Jumat, 05 Oktober 2012

Antara Cinta Allah dan Cinta Keluarga


Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim”  (QS. Al-Baqarah: 124)


Kisah tentang ujian Ibrahim as begitu banyak, mulai dari persoalan anak dan keluarga hingga kepada hukuman dibakar hidup-hidup oleh raja Namruz.,
Dalam hal persoalan anak dan keluarga, kita dapat mengambil ibroh dan pelajaran, betapa ujian kepada beliau dan keluarganya datang bertubi-tubi. Tentu saja semua itu untuk menguji nabi Ibrahim as, apakah dia lebih mencintai keluarganya, ataukah lebih mencintai Allah swt? Akan tetapi, ayat di atas jelas menggambarkan bahwa Nabi Ibrahim telah menunaikan  segala ujian itu dengan penuh sempurna.
Sebenarnya, pada juz pertama al-Qur’an mengisahkan tiga tipe manusia yang telah diberi ujian oleh Allah swt. Yang pertama kisah Nabi Adam as yang mendapat ujian berupa sebuah larangan memakan sebuah pohon. Yang kedua, kisah Bani Israil yang diuji dengan sapi betina dan anak sapi. Dan yang ketiga adalah kisah nabi Ibrahim yang diuji dengan berbagai ujian termasuk perintah menempatkan keluarganya di sebuah lembah yang tidak ada tetumbuhan. Profil nabi Adam as adalah tipe yang tidak tahan akan ujian namun segera bertaubat kepada Allah swt. Profil Bani Israil adalah tipe yang suka membangkang kepada perintah Allah dan Rasul-Nya, sedangkan profil nabi Ibrahim adalah tipe yang selalu taat dan patuh terhadap segala perintah dan menunaikan segala ujian yang berat.
Tentu saja dari ketiga kisah itu kita diharapkan mencontoh nabi Ibrahim as. Oleh sebab itu Allah swt berfirman yang artinya: “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia ” (QS. Al-Mumtahanah: 4)
Ujian nabi Ibrahim as yang berkaitan dengan keluarga antara lain:
Pertama, dalam memasuki usia senja, nabi Ibrahim as belum juga dikaruniai seorang anak, padahal beliau beristeri Siti Sarah sudah puluhan tahun lamanya. Hingga suatu saat nabi Ibrahim diizinkah menikah dengan pembantunya bernama Siti Hajar. Ini tentu saja menjadi ujian bagi Ibrahim sekaligus juga bagi seorang Siti Sarah.  Bagaimana tidak? Seorang isteri yang telah berkeluarga hidup bersama puluhan tahun dengan penuh cinta, lalu cinta itu harus dibagi dua dengan seorang pembantunya. Akan tetapi ujian itu dilewatinya dengan penuh sabar dan keridhoan.
Kedua, setelah menunggu keturunan yang tidak kunjung tiba juga, kemudian setelah menikah dengan Siti Hajar  dikaruniai seorang putera yang diberi nama Ismail, datanglah ujian yang memberatkan hati seorang ayah yang sejak lama menunggu kelahiran seorang putera. Beberapa hari setelah lahirnya Ismail, Allah memerintahkan nabi Ibrahim as untuk meletakkan isteri dan puteranya di sebuah tempat yang sepi dan tandus yang tidak ada pepohonan. Saat itu, sebagai seorang ayah yang baru saja dikaruniai seorang anak, merasa bersedih meletakkan mereka di sebuah tempat yang sangat asing.
Dalam suatui riwayat, setelah nabi Ibrahim meletakkan mereka di sana (Makkah), beliau meninggalkan mereka lewat jalan Hujun. Saat seperti itu, sang isteri berteriak memanggil, “Wahai suamiku, mengapa engkau meninggalkan kami berdua disini?” . Mendengar pertanyaan itu nabi Ibrahim tetap berjalan meskipun airmatanya terus bercucuran karena merasa iba kepada mereka. Beliau kuatkan jiwanya untuk tidak menengok ke arah mereka karena khawatir akan lebih iba sehingga tidak jadi melaksanakan perintah Allah itu.
Ibrahim as terus berjalan, suara isterinya terdengar kembali, “Wahai suamiku, mengapa engkau meninggalkan kami berdua disini?”, Lagi-lagi nabi Ibrahim tidak mengindahkan pertanyaan itu meskipun air matanya terus berderai menahan rasa iba meninggalkan keluarganya di sana.
Kemudian terdengar panggilan ketiga kalinya, “Wahai suamiku, apakah engkau meninggalkan kami disini karena perintah dari Allah swt?”. Mendengar kata perintah Allah, barulah Ibrahim menoleh ke arah mereka seraya berkata, “Benar, wahai isteriku, aku tinggalkan kalian disini karena melaksanakan perintah Allah swt.”
Siti Hajar pun menjawab, “Jika memang ini perintah dari Allah, pergilah engkau dengan tenang, karena aku yakin, jika ini perintah Allah, maka Allah tidak akan menyianyiakan kami di sini.”
Seorang ayah mana yang kuat menahan ujian meninggalkan anak dan isterinya di sebuah tempat asing, tandus dan tidak ada pepohonan? Apalagi seorang anak itu sudah sejak lama ditunggu-tunggu kehadirannya?
Namun Ibrahim as tegar dalam keimanannya, hingga saat beliau meninggalkan tempat itu, beliau berdoa, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (QS. Ibrahim: 37)
Ketiga, saat Ismail as menginjak usia dewasa yang tumbuh dalam kondisi sehat, perawakan baik dan patuh pada orang tuanya, nabi Ibrahim as kembali diuji oleh Allah akan kecintaannya pada Allah dan keluarga. Ujian itu berupa diperintahnya beliau menyembelih putera kesayangannya. Allah swt mengisahkan mereka dalam ayatNya:
“Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar."  Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata.”  (QS. Ibrahim: 102-106)
Ayah mana yang akan tega menyembelih anak kandung sendiri, sementara anak itu adalah anak yang paling dicintai karena ketaatannya kepada orang tuanya? Mungkin jika anak itu orang brandal, suka tawuran, terlibat narkoba dan menjelekkan nama baik keluarganya, lalu diperintah untuk menyembelih anak itu mungkin tidak berkeberatan melaksanakannya. Akan tetapi Ismail adalah anak yang shaleh, baik, taat, dan baik rupawan. Namun demikian, nabi Ibrahim as sedikit pun tidak ragu untuk melaksanakan perintah Alah swt.
Bukan hanya nabi Ibrahim as yang bersikap dalam keteguhan iman, bahkan puteranya sendiri yang akan menjadi korban, tidak sedikitpun ragu melaksanakan perintah Allah swt tersebut. Demkian juga halnya dengan ibunyay yang melahirkan dan merawatnya selama ini; Siti Hajar.
Kisah keteguhan iman ketiga manusia utama ini tervisualisasikan dalam reka ulang pelontaran jumroh dalam  setiap ibadah haji. Mereka –dahulu kala– saat akan melaksanakan perintah berupa pengorbanan Ismail as harus mengahdapi godaan dari Iblis yang tidak rela jika manusia patuh terhadap perintah Allah swt. Mereka melakukan “perang” dengan Iblis hingga peristiwa pelontaran Iblis itu diabadikan dalam ritual ibadah haji tersebut.
Kisah nabi Ibrahim as di atas menggambarkan, betapa beliau mendahulukan cinta kepada Allah swt dibanding cinta kepada keluarga. Cinta kepada Allah bukan berarti beliau menghilangkan cinta pada keluarga, justru di tengah-tengah beliau melimpahkan cintanya kepada keluarga, Allah swt mengujinya dengan ujian meninggalkan keluarga dan menyembelih puteranya, untuk mengetahui apakah lebih mementingkan keluarga ataukah lebih mencintai Allah swt? Dan pada saat Allah swt sudah menganggap bahwa ujian itu sudah lulus, Allah pun memberi karunia yang besar sebagai pengganti atas keteguhan iman. Dalam peristiwa penyembelihan Ismail as, Allah swt memberi karunia seekor domba sebagai pengganti Ismail. Sedangkan dalam peristiwa peletakkan Siti Hajar dan Ismail as di Makkah yang tandus, Allah memberi karunia dan ganjaran atas ketabahannya berupa air zamzam yang tidak pernah habis dikonsumsi jutaaan manusia dari seluruh penjuru dunia.
Itulah potret sosok manusia yang mendahulukan cintanya kepada Allah dari pada keluarganya. Ganjaran dan pahala seta karunia datang seiring dengan lullusnya menjaga keteguhan iman dan ketaatan kepada Allah swt.
Adapun orang-orang yang mendahulukan cintanya kepada keuarganya dan hartanya diatas cintanya kepada Allah, maka Allah telah mengancamnya dengan siksanya dan menggolongkan mereka ke dalam golongan orang-orang fasik.
Allah swt berfirman, “Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik “ (QS. At-Taubah: 24)
Wallahu a’lam bish-showab
Jamhuri



Tidak ada komentar: