatnya.

Sedangkan terkait dengan ukuran batas thuma'ninah terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama:

Pendapat pertama mengatakan, bahwa batas thumaninah adalah sedikit-sedikitnya membaca "subhanallah robbiyal a'la" misalnya dalam sujud atau ruku. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa batas minimal thumaninah dalam sujud dan ruku' adalah tiga kali bacaan tasbih tadi. Sedangkan hadist-hadits Nabi saw lebih menyebut membaca tiga kali tasbih. Maka sebaiknya durasi saat kita sujud dan ruku' sebaiknya sama durasi tiga kali bacaan tasbih tadi.

Dr. Yusuf al-Qordhowi menyebut bahwa khusyu' itu ada dua macam, yaitu Khusyu' Badan dan Khusyu' Hati (qolbu). Khusyu' Badan adalah badan atau tubuh dalam kondisi tenang, tidak bergerak dan tidak tungak-tengok. Tidak bergerak tungak-tengok seperti gerak kepala srigala atau  seperti patuk-mematuk nya seekor  ayam (baca; gerak sujud terlalu cepat). Sehingga shalat yang benar adalah adalah shalat dengan kondisi Khusyu' badan.

Sedangkan Khusyu' Hati adalah menghadirkan keagungan Allah swt di dalam hati, Hal itu dapat dicapai dengan merenungi makna bacaan dan ayat yang dibaca tatkala menunaikan shalat, serta merasa bahwa orang yang sedang shalat itu sedang menghadap Allah swt yang Maha Agung. 

Dalam sebuah Hadist Qudsi, Allah swt berfirman:.

قَالَ اللهُ تَعَالَى: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ}، قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ}، قَالَ: مَجَّدَنِي عَبْدِي – وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي – فَإِذَا قَالَ: {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ: {اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ} قَالَ: هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَل. (رواه مسلم)

  • Allah berfirman, “Saya membagi shalat antara diri-Ku dan hamba-Ku menjadi dua. Untuk hamba-Ku apa yang dia minta.
  • Apabila hamba-Ku membaca, “Alhamdulillahi rabbil ‘alamin.”
  • Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku memuji-Ku.”
  • Apabila hamba-Ku membaca, “Ar-rahmanir Rahiim.”
  • Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku mengulangi pujian untuk-Ku.”
  • Apabila hamba-Ku membaca, “Maaliki yaumid diin.”
  • Apabila hamba-Ku membaca, “Hamba-Ku mengagungkan-Ku.” Dalam riwayat lain, Allah berfirman, “Hamba-Ku telah menyerahkan urusannya kepada-Ku.”
  • Apabila hamba-Ku membaca, “Iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’in.”
  • Allah Ta’ala berfirman, “Ini antara diri-Ku dan hamba-Ku, dan untuk hamba-Ku sesuai apa yang dia minta.”
  • Apabila hamba-Ku membaca, “Ihdinas-Shirathal mustaqiim….dst. sampai akhir surat.”
  • Allah Ta’ala berfirman, “Ini milik hamba-Ku dan untuk hamba-Ku sesuai yang dia minta.”(HR. Ahmad 7291, Muslim 395 dan yang lainnya)
Dari hadist ini kita dapat menyimpulkan bahwa Allah tidak membiarkan orang yang shalat dengan bacaannya  begitu saja, akan tetapi Allah swt merespon setiap bacaan kita. Maka sikap terbaik kita adalah kita pun merespon jawaban Allah swt, dan menghadirkan hati kita dalam setiap bacaan dan gerakan sholat yang kita lakukan serta menunaikan segala rukun-rukun shalatnya.

Janganlah - saat kita menunaikan shalat- kita menganggap shalat itu sebagau beban, sehingga kita ingin segera terbebas dari beban itu, dan kita ingin segera selesai dan bebas dari beban itu dengan tanpa memperhatikan rukun shalatnya, terutama thuma'ninah (tenang) dalam setiap gerakan.

Di bulan Ramadhan yang mulia ini, manakah yang ingin kita dapatkan dalam shalat (qiyam) kita? falah (keburuntungan) atau wail (celaka) ?

Rasulullah saw bersabda:

من قام رمضان ايماناواحتسابا غفرله ماتقدم من ذنبه. (رواه البخاري)

Barang siapa shalat pada malam Ramadhan karena iman dan semata-mata taat kepada Allah maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu (HR. Al-bukhari).

Muhammad Jamhuri, 16 Ramadhan 1444 H/ 7 April 2023 M


Kamis, 06 April 2023

Lailatul Qodar Sudah Tidak Dirahasiakan Lagi?

Begitulah kesimpulan sementara. Kita sering mendengar bahwa Lailatul Qodar memang tidak diberitakan kapan akan terjadi, atau malam ke berapa dari bulan Ramadhan akan terjadi. Hal itu - menurut para ulama - agar umat ber-taharri (berjaga-jaga) untuk meraihnya dengan segala upaya yang dapat dilakukannya. 

Akan tetapi kini Lailatul Qodar  nyaris sudah bukan rahasia lagi? Mengapa? Karena Rasulullah saw dan para ulama Islam nyaris membuka tabir Lailatul Qodar secara terbuka kepada umatnya. Tanda-tanda pembukaan tabir itu dapat diamati dari perilaku dan kebiasaan amalan Rasulullah saw, para sahabat serta ulama yang dikenal alim, zuhud dan taqarrub (kedekatan)nya dengan Allah sangat kuat. Bahkan di antara mereka secara terbuka membuka kapan Lailatul Qodar itu akan tiba berdasarkan pengalaman dirinya dan sahabatnya yang mengalami kedapatan Lailatul Qodar.

Diantara tabir-tabir yang sudah dan mulai diungkap oleh Rasulullah saw, para sahabat dan para ulama adalah sebagai berikut:

Pertama, Rasulullah saw selalu melakukan i'tikaf di 10 terakhir bulan Ramadhan dan nyaris tidak meninggalkannya pada setiap tahunnya, sejak beliau tinggal di Madinah hingga menjelang wafatnya. Fenomena ini menjadi sebuah indikasi, bahwa Lailatul Qodar sering terjadi di antara malam-malam terakhir bulan Ramadhan. Dalam sebuah hadits disebutkan:

عن عائشة رضي الله عنها زوج النبي صلى الله عليه وسلم أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يعتكف العشر الأواخر من رمضان حتى توفاه الله ثم اعتكف أزواجه من بعده

Artinya, “Dari Aisyah RA, istri Nabi Muhammad SAW bahwa Nabi Muhammad SAW beritikaf pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan sampai beliau wafat. Kemudian para istrinya mengikuti itikaf pada waktu tersebut setelah wafatnya beliau.” (HR: Bukhori Muslim)

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يَجْتَهِدُ فِيْ العَشْرِ الأَوَاخِرِ مَالاَ يَجْتَهِدُ فِيْ غَيْرِهِ

“Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersungguh-sungguh dalam sepuluh hari akhir bulan Ramadhan, hal yang tidak beliau lakukan pada bulan lainnya.” (HR Muslim)

Kedua, Dari 10 malam terakhir Ramadhan, terkuak indikasi, bahwa Lailatul Qodar akan terjadi di malam-malam ganjil 10 malam terakhir Ramadhan itu. Bebarapa kisah di bawah ini membuktikan sebagian kenyataan tersebut:

Dalam sebuah kisah diceritakan bahwa Rasulullah SAW sedang duduk iktikaf semalam suntuk pada hari-hari terakhir bulan suci Ramadhan. Para sahabat pun tidak sedikit yang mengikuti apa yang dilakukan Rasulullah. Ketika Rasulullah berdiri sholat, para sahabat juga menunaikan sholat. Ketika beliau menegadahkan tangannya untuk berdoa, para sahabat pun serempak mengamininya. Saat itu langit mendung tidak berbintang. Angin pun meniup tubuh-tubuh yang memenuhi masjid. Dalam riwayat tersebut malam itu adalah malam ke-27 dari bulan Ramadhan. 

Di saat Rasulullah SAW dan para sahabat sujud, tiba-tiba hujan turun cukup deras. Masjid yang tidak beratap itu menjadi tergenang air hujan. Salah seorang sahabat ada yang ingin membatalkan sholatnya, ia bermaksud ingin berteduh dan lari dari shaf, namun niat itu digagalkan karena dia melihat Rasulullah SAW dan sahabat lainnya tetap sujud dengan khusuk tidak bergerak. Air hujan pun semakin menggenangi masjid dan membasahi seluruh tubuh Rasulullah SAW dan para sahabatnya yang berada di dalam masjid tersebut, akan tetapi Rasulullah SAW dan para sahabat tetap sujud dan tidak beranjak sedikitpun dari tempatnya. Beliau basah kuyup dalam sujud. Namun sama sekali tidak bergerak seolah-olah beliau sedang asyik masuk kedalam suatu alam yang melupakan segala-galanya. Beliau sedang masuk ke dalam suatu alam keindahan. Beliau sedang diliputi oleh cahaya Ilahi. Beliau takut keindahan yang beliau saksikan ini akan hilang jika beliau bergerak dari sujudnya. Beliau takut cahaya itu akan hilang jika beliau mengangkat kapalanya. Beliau terpaku lama sekali di dalam sujudnya. Beberapa sahabat ada yang tidak kuat menggigil kedinginan. Rasulullah SAW baru mengangkat kepala dan mengakhiri sholatnya ketika hujan berhenti. Anas bin Malik, sahabat Rasulullah SAW bangun dari tempat duduknya dan berlari ingin mengambil pakaian kering untuk Rasulullah SAW. Namun beliau pun mencegahnya dan berkata: "Wahai Anas, janganlah engkau mengambilkan sesuatu untukku, biarkanlah kita sama-sama basah, nanti juga pakaian kita akan kering dengan sendirinya." 

Dalam riwayat lain diceritakan, Rasulullah SAW bertemu Lailatul Qadar pada malam ke-21 sebagaimana diterangkan dalam Kitab Al-Muwaththa' Hadis No 701 oleh Imam Malik. Dari Abu Said Al-Khudri sesungguhnya dia berkata: "Rasulullah SAW beriktikaf pada puluhan yang kedua dari bulan Ramadhan. Pada suatu tahun setelah beliau sampai pada malam 21 yang seharusnya beliau keluar dari iktikaf pada pagi harinya, beliau berkata: "Barangsiapa turut beriktikaf bersamaku, hendaklah beriktikaf pada sepuluh hari yang terakhir. Sungguh telah diperlihatkan kepadaku Malam Al-Qadar. Kemudian aku dijadikan lupa. Aku bersujud pada paginya di air dan tanah. Karena itu carilah dia di sepuluh akhir, carilah dia di tiap-tiap malam yang ganjil. Berkata Abu Sa'id: "Maka turunlah hujan pada malam itu, sedangkan masjid diatapi dengan daun kurma dan meneteslah air ke lantai. Kedua mataku melihat Rasulullah SAW kembali dari masjid, sedangkan pada dahinya nampak bekas air dan tanah, yaitu pada malam 21." Apa yang dilakukan Rasulullah SAW ini menunjukkan betapa banyak rahasia dan hikmah di balik malam seribu bulan. Ini pun menunjukkan bahwa Lailatul Qadar kerap terjadi malam-malam ganjil di 10 terakhir Ramadhan.

Ketiga, Bahkan Rasulullah saw lebih mengerucutkan lagi dalam menjelaskan kemungkinan kuat datangnya Lailatul Qodar, yaitu di malam-malam ganjil pada 7 hari terakhir  bulan Ramadhan. Berarti malam  25, 27 dan 29. Sebagaimana sabda Rasulullah saw:

أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ

“Aku juga bermimpi sama sebagaimana mimpi kalian bahwa Lailatul Qadar pada tujuh hari terakhir, barangsiapa yang berupaya untuk mencarinya, maka hendaknya dia mencarinya pada tujuh hari terakhir. ” (muttafaqun ‘alaihi dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)

Kelima, Bahkan Imam Ghazali menyampaikan satu kaidah (rumus) tentang datangnya Lailatul Qodar. Menurut Imam Al-Ghazali dan juga ulama lainnya, sebagaimana disebut dalam I’anatut Thalibin juz 2, hal. 257, bahwa cara untuk mengetahui Lailatul Qadar bisa dilihat dari hari pertama dari bulan Ramadhan:

 قال الغزالي وغيره إنها تعلم فيه باليوم الأول من الشهر  فإن كان أوله يوم الأحد أو يوم الأربعاء فهي ليلة تسع وعشرين أو يوم الاثنين فهي ليلة إحدى وعشرين أو يوم الثلاثاء أو الجمعة فهي ليلة سبع وعشرين أو الخميس فهي ليلة خمس وعشرين أو يوم السبت فهي ليلة ثلاث وعشرين قال الشيخ أبو الحسن ومنذ بلغت سن الرجال ما فاتتني ليلة القدر بهذه القاعدة المذكورة 1.

Rumus itu adalah (artinya;)

  1. Jika awal Ramadhan jatuh pada hari Ahad atau Rabu, maka Lailatul Qadar jatuh pada malam ke-29 
  2. Jika awal Ramadhan jatuh pada hari Senin maka Lailatul Qadar jatuh pada malam ke-21 
  3. Jika awal Ramadhan  jatuh pada hari Selasa atau Jum'at maka Lailatul Qadar jatuh pada malam ke-27 
  4. Jika awal Ramadhan jatuh pada hari Kamis maka Lailatul Qadar jatuh pada malam ke-25 
  5. Jika awal Ramadhan jatuh pada hari Sabtu maka Lailatul Qadar jatuh pada malam ke-23

Syekh Abul Hasan As-Syadzili berkata: “Semenjak saya menginjak usia dewasa Lailatul Qadar tidak pernah meleset dari jadwal atau kaidah tersebut." 

Jadi, jika mengacu kepada kaidah (rumus) yang disampaikan al, Ghazali tersebut, maka karena awal Ramadhan tahun ini jatuh pada hari kamis, maka Lailatul Qodar pada Ramadhan tahun ini (1444 H/ 2023 M) akan terjadi pada malam ke 25 Ramadhan. Wallahu a'lam.

Keenam, Namun untuk kehati-hatian, kita juga dianjurkan berjaga-jaga/mencarinya di malam ke 27. Hal itu beradasarkan beberapa riwayat sebagai berikut: 

  1. Hadist Nabi saw : "(Dia/lailatul qodar adalah) malam ke-27. ” (HR. Abu Dawud, dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan radliyallahu ‘anhuma)
  2. Ibnu Katsir ulama ahli tafsir mencoba menguak rahasia surat al-Qodar terkait dengan waktu datangnya malam Lailatul Qodar. Beliau mengungkap penemuannya, bahwa lafazh (ليلة القدر) dalam surat al-Qodar disebut 3 (tiga) kali dalam al-Quran dalam surat tersebut. Dan lafazh tersebut berjumlah 9 huruf. Sehingga jika dikalikan jumlah huruf pada lafazh (ليلة القدر) yang berjumlah 9 huruf itu dengan angka 3 kali penyebutannya, maka keluar hasil angka 9 x 3 = 27. Maka malam Lailatul Qadar akan terjadi di malam ke 27 Ramadhan
  3. Hadist dari Sahabat Ubay bin Ka’b radliyallahu ‘anhu menegaskan
  • والله إني لأعلمها وأكثر علمي هي الليلة التي أمرنا رسول الله صلى الله عليه وسلم بقيامها هي ليلة سبع وعشرين
  •  "Demi Allah, sungguh aku mengetahui malam (Lailatul Qadar) tersebut. Puncak ilmuku bahwa malam tersebut adalah malam yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami untuk menegakkan shalat padanya, yaitu malam ke-27." (HR. Muslim)
Para ulama Hanabilah juga banyak mengikuti riwayat yang menjelaskan bahwa malam lailatul Qadar terjadi pada malam ke 27 Ramadhan. Sehingga tidak heran, jika di malam itu terjadi puncak kepadatan jamaah shalat taraweh dan qiyamullail di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi serta masjid lainnya di Arab Saudi. 

Akan tetapi, meskipun kita dianjurkan ber-taharri (berjaga mendapatkan) Lailatul Qodar dengan dimensi waktu yang telah dijelaskan di atas. Akan tetapi Lailatul Qodar tidak akan turun saat sikap-sikap dan perilaku kita bertentangan dengan apa yang dianjurkan Rasulullah saw. 

Rasulullah saw pernah sempat diberitahu Jibril as bahwa suatu malam nanti akan ada Lailatul Qadar, akan tetapi Jibril as meralatnya, bahwa Lailatul Qadar tidak jadi turun, karena sikap beberapa kaum muslimin yang tidak mencerminkan sikapnya sebagai muslim yang baik.

Diceritakan dalam buku Ringkasan Shahih Bukhari oleh Muhammad Nasir al-Din Albani, pada mulanya, Rasulullah SAW hendak memberitahukan umatnya tentang waktu pasti satu malam terjadinya lailatul qadar. Tapi, hal tersebut tertunda setelah Rasulullah melihat dua umatnya tengah berselisih.

 Diceritakan Ubadah ibnush-Shamit bahwa ia berkata,

 خَرَجَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ ليُخْبِرَ بِليلةِ القَدْرِ، فَتَلَاحَى رَجُلاَنِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ، فَقَالَ النبيُّ ﷺ: إِنِّيْ خَرَجْتُ لِأُخْبِرَكُمْ بِلَيْلَةِ القَدْرِ، فتلاحَى فُلَانٌ وَفُلاَنٌ، فَرُفِعَتْ، فَعَسَى أَنْ يَكُوْنَ خَيْرًا لَكُمْ، فَالْتَمِسُوْهَا فِي التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ

Artinya: Nabi keluar untuk memberitahukan kepada kami mengenai waktu tibanya Lailatul Qadar. Kemudian ada dua orang lelaki dari kaum muslimin yang berdebat. Beliau bersabda, "(Sesungguhnya aku) keluar untuk memberitahu kan kepadamu tentang waktu datangnya Lailatul Qadar, tiba-tiba si Fulan dan si Fulan berbantah-bantahan. Lalu, diangkatlah pengetahuan tentang waktu Lailatul Qadar itu, namun hal itu lebih baik untukmu. Maka dari itu, carilah dia (Lailatul Qadar) pada malam kesembilan, ketujuh, dan kelima (pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan)," (HR Bukhari).

Maka, menjaga sikap yang baik di antara kaum muslimin tidak kalah pentinganya dengan memburu tanggal-tanggal tertentu untuk mendapat Lailatul Qadar.

Semoga kita mendapat ketepatan dengan Lailatul Qodar di bulan Ramadhan tahun ini.

Muhammad Jamhuri, 15 Ramadhan 1444 H/ 6 April 2023 M

Rabu, 05 April 2023

Mentadabburi Lima Unsur Definisi Al-Quran

Para ulama ketika mendefinisikan sesuatu, mereka memasukkan segala sesuatu yang merupakan bagian dari sesuatu itu, serta mengeluarkan sesuatu yang bukan bagian dari sesuatu tersebut. Oleh sebab itu para ulama mendefinisikan al- Quran sebagai:

 القران هو : كلام الله المعجز المنزل على محمد صلى الله عليه و سلم المنقول بالتواتر المتعبد بتلاوته 

Al-Quran adalah firman Allah yang mengandung mukjizat dan diturunkan kepada nabi Muhammad saw, yang diriwayatkan secara mutawatir (otentik) dan membacanya bernilai ibadah.

Dari definisi atau pengertian al-Quran ini, maka al-Quran memiliki lima unsur kekhususan:

Pertama, al-Quran adalah kalamullah (firman Allah), baik secara teks maupun kandungan makna. Pengertian ini mengeluarkan hadist dan hadist qudsi. Karena hadist adalah ucapan atau sabda Nabi, perbuatan dan taqrirnya. Sedangkan hadist qudsi adalah hanya kandungan makna yang berasal dari Allah, sedangkan teks nya berasal dari Nabi Muhammad saw. 

Karena al-Quran adalah kalamullah (firman Allah), maka ia menjadi media (sarana) untuk komunikasi Allah kepada manusia. Jika kita berdoa, maka itu adalah omongan atau ucapan kita kepada Allah. Namun, jika saat kita membaca al-Quran  maka sebenarnya Allah swt sedang "ngobrol" dengan kita. Maka setiap kita membaca al-Quran, kita akan mengetahui apa maunya Allah terhadap kita. Apakah Anda ingin diajak ngobrol oleh Allah swt? Apakah Anda ingin tahu apa maunya Allah terhadap kita? Apakah Anda tidak ingin dicuekin Allah? Maka bacalah al-Quran. 

Apa perasaan kita jika kita diajak ngobrol oleh seorang presiden? Senang dan bangga bukan? Mengapa kita tidak senang dan bangga jika diajak bicara dan ngobrol oleh Allah?. Sekali lagi, kalau kita sholat atau berdoa, itu adalah omongan dan obrolan kita kepada Allah yang boleh jadi Allah cuekin. Tapi jika kita ingin diajak bicara dan ngobrol oleh Allah, maka bacalah al-Quran. Orang yang sering diajak ngobrol oleh Allah (dengan membaca al-Quran), maka Allah akan bertambah senang dan cinta. Bahkan akan mengabulkan permintaan melebihi  isi doa-doa yang diminta para pendoa.

Rasulullah saw bersabda, Dari Abu Sa’id ra bersabda Rasulullah SAW, “Rabb Tabaraka wa Ta’ala berfirman, ‘Barangsiapa disibukkan dengan Alquran daripada berzikir dan berdoa kepada-Ku, niscaya Aku beri ia sesuatu yang terbaik yang Aku berikan kepada orang yang meminta kepada-Ku. Dan keutamaan Kalamullah terhadap kalam lainnya seperti keutamaan Allah terhadap makhluk-Nya.” (H.R.Tirmidzi)

Kedua, Al-Quran  adalah mukjizat. Dia adalah mukjizat kholidah (yang kekal) hingga hari kiamat. Berbeda dengan mukjizat-mkjizat lain yang diberikan kepada Nabi yang bersifat sementara, seperti mukjizat Nabi saw dapat membelah bulan, jari tangannya dapat mengeluarkan air dan lainnya yang bersifat sementara dan hanya ada saat Nabi saw masih hidup. Namun al-Quran kemukjizatan akan berlaku hingga masa yang akan datang. Oleh karena itu, sangat disayangkan jika umat Islam meninggalkan al-Quran. 

Dalam kisah-kisah perguruan silat, suatu perguruan akan dianggap paling hebat jika ia dapat melanjutkan dan mewariskan ajaran jurus-jurus silat yang ditinggalkan gurunya dan tertulis dalam buku wasiat. Bahkan para muridnya akan menjadi pendekar yang sakti mandraguna jika dapat menyerap dan mempraktekkan jurus-jurus gurunya tersebut.

Sedangkan al-Quran adalah "Buku Pusaka" yang ditinggalkan "Ayah Rohani" kita, yakni Rasulullah saw sang makhluk termulia. Di dalam buku pusaka itu juga terdapat jurus-jurus yang jitu. Baik jurus berekenomi, jurus bernegara, jurus berkeluarga, jurus berperang, jurus berkemajuan dalam ilmu dan teknologi, serta jurus lainnya. Maka jika umatnya mempelajarinya, mentadabburinya, mengamalkannya, maka dapat dipastikan umatnya akan menjadi paling unggul di atas umat lain. 

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنْ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ

"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah". (QS. Ali Imran: 110)

Ketiga, Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Definisi ini mengeluarkan kalamullah yang diturunkan kepada Nabi-nabi lain. Misal kalamullah yang ditrunkan kepada Nabi Isa as yang disebut disebut Injil, kepada Nabi Musa as yang disebut  Taurat dan kepada Nabi Daud as yang disebut Zabur. 

Ini juga mengkorfirmasi kepada kita bahwa al-Quran tidak diturunkan kepada seorang yang biasa-biasa saja. Akan tetapi seorang yang menjadi piihan Allah swt (al-Mukhtar wa al-Mushtofa). Beliau juga adalah pemimpin para Nabi dan Rasul (imamul anbiya wal mursalin). Seorang yang termulia tidak mungkin akan diberi tugas sesuatu yang kecil, akan tetapi risalah yang diembannya adalah sesuatu yang sangat mulia. 

Oleh sebab itu contoh terbaik dalam meniru jurus-jurus isi al-Quran adalah pengemban wahyu itu sendiri yang memiliki sifat mulia. Yakni Rasulullah saw. Karena ketika Aisyah ditanya seseorang tentang 'Bagaimana Akhlak Rasulullah saw?' Beliau menjawab, "Akhlaknya adalah al-Quran".

Keempat, Al-Quran diriwiyatkan secara otentik. Keaslian al-Quran sudah tidak diragukan lagi. Al-Quran sudah ditulis dan dijaga serta dihafal oleh para sahabat-sahabatnya sejak Rasulullah saw masih hidup. Bandingkan dengan kitab lain yang ditulis setelah ratusan tahun setelah wafat nabinya? Al-Quran sejak di generasi pertama sudah diriwayatkan oleh banyak orang sahabat (mutawatir), lalu diriwayatkan kembali oleh generasi setelah mereka(era tabiin), juga oleh generasi berikutnya (era tabiit tabiin), hingga saat ini. 

Allah pun telah menjamin penjagaan al-Quran dari kepalsuan. Firman Allah swt :

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya (QS. Al-Hijr: 9)

Allah swt pun menjamin bahwa al-Quran tak ada keraguan dalam isi dan kontennya:

ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ

 Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya (QS. Al-Baqarah : 2)

 Kelima, Membaca al-Quran merupakan bentuk ibadah. Maksudnya, meskipun seseorang tidak mengerti hukum tajwid seperti hukum idghom, ikhfa dan iqlab dan lainnya. Atau tidak mengerti tentang terjemah dari bacaan al-Quran yang dibacanya, maka membacanya dengan benar saja sudah merupakan bentuk ibadah. Bahkan satu huruf yang dibacanya mengandung 10 kebaikan. Rasulullah saw bersabda, 

وَعَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ حَسَنَةٌ وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا , لاَ أَقُوْلُ الم حَرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيْمٌ حَرْفٌ ( رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَقَالَ حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْح )

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang membaca satu huruf dari kitab Allah, maka baginya satu kebaikan. Satu kebaikan itu dibalas dengan sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan alif laam miim itu satu huruf, tetapi aliif itu satu huruf, laam itu satu huruf, dan miim itu satu huruf.” (HR. Tirmidzi, no. 2910. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih). [HR. Tirmidzi, no. 2910. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih].

Muhammad Jamhuri, 5 April 2023/ 14 Ramadhan 1444 H

Selasa, 04 April 2023

"Sinyal" dan "Channel" Allah Itu Dekat dan Kuat, Tinggal Samakan Frekuensi

Kita kadang mengeluhkan sinyal hp atau channel kita yang tidak begitu bagus saat berkomunikasi, sehingga hubungan kita dengan orang atau tampilan TV kita kurang begitu bagus atau jelas. Boleh jadi karena kita berada di suatu tempat yang terpojok, di hutan, di laut atau di suatu tempat yang jauh dari jangkauan provider atau channel TV kita. Sehingga kita tidak dapat menangkap  gambar TV dengan baik, atau tidak dapat menangkap suara orang yang kita hubungi.

Berbeda dengan "sinyal"dan "channel" Allah. Sinyal dan channel Allah begitu dekat dan kuat jangkauannya. Di mana pun kita berada "sinyal"Nya mudah dijangkau. Hal itu tercermin dari penjelasan Allah di salah satu ayat shiyam (ayat puasa). Allah  swt berfirman:

 وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِي إِذَا دَعَانِي فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran (QS. Al-Baqarah: 186)

Ayat ini mengkorfimasi kepada kita bahwa Allah itu dekat, dan mendengar jelas segala kontak kita kepadaNya, bahkan Dia akan merespon (baca: mengijabah) segala kontak kita kepadanya. 

Lalu mengapa terkadang seakan-akan kita tidak terkoneksi baik dengan "sinyal" dan "channel" Allah swt ? Padahal sinyalnya kuat dan dekat ? Ada banyak faktor. 

Boleh jadi channel kita atau kartu hp kita salah provider. Jika kita ingin terkoneksi dengan channel RCTI misalnya, maka kita harus sesuaikan nomor UHF dan channel kita dengan channel RCTI. Jika kita salah dalam mencari sambungan dengan RCTI, bahkan malah membuka channel lain, Maka kita kita tidak akan terkoneksi dengan RCTI. Itulah rahasia yang terkandung dalam firmanNya (إِذَا دَعَانِي) "jika hamba-Ku mengkontak Aku." Jika salah objek yang dikontak, maka kita tidak akan terhubung dengan Allah swt.

Faktor lainnya, boleh jadi karena kartu sim hp kita tidak terisi pulsa. Agar hp kita dapat terkoneksi dengan hp yang akan kita hubungi, maka pulsa kartu sim hp kita harus cukup. Oleh karena itu kita harus cukupi isi "pulsa" untuk berhubungan dengan Allah swt. Diantaranya dengan membiasakan ibadah kepadaNya. Jangan menghubungi Allah (baca: berdoa) hanya saat ada perlunya saja kepadaNya, sementara perintah dan laranganNya kita abaikan.

Faktor lain adalah faktor yang tidak ditemukan dalam sistem telekomunikasi manapun, yakni seorang hamba tidak akan terkoneksi dalam doanya kepada Allah, jika makanan, munuman, pakaian dan tempat tinggal yang digunakannya berasal dari hasil yang haram. Rasulullah saw bersabda, 

ثـمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ يَا رَبِّ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِّيَ بِالحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ.(رَوَاهُ مُسْلِمٌ)

Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan seseorang yang melakukan perjalanan panjang dalam keadaan dirinya kusut dan kotor, dia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa: ”Wahai Rabb-ku, wahai Rabb-ku,” namun makanannya haram, minumannya haram dan pakaiannya haram dan kenyang dengan sesuatu yang harom, lalu bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan?.” (HR. Muslim)

Surat al-Baqarah ayat 186 yang disebutkan di atas posisinya terletak di tengah-tengah ayat puasa. Ini untuk menegaskan bahwa Allah sangat dekat dan sangat responsip terhadap doa yang dipanjatkan hamba-hambaNya kepadaNya. Mengapa berada di tengah-tengah ayat shaum? Karena orang yang sedang puasa adalah orang yang selalu terkoneksi dengan Tuhannya. Dia selalu ingat Tuhannya sehingga tidak akan tergoda dengan "rayuan" makanan atau minuman yang tersedia di siang hari. Dia juga tidak mau mengkhianati tuhannya melakukan sesuatu yang dilarang selama puasa, seperti berbohong, menipu, mencuri, berguncing orang lain dan lain sebagainya. Nah, kondisi diri yang selalu terkoneksi dengan Allah swt inilah yang akan memudahkan suatu doa  yang dipanjatkan akan dikabulkan. Karena "channel"nya sudah pas, "pulsa"nya sudah cukup, serta menghindari dari segala yang haram. Sehingga Allah menjanjikan diterimanya doa orang yang mau berdoa kepadaNya 

( أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِي إِذَا دَعَانِي فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ)

Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran 

Jadi sinyal dan channel Allah itu sangat dekat dan kuat. Tinggal kita, apakah berkoneksi dengan Allah dengan prasyaratnya atau tidak?.

Muhammad Jamhuri, 13 Ramadhan 1444 H/4 April 2023 M

Minggu, 02 April 2023

I'tikaf Sebagai "Charge Battery" Spritual Kita

Salah satu amalan yang nyaris tidak pernah diabaikan Nabi Muhammad saw di bulan Ramadhan adalah beliau selalu melakukan ritual i'tikaf di sepuluh terakhir ('asyrul awakahir) dari bulan Ramadahan. Sesibuk apapun beliau, beliau selalu menyiapkan sepuluh hari itu untuk ibadah tersebut. Meskipun beliau sibuk sebagai pendakwah, sebagai kepala negara, sebagai kepala rumah tangga dengan istri lebih dari satu orang, sebagai pembisnis, sebagai panglima perang, sebagai "pengurus" keluarga besar Bani Hasyim, dan sebagai seabrek-abrek urusan lain, tapi sekali lagi, beliau tidak pernah meninggalkan amalan i'tikaf sejak beliau berada di Madinah. Bahkan jika di suatu tahun beliau tidak beritikaf karena perjalanan atau perang, beliau berí'tikaf selama 20 hari di tahun berikutnya.

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَعْتَكِفُ فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَسَافَرَ سَنَةً فَلَمْ يَعْتَكِفْ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْماً

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Kemudian beliau pernah bersafar selama setahun dan tidak beri’tikaf, akhirnya beliau pun beri’tikaf pada tahun berikutnya selama dua puluh hari.” (HR: Ahmad)

Beliau tinggalkan "kasur" kamarnya lalu tidur dan tinggal di Masjid saja. Bahkan untuk disisirkan Aisyah saja tubuh beliau tetap di area masjid, dan hanya sebagain kepala bagian rambutnya yang disisirnya saja yang berada di area rumah beliau untuk disisirkan Aisyah. Dengan demikian selama 10 hari itu beliau meninggalkan berkumpul dengan isteri (Syadda mi'zarohu/menguatkan ikat kainnya).

Lalu kita, -meminjam ungkapan ustadaz Adi Hidayat- Kita nabi bukan, pemimpin negara juga bukan, sebagai pendakwah pun tidak full time, sebagai pemimpin keluarga pun tidak serepot beliau, pembisnis pun bukan. Kemudian kita merasa repot dan tidak sempat menyiapkan waktu untuk beri'tikaf dan berkomtempelasi selama 10 hari di Masjid, sementara kita ingin masuk surga bersama Rasulullah saw?

Saudaraku, i'tikaf bukan sekedar sunnah biasa. Akan tetapi ia merupakan sarana untuk men-charge battery ruhiyah (spritual) kita yang sudah lowbatt karena dipakai selama 11 bulan lalu atau bertahun-tahun lalu dengan ghoflah (kelalaian), ringkihnya amal, bahkan lowbatt rohani karena tergerus dengan maksiat dan perbuatan sia-sia. Bagaikan handphone yang dinyalakan terus menerus tanpa keperluan yang berguna.

Spritual atau ruhiyah adalah modal diri kita untuk selalu on di sebelas bulan ke depan dalam setahun kehidupan kita. Jika ruhiyah kita ringkih, kurang charge, dan lowbatt, maka bisa dipastikan fungsi produktifitas hidup kita tidak akan optimal.

Oleh karena itu Rasulullah saw tidak pernah meninggalkan moment-moment mencharge battery iman dan spritual di Ramadhan ini dengan berbagai amalan. Salah satunya adalah i'tikaf. Karena sebagai Rasul, pemimpin negara, panglima perang dan tokoh yang memberi solusi pada umatnya perlu modal ruhiyah/spritual yang prima. Bukan hanya i'tikaf saja, bahkan Rasulullah melazimkan  qiyamullail  demi kesiapan menerima "qoulan tsaqilan" (tugas yang sangat berat). 

يَاأَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ . قُمْ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا . نِصْفَهُ أَوْ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا . أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلْ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا . إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا 

Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk sholat) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya),(yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit. atau lebih dari seperdua itu. Dan bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat. (QS. Al-Muzzammil: 1-5)

Oleh karena itu ada ungkapan dari seorang ahli dakwah "Al-Ibadah Tsumma al-Qiyadah" (Bereskan dulu ibadah baru bisa memimpin)

Kalau kita bermuhasabah (instrospeksi diri). Sudah berapakah usia kita saat ini?. 30, 40, 50 tahun?Namun, pernahkah kita dalam setiap tahunnya menyisihkan waktu selama 10 hari saja untuk totalitas hidup bersama Allah di rumah-Nya (masjid) dan meninggalkan kenikmatan empuknya kasur di rumah kita?, sejuknya AC di kamar kita?, serta tidur bersama pasangan kita? Alangkah egoisnya kita. Padahal Allah sudah berlipat-lipat kali memberi kita nikmat yang terhingga. Hingga Allah pun menantang kita untuk menghitung 1 (satu) nikmat Allah pun kita tidak sanggup menghitungnya. Allah swt berfirman:

 وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا

"Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya."(QS. Ibrahim: 34).

Dalam ayat ini Allah menyebut "nikmat" tidak dengan bentuk plural (jamak). Akan tetapi menggunakan lafadz singular (mufrod). Jadi untuk menghitung satu nikmat pun kita tidak akan sanggup menghitungnya. Lalu jika Allah sudah begitu banyak menganugerahkan nikmat kepada kita, mengapa kita tidak bersedia menyiapkan waktu untuk Allah? paling tidak di 10 hari terakhir bulan Ramadhan?.

Mudah-mudahan, Ramadhan tahun ini, kita diberikan kesehatan dan kelapangan waktu untuk melakukan sunnah tahunan Rasulullah saw ini, yaitu beri'tikaf di 10 hari terakhir Ramadhan. Dan semoga kita dapat menggapai malam kemuliaan (Lailatul Qodar) Satu malam yang lebih baik dari ibadah 1000 bulan. Aamiin.

Muhammad Jamhuri, 11 Ramadhan 1444 H/2 April 2023