Sentilan-Sentilun Ramadhan
Oleh: Muhammad Jamhuri
“Pak
ustadz, kira-kira lebaran tahun ini jatuh pada hari Selasa atau Rabu, ya?” Tanya jamaah
kepada ustadz
“Ah,
Bapak sih kayak anak kecil aja!” Ustadz menaggapi santai
“Maksudnya
apa ustadz? Ada yang salah kalau saya nanya begitu?” Tanya jamaah agak kecewa
“Tidak,
Cuma tidak elok saja..Bahkan boleh dikata tidak dewasa.” Ustadz menanggapi
“Maksud
ustadz?” Tanya jamaah lagi
“Begini,
banyak orang yang konsentarsi ke hari itu, tapi lupa dia sedang berada di hari
apa?
Sedang
di bulan apa? Apa yang dilakukan di tengah-tengah waktu seperti ini?. Ibarat anak
murid,
baru juga beberapa hari menghadapi ujian
semesteran,
sudah nanya kapan liburannya? Lalu lupa tidak mempersiapkan ujiannya, tapi
sibuk membicarakan liburan dengan temannya, dengan keluarganya, dengan berbagai
rencana di dalamnya. Akhirnya, ketika hasil ujian diumumkan, nilainya buruk,
bahkan tidak lulus. Akibat sibuk bicara tentang liburan dan perencanaannya.
Tapi lalai dengan ujiannya” Ustadz coba menjelaskan.
“Bahkan,
beberapa tahun lalu, ramai di media elektronik dan cetak, memberitakan
perbedaan pendapat tentang hari idul fitri, antara satu ormas dengan ormas lain
saling adu argumentasi, kemudian imbas ke masyarakat, hingga di sebuah kampung,
masjid kampung yang satu-satunya menjadi rebutan antara kelompok yang mendukung
lebaran hari ini dengan kelompok yang lebarannya besoknya.
Sudahlah...!
masalah penentuan lebaran kita serahkan
kepada ulil amri, para ulama dan pemerintah, atau ormas yang menjadi naungan
kita. Yang perlu kita menyibukkan diri adalah apakah sisa Ramadhan kita ini
dapat selesai dengan baik? Bisa husnul khotimah? Ataukah hanya akan kita lewati
begitu saja?. Istilah anak murid, ujian yang sedang dihadapi akan mendapat
nilai terbaik tidak?” Ustadz menjelaskan panjang lebar.
“Betul
ustadz. Tapi kenapa orang banyak meributkan hari apa lebaran jatuh ya?” Tanya
jamaah.
“Ini
yang harus kita evaluasi. Pengusaha garmen ingatnya kapan lebaran? Sehingga dia
mempersiapkan peningkatan produksi garmennya. Pengusaha kue juga begitu. Bahkan
orang miskin, atau orang-orang yang pura-pura miskin, konsentrasi nya pada
lebaran, bukan pada ibadah yang rentang waktunya lebih panjang dari pada
lebaran.” Ujar Ustadz menambahkan.
“Maaf
ustadz, tadi ustadz mengatakan orang miskin pun konsentrasinya ‘kapan lebaran’? Apa adakeperluan mereka memikirkan hari lebaran?. Kalau
pengusaha tadi kan wajar memikirkan kapan lebaran? Untuk menentukan jumlah
produknya menjelang dan saat lebaran. Tapi kalau orang miskin kan gak punya
pabrik?” Jamaah protes.
“Lha
kan orang miskin juga tahu kapan saja waktu ramai yang dapat menghasilkan
pendapatan?” Jelas ustadz
“Oh
iya..ya..” . Jamaah mengangguk-angguk
“Nah..gara-gara
konsentrasi kepada hal itu, konsentrasinya serba ke materi, akhirnya hikmah
zakat fitrah yang diajarkan Nabi saw pun sirna.” Ustadz menimpali
“Maksudnya?”
Tanya jamaah.
“Di
antara hikmah zakat fitrah yang harus dikeluarkan sebelum bubar shalat ied,
adalah agar di hari dan suasana berbahagia itu tidak ada lagi kesedihan,
apalagi suasana kemiskinan. Semua mukmin berbahagia. Oleh karena itu, harus
dipastikan semua orang yang miskin mendapat zakat fitrah. Oleh sebab itu juga,
zakat fitrah kewajiban yang harus dikeluarkan untuk setiap individu, baik yang
sudah berakal maupun tidak, dewasa atau anak-anak. Itu agar dipastikan orang miskin semua akan mendapat zakat
fitrah dan mereka ikut berbahagia di hari lebaran. Tapi kenyataannya, setiap
kita mau masuk mesjid atau lapangan untuk melaksanakan shalat idul fitri, pasti
disambut oleh orang miskin, atau orang-orang yang berpura-pura miskin dengan
pakaiannya yang serba kumuh. Demikian juga saat kita bubaran shalat, saat
keluar masjid maka mereka sudah berbaris dengan tangan yang di tengadahakan
sambil minta belas kasih sayang. Bahkan dengan pemandangan anak-anak yang
digendongnya seakan mereka memang dimintai belas kasih sayang. Jika demikian,
mana fungsi zakat fitrah disini yang
katanya sudah dibagikan sebelum shalat id? Apakah zakat fitrah yang kita keluarkan salah sasaran?
Ataukah memang mereka berpura-pura miskin di hari itu? Apapun juga alasannya,
pemandangan banyaknya orang-orang miskin yang meminta belas kasih dihari raya mestinya tidak boleh ada lagi. Tidak sesuai dengan hikmat dan
tujuan adanya zakat fitrah. Karena zakat
fitrah sudah didistribusikan, sebelum shalat ied selesai” Jelas ustadz panjang
lebar.
“Kalau
zakat fitrah sudah didistribusikan kepada mustahik, apa mungkin karena mental
mereka selalu meminta-meminta ustadz, sehingga di Idul Fitri pun, malah mereka
menjamur di sekitar masjid?” Ujar jamaah.
“Wallahu
a’lam...kita tidak boleh su-uz zhon” Ustadz menimpali.
“Tapi
ustadz, pernah ada penilitian dan
sampling, bahwa para pengemis yang biasa mengemis merasa lebih baik jadi pengemis dari pada
bekerja, karena penghasilan mengemis itu lebih besar dari pada bekerja, apalagi
gak punya keterampilan. Bayangkan saja, jika jika lampu merah menyala merah
selama 3 menit, dalam setiap 3 menit itu seorang pengemis mendapat pemberian
sebesar Rp.6000 atau setara Rp.2000 per menit, maka jika sehari mengemis 8 jam,
yang berarti 8 jam x 60 menit = 480 menit x Rp.2000 = Rp960.000/hari. Berarti sebulan (30 hari x Rp 960.000)
pendapatannya mencapai Rp 28.800.000.
Ini berarti lebih besar dari pejabat sekalipun. Nah..apalagi musim
ramadhan dan lebaran seperti ini, pak ustadz.” Terang jamaah.
“Lha
inilah PR kita semua, para ulama harus tetap menanamkan jiwa kemandirian, bahwa tangan di atas lebih baik dari tangan
di bawah, sementara pemerintah harus membuka lapangan pekerjaan dan
pelatihannya. Saya menyaksikan di Turki, di sana nenek-nenek atau kakek-kakek
yang sudah tua sekalipun tidak mengemis, mereka menjual mainan seperti
gangsing, atau menjual sarung tangan, atau topi kupluk di saat musim dingin.
Padahal jika mereka menjadi pengemis pun sudah pantas, namun mereka tidak
lakukan. Demikian juga anak-anak remaja di
Ghaza, -nah kalau ini menurut teman-
mereka tidak mengemis kepada tamu asing yang mengunjungi Gaza, tapi mereka
menawarkan teh panas untuk mendapat se-sen dua sen. Padahal mereka pantas jika
mengemis kepada orang asing yang datang kesana. Jiwa ini yang harus ditanamkan.
Oh ya...kok kita ngobrol sampai ke Turki dan Gaza ya? Tadi di awal kita ngobrol
masalah apa ya?” Tanya ustadz setelah bicara ngalor-ngidul
“Anu
ustadz.....tadi bicara masalah kapan lebaran?.....Tapi....sudahlah ustadz, saya
gak mau tanya lagi.....memang kayaknya gak ada guna. Saya konsentrasi aja lah
beribadah yang terbaik di akhir Ramadhan ini...Masalah penentuan hari Ramadhan
saya serahkan saja kepada ahlinya.... ya kan ustadz?” Tanya jamaah minta
persetujuan.
“Betul...sudah
.! kita lanjutkan tilawahnya saja !..” Ustadz menutup obrolannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar