Rabu, 21 Juli 2021

Menanamkan jiwa pengorbanan Keluarga Nabi Ibrahim Pada Santri

Semalam, saya ajak santri untuk menyaksikan film kisah Nabi Ibrahim as, tepat di hari kedua hari raya Idul Adha atau Idul Qurban. Saya punya prinsip, "al-Farogh Mafadah" Kekosongan (tanpa kegiatan) adalah kerusakan. Maka dari pada malam libur dan tak ada kegiatan, sedangkan pelarajan pun belum dimulai, maka saya putar film tersebut. Saya terjun langsung memberi ulasan dalam setiap adegan film tersebut, karena kapasitas pengetahuan sejarah para santri berbeda-beda. Bahkan boleh jadi, sebagian orang dewasa pun tidak mengenal sebagian adegan itu.

Durasi kisah tentang raja Namrudz saya lewati. Selain karena panjang, juga tidak ada relevansinya dengan sejarah qurban yang ingin diketengahkan. Maklum, durasi utuhnya panjang sekitar 1 jam 49 menit. Kalau diputar semua, santri bisa-bisa tidur jam setengah sebelas malam. Saya putar mulai di menit ke 50. Langsung dari raja Namrudz yang sedang menunjukkan kehebatannya bisa menghidupkan dan mematikan laksana Tuhan di depan nabi Ibarhim, dengan cara membebaskan seorang yang di penjara dan membunuh yang lainnya. Lalu dengan congkaknya Namrudz berkata, "Ibrahim, lihatlah aku pun mampu menghidupkan dan mematikan manusia". Ibrahim cuma menjawab, "Tuhanku mendatangkan matahari dari Timur". Coba kau datangkan dari barat. Namrudz cuma bisa marah, lalu mengusir Ibrahim dari negeri Babilonia, negeri yang dipimpinnya. Ibrohim migrasi ke Yuressalem.

Raja zhalim itu pun mati hanya oleh seekor nyamuk kecil 

Kisah yang lebih tepat untuk pelajaran bagi para santri, bahkan untuk wali santri bukan di situ, tapi kisah diperintahnya nabi Ibrahim untuk meletakkan istri dan puteranya ke sebuah lembah gersang dan tak ada pepohonan. Siti Hajar sempat bingung akan ditinggal berdua saja di sana. Tapi kemudian ia yakin akan dijamin hidupnya karena sedang melaksanakan perintah dari Allah. Ibrahim as pun bukan tidak yakin, tapi sebagai manusia ia merasa kasihan pada putera yang dikasihinya di tempat yang sepi, gersang, tak ada sumber air, apalagi pepohonan. Nah di titik inilah saya memberi ulasan. "Coba kalian pikirkan -ujar saya pada para santri- Nabi Ismail yang masih kecil ditinggal di tempat yang kondisinya seperti itu, bahkan kelaparan dan kehausan. Toh jika kita yakin kepada Allah swt, Allah tidak akan menyia-nyiakan." Allah kasih air zamzam, yang pada waktu berikutnya, Suku Jurhum yang melewati daerah situ pun ikut menetap, hingga Ibrohim as saat mengunjungi anak-istreinya setelah puluhan tahun ditinggal di Makkah terlihat ramai penduduknya

"Sedangkan kalian diletakkan orang tua kalian di sebuah pesantren, yang masih tersedia makanan dan minuman, tempat istirahat yang layak, bahkan bertemu banyak teman, apakah masih merasa tidak nyaman?"  Percayalah kalian harus bersabar sebagaimana bersabarnya Ismail dan Siti Hajar saat "dipesantrenkan" di tempat yang sepi, gersang, panas, dan tak ada seorang pun di sana.

Bagi orang tua wali santri, kisah ini pun hendaknya menjadi pelajaran, bahwa saat kita ikhlas menjalani hidup untuk meraih ridho Allah, Allah akan menjamin rezekinya. Bahkan rezeki yang Allah berikan kepada Ismail as dan Siti Hajar berupa air zamzam kini melimpah dan dapat dinikmati oleh umat Islam dari seluruh dunia sepanjang zaman. 

Terus terang, saat saya mulai membangun pesantren di tempat terpecil ini pun, termotivasi oleh kisah ini. Jadi, kisah-kisah dari al-Quran itu sebenarnya bukan kisah dongeng. Tapi kisah nyata dan harus memberi motivasi dalam hidup kita.

Secara ilmu ekonomi, sebenarnya saya tidak menerapkan teori pemasaran dalam ilmu ekonomi. Dalam teori pemasaran, yang harus diperhatikan dalam membuka "usaha" adalah 4P (Place, Promotion Price dan Product). P pertama jelas tidak memenuhi syarat. Jangankan lokasi strategis, untuk mencapai tempat ini saja jalannya rusak dan jelek serta di jalan yang buntu. Wajar jika saat tahun pertama pembukaan pesantren hanya ada 13 santri saat itu. 

Orang tua harus yakin, bahwa  memondokkan anak, sebenarnya sedang mengirim mujahid/pejuang. Dan seorang mujahid/pejuang di jalan Allah, maka Allah lah yang akan menjamin rezekinya. Sikap iman yang dalam ini yang harus terpatri dalam jiwa setiap mukmin.

Akhirnya kisah nabi Ibrahim pun ditutup dengan ujian harus menyembelih puteranya bernama Ismail as itu. Ini pun terasa begitu berat bagi orang tua. Apalagi anaknya sholeh, patuh, taat dan bagus rupawan. Ayah mana yang tega akan menyembelih darah dagingnya sendiri? Apalagi diiming-iming Iblis bahwa  Ibrahim sebaiknya meninggalkan Tuhannya, dan coba menjadikan Iblis sebagai Tuhan barunya, niscaya Ibrahim tidak akan dipermalukan ketokohannya hanya karena mengiluti perintah Tuhannya untuk membunuh anaknya.

Namun semua godaan dan iming-iming itu dienyahkannya demi melaksanakan perintah Allah swt. Dari situlah Allah swt menjadikannya sebagai pemimpin bagi umat manusia. Karena pemimpin sesungguhnya adalah pemimpin yang telah melewati berbagai ujian dengan baik. Bukan pemimpin yang dihiasi dan dipoles dengan pencitraan yang semu. 

Allah swt berfirman:

وَإِذْ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمَاتٍ فَأَتَمَّهُنَّ قَالَ إِنِّي جَاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِمَامًا

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". (QS. Al-BAqarah: 123) 


Tidak ada komentar: