Senin, 26 Maret 2012

Plularitas Yes Plularisme No

Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab  kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya 
(QS. Ali Imran: 19)

Akhir-akhir ini isu plularisme sedang hangat dibicarakan. Isu ini dielu-elukan oleh kaum liberalist (orang yang menginginkan kebebasan dalam segala hal tanpa batas) untuk menyampaikan pesan kedamaian, meskipun di balik pesan itu ada misi pendangkalan akidah dan keyakinan pada umat Islam.

Bahkan mereka menokohkan seorang “ulama” yang dianggap tokoh plularisme,  agar diikuti oleh generasi berikutnya. Padahal tokoh tersebut justru banyak membela kaum kafir ketimbang membela nasib umat Islam.

Dalam menyampaikan idenya, mereka menyampaikan dalil-dalil al-Quran dengan tafsir hawa nafsunya. Dialihkannya makna ayat kepada makna yang diinginkannya. Terkadang mengutip ayat pun tidak utuh sehingga maknanya pun tidak utuh lalu di alihkan ke makna yang dikehendakinya. Ada pula, ayat-ayat tersebut maknanya lebh cenderung bersifat plularitas bukan plularisme. Plularitas dibolehkan dalam agama, sedang plularisme dilarang dalam agama. Lalu apa perbedaan antara plularisme dan plularitas?

Plularitas adalah kondisi objektif bahwa manusia beraneka ragam, baik suku, agama, ras, budaya  maupun warna kulitnya. Kondisi objektif ini tidak bisa dipungkiri karena merupakan sunnatullah. Allah swt berfirman, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal “ (QS. Al-Hujurot: 13)

Kemudian dalam memilih agama pun,  Islam tidak pernah memaksakan, firman Allah swt: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus “ (QS. Al-Baqarah: 256)

Akan tetapi Allah swt menegaskan bahwa agama yang benar di sisi Allah adalah agama Islam. Firman Allah SWT: “Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam “ (QS. Ali Imran: 19)

Pada zaman Rasulullah saw, saat beliau memimpin Madinah dengan penduduknya yang heterogen terdiri dari beberapa suku, yakni suku Quraisy yang merupakan kaum muhajirin, suku Aus dan Khazraj yang merupakan kaum Anshar, dan suku Yahudi yang terdiri dari beberapa ras Bani Quraizhah, Bani Nadhir dan lainnya. Rasulullah saw telah membuat kesepakatan dengan bangsa Yahudi dalam bentuk Piagam Madinah (Watsiqoh al-Madinah) yang berisikian hidup rukun dan damai serta tidak menganggu penganut agama masing-masing dan tidak berkhianat. Akan tetapi bangsa Yahudi selalu melanggar perjanjian dengan penghinaan kepada wanita berjilbab saat  turun ayat hijab (jilbab). Ini berarti telah melanggar perjanjian  karena telah menggagu keyakinan umat lain. Belum lagi pengkhianatan mereka saat menyerang Madinah bersama suku Arab lain pada perang Ahzab.

Intinya, Islam mempersilahkan orang non muslim hidup damai dengan orang Islam, dan mengakui adanya kebhinekaan dan keragaman. Itulah yang disebut plularitas.

Sedangkan plularisme adalah suatu ajaran atau isme yang meyakini bahwa semua agama dibangun atas dasar relativisme, yakni bahwa kebenaran agama-agama itu bersifat relatif (nisbi). Artinya, dalam ajaran plularisme, tidak boleh meyakini bahwa kebenaran agamanya bersifat mutlak. Dan oleh karena itu harus meyakini bahwa di agama lain juga ada kebenaran. Sehingga timbul ungkapan bahwa “semua agama sama.”

Keyakinan seperti jelas akan mendangkalkan akidah. Sebab agama yang benar di sisi Allah adalah agama Islam. Dalam ayat lain Allah swt berfirman,  Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (QS. Ali Imaran: 85).

Bersifat fanatik kepada agama yang dianutnya adalah kewajiban. Sebab jika tidak, berarti masih meragukan akan kebenaran agama yang diyakininya. Akan tetapi sifat fanatik ini tidak akan menghilangkan sifat tolerans. Justru memaksa-maksa agar meyakini agama lain adalah benar adalah sifat tidak toleran. Biarlah setiap penganut agama meyakini bahwa agama yang dianutnya benar, jangan memaksa untuk berkata semua agama benar.

Dalam al-Quran ,Allah  swt menegaskan, “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu “ (QS. Al-Baqarah: 147). Kita tidak boleh ragu bahwa agama Islam yang yang kita anut adalah agama yang benar. Adapun penganut agama lain yang meyakini bahwa agamanya itu benar menurut mereka, maka kita persilahkan, asal kita sebagai muslim tidak mengakui dan tidak meyakini bahwa agama mereka benar menurut kita. Dan mereka pun tidak dipaksa untuk meyakini bahwa agama kita benar menurutnya. Janganlah kita dipaksa berkata dan meyakini bahwa semua agama itu benar dengan alasan toleransi.

Toleransi bukan berarrti membenarkan agama lain. Toleransi adalah hidup saling menghormati dalam keragaman dan kebhinekaan, tanpa harus menggadaikan akidah dan keyakinan.

Sayangnya, banyak orang muslim, bahkan para “ulama”nya mendewa-dewakan ajaran plularisme yang berlandaskan pada relativisme semua ajaran, lalu orang yang anti plularisme dianggap sebagai anti toleransi.

Kita harus berani mengatakan, Plularitas dan toleransi Yes, tapi plularisme No ! Justru orang yang memaksakan keyakinan bahwa semua agama itu sama atau plularisme adalah orang yang tidak toleran dan anti plularitas (mengakui keanekaragaman)..

Dalam hal plularitas dan toleransi, Islam sangat menjunjung tinggi, bahkan Allah swt menegaskan bahwa kita harus berbuat baik kepada mereka non muslim selama mereka tidak menyakiti kita dan melanggar aturan (perjanjian). Allah swt berfirman, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil “ (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa (QS. Al-Maidah: 8)

Sekali lagi, toleransi tidak harus menggadaikan akidah dan keyakinan masing-masing. Orang Islam jangan dipaksa ikut natal bersama karena alasan toleransi, demikian juga orang kristen tidak usah dipaksa ikut lebaran atau idul fitri . Orang Islam tidak usah dipaksa doa dan beribadat di gereja, orang kristen pun tidak usah dipaksa berdoa dan sholat di Masjid. Akan tetapi, kita tetap saling menghormati ibadah masing-masing penganut agama.

Suatu kali, kaum Quraisy membujuk Nabi Muhammad saw agar saling ’toleransi’ menurut pemahaman mereka. Alasannya, agar tidak ada friksi dan perpecahan di tengah masyarakat, maka hendaknya diadakan ibadah bersama. Mereka menawarkan seraya berkata, “Hai Muhammad, bagaimana jika hari ini kami beribadah seperti kamu beribadah menyembah Allah, kemudian esok hari engkau dan pengikutmu beribadah seperti cara ibadah kami, sehingga kita dapat hidup damai dan berdampingan.” Atas tawaran ini,  Allah swt menurunkan ayat-Nya dalam surat al-Kafirun sebagai jawaban:

Katakanlah: "Hai orang-orang kafir Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." (QS. Al-Kafirun: 1-6)

Marilah bekerja dalam kebhinekaan tanpa harus menggadaikan keyakinan dan akidah, tolaklah ajaran plularisme namun hiduplah rukun dalam kenyataan plularitas.

Wallahu a’lam bis showab.



Muhammad Jamhuri




Tidak ada komentar: