Rasulullah saw
bersabda, “Berbahagialah orang yang disibukkan dengan menghitung aibnya
daripada sibuk mencari aib orang lain”
Hadist ini singkat,
namun jika diterapkan oleh setiap muslim, maka dahsyat manfaatnya. Baik dalam kehidupan
individu maupun sosial. Orang yang selalu disibukkan dengan menghitung aibnya,
dia tidak akan sempat mencari-cari keburukan orang lain. Disamping itu, dia akan
selalu berusaha mengurangi kesalahannya dan mencari solusi untuk keluar dari
keburukannya itu, sehingga setiap hari kualitas hidupnya semakin baik dan baik.
Berbeda dengan orang yang selalu mencari keburukan orang lain, keburukan yang
terjadi padanya selalu menyalahkan pihak lain.
Seorang guru misalnya,
tatkala merasa dirinya tidak disukai muridnya, atau pelajaran yang diajarkannya
tidak disukai muridnya, maka tipe orang yang disibukkan dengan kekurangan
dirinya, selalu melakukan muhasabah (instrspeksi) diri, apakah penyampaian
pelajarannya kurang jelas, ataukah kurang persiapan, atau boleh jadi sering
berbuat marah pada murid-muridnya?. Sebaliknya,. Orang yang terbiasa disibukkan
mencari kekurangan orang lain, maka dalam kasus di atas, dia bukan merenung
kekurangan dirinya, namun dia selalu menyalahkan murid-muridnya dengan berbagai
argumentasi. Akibatnya perbaikan diri tidak ada, sedangkan murid tidak
mendapatkan kenyamanan dalam menerima pendidikan.
Seseorang yang tidak
membiasakan muhasabah ketika tidak disukai tetangganya, maka akan selalu
introspeksi diri dan berusaha memperbaiki diri, sehingga kualitas hidupnya akan
terus membaik. Sedangkan orang yang selalu mencari keburukan orang lain, maka
yang terjadi adalah menyalahkan tetangga dengan memperbesar masalah yang
sebenarnya kecil menjadi masalah besar. Dapat dibayangkan, jika tetangganya
bersifat seperti itu pula, maka yang akan terjadi adalah cekcok dengan
argumentasi yang saling menyalahkan. Berbeda dengan jika keduanya membiasakan
muhasabah, maka cekcok akan terhindar, dan setiap anggota masyarakat akan
memperbaiki diri, sehingga kualitas kehidupan masyarakat akan menjadi lebih
baik, lebih empati, dan lebih berhati-hati dalam bersikap serta saling hormat
menghormati.
Sikap membiasakan
muhasabah inilah yang selalu dilakukan oleh para Sahabat Nabi saw. Mereka
setiap kali membaca ayat al-Quran tentang ciri-ciri orang Munafiq dan nasib
orang-orang kafir di hari Kiyamat selalu mengucurkan air mata, karena mereka
mengaca diri dan merasa khawatir jangan-jangan sifat-sifat tersebut ada pada diri
mereka. Abu Bakar Ash-Shiddiq jika bertemu dengan orang yang lebih tua usianya,
selalu berkata dalam hatinya, “Oh, alangkah bahagianya orang ini, usianya lebih
tua dari diriku, berarti amal shalehnya lebih banyak ketimbang diriku”.
Sedangkan bila beliau bertemu orang yang usianya lebih muda, beliau berkata
dalam dirinya, “Oh, alangkah bahagianya anak muda ini, usianya masih muda yang
berarti dosa-dosanya masih sedikit, dibandingkan dengan diriku yang sudah tua
dan dosa pun lebih banyak didibanding anak muda itu.
Pada saat Rasulullah
saw menitipkan kepada sekretarisnya data-data orang munafiq dan beliau berpesan
padanya agar data itu tidak dibuka, Umar bin Khattab cepat-cepat bertanya
kepada sekretaris Nabi saw tersebut, apakah nama dirinya tercantum dalam daftar
tersebut? Beliau tidak bertanya tentang nama orang lain yang ada dalam daftar
orang-orang munafiq, namun beliau lebih sibuk mengkhawatirkan dirinya masuk
dalam daftar orang-orang munafiq. Beliau juga pernah berkata kepada para
sahabat, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab”.
Para ulama dahulu
sering membiasakan muhasabah dalam bentuk “al-Khouf dan al-Roja” (takut dan
harap). Rasa takut (al-khouf) dihadirkan saat melakukan amal-amalnya apakah
amal-amal mereka tidak direstui dan tidak diterima Allah swt?. Sedangkan rasa
harap (al-Roja) dihadirkan saat diri mereka menghamba kepada Allah dan merasa
bahwa tidak ada tempat berharap kecuali kepada Allah swt.
Alangkah indahnya hidup
ini jika setiap anggota masyarakat membiasakan muhasabah. Coba bayangkan jika
terjadi kesalahpahaman antar tetangga misalnya, jika mereka membiasakan
muhasabah, maka akan terungkap dialog seperti ini. Tetangga A: “Maaf pak saya
salah, maaf ya saya yang salah” Tetangga B: “Oh tidak, sebenarnya saya yang
salah kok.., gak apa-apa bu,,,,harusnya saya yang minta maaf”. Sedangkan dalam
lingkungan dimana anggota masyarakatnya tidak membiasakan muhasabah, maka akan
terjadi dialog seperti ini: Tetangga A: “Bapak ini bagaimana sih…ini kan
menganggu kita-kita pak?” Tetangga B: “Seenaknya aja bapak ngomong, apa bapak
gak merasa perbuatan bapak itu juga menganggu orang lain”.. dan seterusnya menjadi
debat yang tak berujung, bahkan dapat menimbulkan kericuhan…Benarlah apa yang
disebutkan Nabi saw dalam hadistnya diatas (Shodaqo Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam). Wallahu a’lam bis showab…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar