Kamis, 22 Juli 2021

Aku dan Almarhum KH. Taufiq Hulaimi, MA.

Kamis dini hari 22-07-2021, usai qiyamullail menjelang subuh, aku buka hp dan wa yang masuk. Alangkah sedihnya saat membaca berita duka wafatnya teman dan sahabat-ku, KH. Taufiqul Azhar bin KH. Hulaimi Hatami yang wafat malam kamis 21 Juli 2021 jam 23.55 di RS. Yarsi Jakarta. Air mata saya pun terasa menetes, mengingat dan mengenang saat-saat berkawan dan bergaul dengan beliau walau hanya beberapa bulan intens.

Beliau adalah putra almarhum KH. Hulaimi Hatami, guru di Pondok Pesantren Daarul Rahman, Leuwiliang Bogor. Aku mengenal almarhum Taufiq Hulaimi saat beliau bergabung menjadi mahasiswa di Insitut Islam Darul Rahman (IID) dan termasuk angkatan pertama saat itu sekelas bersama-ku. Beliau sebelumnya adalah alumni Pesantren Daarus Salam Gontor Ponorogo. Orangnya humoris dan berjiwa pembelajar, kutu buku dan serius dalam menuntu ilmu.

Kami berpisah saat beliau mendapat panggilan kuliah di Universitas Al-Azhar sebelum genap setahun di IID. Sejak saat itu kami tidak tahu kabar beliau lagi. Tiga tahun kemudian saya yang mendapat panggilan kulian di Umm al-Quro Makkah setelah sebelumnya sempat kuliah di International Islamic University Islamabad (IIUI), Pakistan.

Pada saat aku kuliah di Makkah, aku kembali bertemu dengan beliau saat beliau menunaikan ibadah umroh di bulan Ramadhan bersama kawannya bernama Ahmad yang juga keluarga Abdurrahman an-Naidy pewakaf tanah Pesantren Daarul Rahman. Ahmad adalah kawan almarhum saat di Gontor dan bersama-sama kuliah di Mesir. Saat itu aku sedang melakukan kegiatan  i'tikaf di 10 terakhir bulan Ramadhan di Masjidil Rahman, dan bertemu di tempat i'tikaf di bagian lantai bawah tanah (Badrom) masjidil haram di pintu/Bab al-Fath. Tentu saja saat masjidil haram belum direnovasi seperti saat ini.

Setelah kami bertiga ngobrol sana-sini, mereka pun kembali ke hotel sederhana di sekitar masjidil haram. Esoknya Taufiq kembali menemuiku di tempat itikafku. Dia bercerita bahwa dia sedang beradu argumen (berdebat) dengan temannya itu. Yaitu masalah mana yang lebih utama, apakah orang yang berjihad di Palestina atau Raja Fahd yang telah berjasa membangun dua Masjidil Haram dan memakmurkankannya untuk kemaslahatan dan kenyamanan jutaan muslim beribadah?. Taufiq pegang pendapat jihad lebih utama, dan Ahmad pegang raja Saudi yang telah membangun masjidil haram. Dia minta pendapatku. Lalu aku cuma menyodorkan ayat al-Quran yang berbunyi:

أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَوُونَ عِنْدَ اللَّهِ

Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidilharam kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta bejihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah (QS. At-Taubah: 19)

Setelah mendapat dalil itu, ia merasa mendapat amunisi untuk mendebat temannya itu. Sejak peristiwa itu, aku tidak tahu, beliau sangat ta'zhim sekali kepadaku. Meskipun aku lebih menta'zhimi beliau. Sebab jangankan secara keturunan yang beliau anak seorang kyai. Dari segi pendidikan pun beliau jauh di atas aku. Karena beliau saat menyelesaikan pendidkan S1-nya di Al-Azhar Mesir, beliau langsung melanjutkan pendidikan S2 dan S3 nya di Univeritas Omm Durman, Sudan hingga menggondol gelar Doktor. 

Pertemuan ketiga kalinya -setelah lama tak berjumpa- adalah saat di Bandara Sokerna-Hatta Jakarta. Saat itu beliau sudah sepekan tiba di Indoseia, Namun akan menjemput kawannya yang datang menyusul dan membawa ijazah S3 yang belum sempat dibawanya. Kebetulan saat itu aku sebagai Ketua STAI Asy-Syukriyah yang membutuhkan ijazah doktor untuk pengajuan izin pembukaan prodi baru Sekolah Tinggi-ku. Akhirnya kami janjian di Airport dan di sana almarhum langsung menyerahkan ijazah yang dibawa kawannya untuk keperluan pembukaan prodi baru di Sekolah Tinggi yang aku pimpin. Luar biasa, begitu ikhlas dan percaya nya beliau kepada kami.

Akhirnya, aku mendengar kabar beliau menjadi mudir (ketua) Ma'had An-Nuamy Jakarta, semacam Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan bahasa Arab (LIPIA).  Ma'had An-Nuamy menggunakan sistem semi pesantren. Disediakan asrama bagi mahasiswa. Bahasa pengantar pembelajarannya pun menggunakan bahasa Arab.

Suatu saat beliau menelpon ku, dan menceritakan akan membuka prodi ekonomi Islam di lembaganya. Karena beliau tahu bahwa aku lulusan prodi Ekonomi Islam baik saat di Umm al-Quro Makkah hingga UIN Syarif Hidayatullah, maka dia minta ijazah ku untuk mengurus pembukaan prodi tersebut. Ingat akan kebaikan beliau padaku, aku langsung datang ke lembaganya dan menyerahkan copy ijazahku.

Beliau adalah salah satu ulama yang membela dan mempertahankan aqidah dan amalan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Meskipun keberadaan beliau di PKS sering disikapi kecurigaan teman-teman yang menganggapnya sebagai wahabi. Beliau sempat curhat padaku seperti itu. Aku hanya menanggapi, ah itu biasa, yang penting kita harus yakin dan teguh serta lurus dalam memperjuangkan Islam Ahlus Sunnah wal Jamaah dan tetap menghormati guru-guru seta selalu berpihak kepada umat. Karena saat berpihak kepada umat, maka sebenarnya kita sedang membela hak-hak umat mayoritas yang beraliran Ahlus Sunnah wal Jamaah. Insya Allah waktu yang akan menjawabnya.

Tulisan-tulisan dan ceramah-ceramah beliau di medsos menunjukkan keberpihakan dan pembelaannya kepada ahlus sunnah wal jamaah.  Meski pun mendapat hujatan dari golongan Salafi Wahabi. Aku termasuk yang menshare beberapa tulisan dan ceramah youtube beliau.Beliau terakhir menjadi pengurus DSP Dewan Syariah Pusat PKS.  yang bertugas mengawasi kebijakan partai agar tak keluar dari koridor syariah Islam.

Beliau juga sedang mendirikan pesantrennya yang belum rampung semuanya.

Kini beliau dipanggil Allah swt yang Maha Pengasih dan Penyayang . Semoga Allah swt mengampuni kesalahannya, dan menerima iman-islamnya serta amal sholeh dan kebaikannya. Selamat jalan kawan, semoga bertemu dengan para syuhada dan orang-orang sholeh di taman surga Allah swt. Aamiin.

Tidak ada komentar: