Saya sering menjawab dengan jawaban seperti ini, “Ya.., mereka itulah syetannya”.
Begini, hadist Nabi saw yang menyebut tentang dibelenggunya syetan kan panjang. Dan semuanya terkait dengan alam ghaib. Coba perhatikan isi kandungan hadistnya. Di sana disebut tentang pahala yang dilipat gandakan, dosa yang diampuni, pintu surga yang dibuka, pintu neraka yang ditutup. Semua itu kan hal-hal yang ghaib. Maka dalam memahami “syetan” yang dibelenggu pun adalah syetan yang dari kalangan bangsa ghaib. Yakni jin. Bukan syetan yang nampak atau zhahir. Al-Quran memakai redaksi kalimat syetan kepada dua, yakni “Syaithonal insi wal jinn (setan manusia dan jin). Atau dengan ungkapan lain “minal jinnati wan naas” (dari kalangan jin dan manusia). Itulah sebabnya, jika ada manusia yang masih tidak puasa padahal tak ada udzur, atau masih ada manusia yang berbuat maksiat di bulan puasa, dia tidak termasuk syetan yang dibelenggu. Karena syetan jenis manusia bukan makhluk ghaib.
KH. Musthofa Bisri , seorang ulama dan budayawan, pernah berkata, “Sekarang banyak muslim, yang tidak mau lagi membaca al-Quran. Karena al-Quran itu suka menyinggung dirinya.” Ungkapan ini dalam sekali. Kenapa? Karena banyak manusia yang lebih banyak berjiwa kesyetanannya dari pada kemanusaiaannya, apalagi berjiwa kemalaikatannya, jauh. Koruptor, penipu, pecundang, pembohong itu kan syetan makhluk zhahir?.
Sementara, fungsi al-Quran itu menyentuh jiwa manusia. Namun, orang-orang munafik selalu merasa tersinggung dan khawatir jika turun wahyu, karena akan membongkar watak asli mereka. “Yahsabuuna kulla shoyhatin ‘alaihim” (mereka selalu menyangka setiap ucapan adalah menyinggung pribadi mereka). Padahal, sikap ketersinggungan oleh al-Quran, dirasakan juga oleh kaum mukminin. Hanya penyikapannya yang berbeda. Para sahabat jika membaca al-Quran dan menyentuh kalbunya, mereka menangis karena khawatir akan ancaman Tuhan, tetapi orang-orang munafiq malah bersikap membenci, kesal, dan ngedumel, jika hatinya disinggung oleh al-Quran. Sikap-sikap ini lah sikap syetan yang sesat yang masih ada dalam diri manusia.
Allah sudah mengubah suasana Ramadhan menjadi suasana kondusif bagi peningkatan iman tiap manusia yang beriman. Itulah makna lain “dibelenggunya syetan-syetan” dalam hadits tersebut. Lalu, apakah kita tega menggantikan peran syetan-syetan terkutuk itu dalam diri kita?. Sejatinya, puasa dapat membeleggu syetan dalam diri kita. Wallahu a’lam.
Muhammad Jamhuri,
10 Ramadhan 1442 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar