Yang dimaksud Do’a
Muhasabah di sini adalah doa permohonan yang bersifat introspeksi tentang
pengakuan kesalahan diri yang telah dilakukan pada masa dahulu atau masa yang
baru lalu. Biasanya kita berdoa untuk keperluan masa depan. Contohnya doa
memohon diberi kekayaan, kelancaran usaha, lulus menghadapi ujian, diberi jodoh
yang soleh dam solehah, diberi anak yang soleh dan lain sebagainya. Seluruh doa
itu bersifat permohonan untuk masa yang akan datang. Kebanyakan dari kita
berdoa dengan jenis doa kedua itu.
Meskipun hal itu dibenarkan dan dianjurkan, namun jarang sekali kita berdoa dengan jenis doa
muhasabah. Jenis doa ini memang tidak
banyak permohonan yang berisi keduniaan. Isi doa muhasabah lebih kepada
perenungan atau paling tidak permohonan ampunan atas dosa yang telah dilakukan.
Contohnya berdoa dengan pengakuan bahwa diri telah melakukan kedzaliman dan
kesalahan atau memohon ampunan atas dosa yang telah dilakukan.
Banyak yang tidak
disadari, bahwa doa muhasabah ini sebenarnya, selain fungsi merendah dan
menampakkan kehambaan di hadapan Allah, doa muhasabah juga tidak kalah
pentingnya dengan doa masa depan. Bahkan meski bersifat muhasabah, doa ini juga
dapat membuka jalan menuju keinginan-keinganan masa depan yang juga menjadi
harapan.
Sebagai contoh, doa
muhasabah yang dibaca oleh Nabi Yunus as saat beliau berada di dalam perut ikan
hiu dan di dalam samudera yang gelap gulita. Beliau tidak berdoa kepada Allah
dengan kalimat-kalimat yang berisi agar dikeluarkan dari perut ikan, namun
justru doa beliau berisi pengakuan bahwa tiada Tuhan selain Allah, juga berisi introspeksi
diri bahwa diri telah melakukan kezaliman. Sebagaimana yang disebut dalam
al-Quran:
وَذَا النُّونِ إِذْ ذَهَبَ مُغَاضِبًا
فَظَنَّ أَنْ لَنْ نَقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لَا إِلَهَ
إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنتُ مِنْ الظَّالِمِينَ
Dan
(ingatlah kisah) Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam keadaan marah, lalu ia
menyangka bahwa Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), maka ia
menyeru dalam keadaan yang sangat gelap (gelap dalam perut ikan, dalam laut,
dan malam hari): "Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau,
sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim." (QS. Al-Anbiya:
87)
Demikian juga yang
terjadi pada Nabi Adam as. Saat Nabi Adam as dikeluarkan dari surga dan berada
dalam kebimbangan, maka doa pertama kali yang Allah swt ajarkan kepadanya adalah
doa penghambaan dan pengakuan diri telah berbuat aniaya. Allah swt
menceritakan:
فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ
إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Kemudian
Adam menerima beberapa “kalimat” dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Baqarah: 37)
Ada pun
yang dimaksud dengan beberapa” kalimat” adalah doa yang diajarkan Allah berupa doa
introspeksi diri dan bertaubat. Sebagaimana Allah swt menceritakan:
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِنْ لَمْ
تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنْ الْخَاسِرِينَ
“Keduanya
(Adam dan Hawa) berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami
sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami,
niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raf: 23)
Semua
bentuk doa di atas, meskipun hanya bersifat pengakuan dosa diri sendiri, namun
dapat membuka kebaikan di masa depan. Nabi Yunus as setelah membaca doa itu
justru dikeluarkan dari perut ikan hiu. Nabi Adam as setelah berdoa muhasabah
mendapat ampunan dari Allah dan disambut oleh para Malaikat.
Jadi,
meskipun doa-doa tersebut lebih bersifat setback ke belakang, namun manfaat ke
depannya begitu dahsyat. Salah satu contoh Doa Muhasbah yang berifat ke
belakang namun bermanfaat ke depan adalah istighfar (mohon ampunan).
Di
kisahkan, Hasan al-Bashari suatu hari di datangi oleh tiga orang yang membawa
masalah masing-masing. Orang pertama berkata, “Wahai Guru, aku adalah seorang
petani, namun aku sering gagal panen, adakah kiat agar aku tidak selalu gagal
panen?” Hasan al-Bashari menjawab, “Perbanyaklah olehmu istghfar”
Orang
kedua bertanya “Wahai Guru, aku adalah pedagang, namun sering merugi dalam
berdangang (berbisnis), apa saja kiat agar usaha aku menghasilkan keuntungan?”
Hasan al-Bashari menjawab, “Perbanyaklah olehmu istghfar”
Orang
ketiga berkata, “Wahai Guru, saya adalah orang yang sudah lama menikah dan berumah
tangga namun belum dikarunia anak, adakah cara dan kiat agar Allah swt
memberikan padaku keturunan dan anak-anak?” Hasan al-Bashari menjawab, “Perbanyaklah
olehmu istghfar”
Setelah ketiga orang
itu pergi meninggalkan majelis Hasan al-Bashari, tiba-tiba salah seorang
muridnya bertanya dengan rasa penasaran kepada beliau, “Wahai Guru, sepertinya
seluruh persoalan dapat diselelsaikan hanya dengan memperbanyak istghfar,
sebagaimana yang Engkau anjurkan kepada tiga orang tadi. Adakah dalil yang bisa
Tuan Guru sampaikan tentang hal itu?”. Hasan al-Bashari menjawab, “Bacalah olehmu
firman Allah swt:
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ
إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا - يُرْسِلْ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا - وَيُمْدِدْكُمْ
بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا
“Maka aku (Nuh)
katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun (istighfar) kepada Tuhanmu,
-sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun-, niscaya Dia akan mengirimkan
hujan kepadamu dengan lebat dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan
mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu
sungai-sungai” (QS. Nuh: 10-12)
Suatu hari, seorang jamaah umroh mengadu kepada
pembimbing haji-umroh, “Pak ustadz, pada saat kami berdoa di depan Ka’bah,
mengapa kami tidak bisa menangis? Sedangkan kami melihat jamaah lain menangis
hingaa tersedu-sedu? Apa sebabnya dengan kami ini?” Sang Ustadz balik bertanya,
“Memangnya bapak tadi saat di depan Ka’bah isi doanya apa?” Jamaah itu
menjawab, “Saya memanjatkan doa hajat saya pak Ustadz, agar sepulang umroh,
jabatan saya dapat dipromosikian.” Sang Ustdaz berkata, “Doa itu tidak salah,
namun sebaiknya, sebelum memanjatkan doa hajat dan keperluan, hendaknya kita
memohon terlebih dahului ampunan atas kezaliman yang pernah kita lakukan, baik
kepada Allah, orang tua, keluarga, dan kepada bawahan kita yang mungkin pernah
kita zhalimi.”
Keeseokan
harinya orang itu datang menghadap pembimbing haji-umroh itu dalam keadaan
matanya memerah dan berlinang air mata, seraya berkata, “Alhamdulillah pak
Ustadz, saya kini baru merasakan nikmatnya beroda, saya tadi baru dari Masjidil
Haram, saya berdoa dengan isntrospeksi dan beristighfar atas kesalahan dan dosa
yang pernah saya lakukan, hingga saya sudah tidak sempat lagi dan malu kepada
Allah untuk meminta dipromosikannya jabatan saya..terima kasih pak ustadz..”
Betullah
firman Allah swt yang mendahulukan penghambaan, baru kemudian meminta
pertolongan:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya
Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan”
(QS. Al-Fatihah: 5)
Na'budu diambil dari kata 'ibaadat: kepatuhan dan
ketundukkan yang ditimbulkan oleh perasaan terhadap kebesaran Allah, sebagai
Tuhan yang disembah, karena berkeyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang
mutlak terhadapnya.
Nasta'iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti'aanah:
mengharapkan bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak
sanggup dikerjakan dengan tenaga sendiri.
Wallahu
a’lam bish Showab….
(http://Muhammadjamhuri.blogspot.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar