Inti sebagai hamba itu sebenarnya kepatuhan. Kepatuhan pada segala perintah dan larangan yang datang dari Tuhan. Dalam bahasa al-Quran sering disebut “Sami’na wa atho’na”. Nabi Ibrahim as diuji bertubi-tubi oleh Allah swt, selalu patuh. Bahwa ada pergolakan pemikiran itu biasa. Tapi intinya kepatuhan dengan sempurna. “Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan) dia melaksanakannya dengan sempurna.” (QS.2:124)
Kembali ke masalah bau mulut. Ini sama dengan larangan tidak dibolehkannya memakai wewangian pada saat ihrom di haji atau umroh. Bahkan di sini lebih radikal lagi, tidak boleh memakai baju berjahit bagi laki-laki. Itu semua diatur agar manusia mengenal jati dirinya. Bahwa, dia akan bau seperti mayit. Pakaian ihrom yang mirip dengan kain kafan serta tidak boleh memakai wewangian tersiimpan pesan agar manusia mengenal jati dirinya. Dia akan mati atau membau. Dengan begitu dia harus lebih patuh kepada Allah swt.
Andai kita menjadi peserta outbond, kadang dua hari kita tidak sempat mandi. Para traininer begitu padat membuat acara di alam terbuka, bahkan kita harus berkotor-kotor dengan tanah merah. Tapi kita tidak melanggar segala aturan yang ditentukan panitia. Kita patuh dan manut, karena di sana reward dan punishment. Itu sikap kita kepada manusia. Bagaimana dengan Allah?.
Allah Maha mengetahui, bahwa di antara hambaNya ada segolongan elit dan kaya, atau golongan orang yang tidak biasa mulutnya bau. Baik karena tidak makan, diam lama, atau lama tidak merokok. Maka Allah menguji mereka dengan puasa. Apakah mereka berani meninggalkan kebiasaan makan dan merokoknya selama berpuasa. Apakah mereka siap mulutnya bau karena itu? Nah, untuk sugesti itulah, Rasulullah saw memberi kabar gembira, bahwa meskipun menurut manusia bau, namun di sisi Allah swt wangi bagai harum minyak kesturi.
Muhammad Jamhuri 6 Ramadhan 1442 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar