Jumat, 09 November 2012

Persaudaraan: Solusi Masalah Ekonomi


“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat “ (QS.Al-Hujurot: 10)
 
Ketika Nabi saw berhijrah dari Makkah ke Madinah, beliau  menghadapi  persoalan ekomomi  yang berat sebagaimana yang dihadapi suatu komunitas yang melakukan migrasi dari satu tempat ke tempat lain. Apalagi tempat itu merupakan tempat pertama kalinya dihuni oleh komunitas tersebut. Sehingga, para Muhajirin yang berasal dari Makkah dapat dikatakan sebagai para pengungsi yang ingin mendapat kehidupan yang layak, tidak tertekan di tempat asalnya, apalagi dintimidasi.

Saking rumit dan kompleknya masalah yang ditimbulkan akan perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain atau dari negara ke negara lain, hingga organisasi dunia semacam PBB (Perserikatan Bangsa–Bangsa) perlu membentuk sayap organisasi yang khusus menangani permasalah pengungsi yang organisasi itu kemudian disebut UNHCR. Organisasi ini khusus menangani masalah pengungsi, baik yang berkaitan dengan hak hidup, sosial, ekonomi, serta status kewarganegaraan mereka.

Di antara masalah yang timbul akibat pengungsian adalah masalah ekonomi, baik berupa distribusi, pengangguran, serta kebutuhan akan sandang (pakaian), pangan (makanan) dan papan (tempat tinggal). Hal itu pun dirasakan oleh Nabi saw dan para sahabatnya yang berasal dari Makkah.

Akan tetapi, berkat kenabian Rasulullah saw, beliau dapat keluar dari krisis ekonomi itu dengan satu cara yang unik, yakni dengan mempersaudarakan kaum Muhajirin yang berasal dari Makkah dan kaum Anshar yang berasal dari Madinah.

Berkat langkah yang diambil Rasulullah saw berupa persaudaraan sesama Muslim itulah, semua masalah ekonomi yang diakibatkan perpindahan penduduk, dapat diatasi. Pada saat itu Kaum Anshar mempersilakan kaum Muhajirin untuk menetap di rumah kaum Anshar, menikmati makanan yang dimakan oleh mereka, serta memakai pakaian yang dipakai mereka. Singkatnya, sikap kaum Anshar terhadap kaum Muhajirin seperti saudara kandung sendiri. Bahkan sebelum turunnya ayat tentang hukum warisan, mereka menyangka bahwa diantara mereka dapat saling waris-mewariskan meskipun tidak ada hubungan nasab atau perkawinan.

Keindahan persaudaraan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar itu dilukiskan Allah dengan sangat indahnya melalui firman-Nya:

“Bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar.  Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr: 8-9)

Namun demikian, meskipun kaum Muhajirin ditawari dengan berbagai fasilitas, akan tetapi mereka tetap ingin hidup berdikari dan tidak bersandar kepada saudaranya. Seperti yang terjadi pada sahabat Abdurrahman bin Auf. Ketika beliau ditawari segala fasilitas hidup, beliau malah bertanya dimana pasar? Lalu beliau mencari beberapa kayu bakar dan dijual di pasar,, atau sekedar menjadi kuli panggul. Namun dalam perjalanan hidupnya, beliau tercatat sebagai salah satu dari sahabat yang kaya raya.

Begitulah keindahan berukhuwah (bersaudara) sesama kaum muslimin pada masa Rasulullah saw dan para sahabat. Jika saja jiwa persaudaraan ini tetap melekat di dalam sanubari tiap kaum muslimin, pastilah tidak ada masalah ekonomi yang tidak bisa terselesaikan. Mengapa justru jiwa  seperti ini ada di kalangan etnis tertentu yang note-bone tidak beragama Islam?. Etnis Tionghoa misalnya, betapa persaudaraan ekonomi di antara mereka begitu kuat? Bahkan dapat dikatakan perekonomian Indonesia mayoritas dikuasai oleh etnis tersebut? Kita harus belajar kesuksesan jaringan persaudaraan bisnis mereka memang.

Padahal, secara konsep, Islam telah mendudukkan persaudaraan sesama muslim sebagai masalah keimanan, masalah aqidah, bukan sekedar masalah fiqhiyyah. Perhatikanlah salah satu hadits Rasulullah saw berikut: “Tidaklah beriman seorang di antara kalian hingga ia mencintai saudaranya (seiman) seperti ia memcintai dirinya sendiri.”

Demikian juga perintah Allah swt dalam Al-Quran yang menyerukan kita untuk saling tolong menolong dalam kebaikan. Firman Allah swt: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya “ (QS. Al-Maidah: 3)

Persaudaraan sesama muslim juga dapat melahirkan persatuan, dan persatuan dapat mewujudkan pembangunan secara berkesinambungan. Bagaimana mungkin kita akan membangun jika masih terjadi tawuran dan bentrokan di antara kelompok masyarakat?

Allah swt berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum merendahkan kaum lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri[dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim “(QS. Al-Hujurot: 11)

Jamhuri

 

Tidak ada komentar: