Setiap tahun di bulan Ramadhan, selalu saja muncul kontroversi tentang zakat fitrah terkait dengan barangnya, apakah harus pakai makanan pokok atau dapat dikonversi dengan uang?. Perdebatan ini akan terus ada. Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau. Sama dengan lagu bimbo, setiap datang bulan Ramadhan, pasti terulang lagunya yang berbunyi, “Ada anak bertanya pada ayahnya…buat apa berlapar-lapar puasa…? Ada anak bertanya pada ayahnya buat apa sembahyang taraweh…..?
Perdebatan tentang perbedaan benda yang dikeluarkan dalam zakat fitrah sejak imam mazhab sudah ada. Sama halnya dengan perdebatan masalah rakaat sholat taraweh. Ia akan menjadi pertanyaan sekaligus diskusi di setiap zaman. Sikap terbaik kita adalah toleransi antar umat se-agama. Jika kita saja dituntut untuk beroleransi dengan umat agama lain, maka mestinya kita harus bisa lagi bertoleransi sesama umat seagama.
Di antara empat madzhab fiqih yang ada, hanya madzhab Hanafi yang membolehkan zakat fitrah dapat dilakukan dengan harga (uang). Memang madzhab Hanafi banyak memberikan kemudahan-kemudahan dalam masalah keuangan (muamalah). Maklum, selain sebagai ulama, beliau juga seorang pebisnis. Jadi tahu kondisi lapangan. Oleh sebab itu para sarjana ekonomi Islam banyak mengambil fatwa dan pendapatnya dalam melakukan transaksi bisnis dan ekonomi. Pendapatnya banyak menyelasaikan persoalan kontemporer di zaman now. Sehingga mendatangkan kemasalatan bagi kehidupan manusia. Dan zakat sendiri adalah ibadah maaliyah (ibadah bernuansa ekonomi)
Oleh sebab itu, DR. Yusuf al-Qordhowi mengambil pendapat madzhab ini dalam kitabnya Fiqih Zakat yang kemudian diadopsi oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI) dalam penentuan kadar harga bagi zakat fitrah di Indonesia. Saya sependapat dengan ini dengan alasan sebagai berikut:
Pertama, di antara hikmah adanya zakat fitrah adalah agar orang fakir miskin di hari Idul Fitri semua berbahagia dengan tersedianya makanan di hari itu. Nah, di zaman sekarang, yang dimakan fakir miskin dan kebutuhan mereka bukan hanya bisa makan makanan pokok saja di hari itu, tapi juga perlu lauk-pauknya, sayurnya dan makanan lainnya. Nah kalau mereka hanya mendapat makanan pokok, maka mereka tidak bisa membeli lauk-pauknya. Sedangkan jika mereka mendapat zakat fitrahnya berupa uang, mereka dapat membeli beras, lauk-pauk, sayur mayur bahkan bisa beli pembungkus ketupat. Nah disinilah lebih utama zakat fitrah dengan uang.
Kedua, pada beberapa negara kaya dan yang
penduduknya minim fakir miskin, sementara kesadaran membayar zakat itu tinggi,
maka pada saat tidak ditemukan fakir miskin di sana, mereka akan
mendistribusikan zakatnya ke negara lain. Jika berupa makanan pokok, maka
mereka akan terkendala waktu. Jangan lupa, kewajiban zakat fitrah adalah pada
saat malam takbiran, dan sebagian orang hanya akan membayar zakat fitrahnya di
malam takbiran itu karena itulah wakt al-wujub (waktu wajibnya fitrah).
Pendistribusian zakat berupa makanan pokok ini akan memakan biaya transportasi
lagi. Selain juga waktu tempuh akan lama, dan bisa melewati hari idul fitri
sehingga kehilangan hikmah diwajibkannya zakat fitrah yang harus
didistribusikan sebelum idul fitri. Sedangkan jika zakat fitrah berupa uang,
maka dengan sangat mudah kita transfer ke mana pun. Dan membayar zakat fitrah
dengan uang dalam kondisi pendistribusian ke negara-negara yang terkena musibah
atau konflik akan terasa terlihat lebih utama karena mereka memerlukan bantuan
dengan cepat.
Kenapa
bisa berubah fatwa, sehingga zakat fitrah di zaman sekarang lebih utama? Para
ulama Arab Saudi, baik asli orang Arab maupun ualama Arab asal Indonesia
semisal Syaikh Yasin al-Fadani saja mengatakan, melempar jumroh di zakan
sekarang lebih afdhol malam hari. Padahal para ulama dahulu seperti Imam Nawawi
menyatakan bahwa melempar jumroh yang afdhol adalah bakda zawal (wktu zhuhur).
Perubahan pendapat ini disebabkan pertimbangan maslhah mursalah (lebih
maslahat).
Muhammad Jamhuri, 13 Ramadhan
1442 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar