Oleh: Muhammad Jamhuri
Seringkali saat dihadapkan pada teks dalil, bukan teksnya yang yang salah, tapi penyikapan kita yang salah. Sebagai contoh, tidak ada yang salah saat para ulama mendefinisikan “Sunnah adalah jika dikerjakan mendapat pahala, dan jika ditinggalkan tidak apa-apa”. Yang salah adalah penyikapan kita. Kita lebih konsentrasi pada bagian akhir definisi itu, “jika ditinggalkan tidak apa-apa”. Sehingga kita meremehkan amalan yang hukumnya sunnah, seperti sholat awal waktu, shalat berjamaah dan lainnya. Atau timbul ungkapan, “Ah itu kan cuma sunnah saja, nggak dikerjakan pun gak apa-apa”. Padahal dalam kehidupan, cuma sekarang lah saatnya kita mengumpulkan pahala. Kalau sudah berpisah dengan dunia, kita tidak bisa lagi menabung pahala amal.Kesalahan penyikapan juga terjadi pada teks hadist Nabi saw yang terjemahannya: “Tidurnya orang berpuasa adalah ibadah” sehingga orang memahami dan menyikapi nya dengan memperbanyak tidur saat puasa. Toh tidur orang puasa juga ibadah?.Begitu sebagaian orang menyikapi hadist itu. Lalu, mengapa kita tidak menyikapi dengan mafhum muwafaqoh. Tidur saja sudah ibadah, maka apalagi zikirnya?, tilawahnya?
Sebenarnya, hadits itu lebih menjelaskan keutamaan dan keunggulan puasa. Sebab ibadah yang dapat dilakukan secara pasif (berupa tidur) dan tanpa bantuan orang adalah ibadah puasa. Coba perhatikan ibadah sholat, dia tidak bisa dilakukan sambil tidur. Karena di sana ada gerakan ruku dan sujud, dan itu tidak bisa dilakukan dalam keadaan tidur. Demikian juga saat mengeluarkan zakat, tidak mungkin dilakukan dalam keadaan tidur. Sedangkan ibadah haji, meski dapat dilakukan dalam keadaan tidur, tapi saat thawaf, sa’I, wukuf dan melontar jumroh, semuanya membutuhkan bantuan orang. Hanya puasa saja, ibadah yang dapat dilakukan sambil tidur dan tanpa bantuan pihak lain. Oleh sebab itu, hadist itu sejatinya menjelaskan tentang keadaan tidur yang masih dicatat sebagai ibadah, karena tidurnya dilakukan dalam keadaan sedang beribadah, yakni berpuasa, maka ia pun ikut terbawa sebagai ibadah.
Maka saat kita membaca dan mentadabburi hadits itu, timbul kesimpulan, betapa ibadah
puasa lebih unggul dari ibadah lainnya. Jika pahala amal lain dilipatgandakan
hingga sepuluh kali, seratuskali, hingga
tujuh ratus kali pahala. Akan tetapi pahala puasa dapat mengungguli pahala
lainnya. Sebagaimana pernyataan Allah dalam hadits qudsi, “Puasa adalah untukKu,
dan (terserah) aku yang akan memberi pahalanya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar