Rabu, 19 Juni 2024

Ini Dia "ORDAL" Kita di Akhirat

Di belakang gambar makam Nabi saw
Istilah ORDAL (Orang Dalam) biasanya berkonotasi negatif. Itu benar jika dikaitkan dengan urusan dunia saja. Namun jika dikaitkan dengan akhirat istilah tersebut menjadi berkonotasi positf.

Orang yg berhaji saja jika tujuannya duniawi ansich, maka dia merugi (negatif), namun jika dikaitkan dengan akhirat, maka dunia di dapat, dan akhirat pun di dapat.

Firman Allah swt:

Diantara manusia ada yang berdoa, Rabbana berikan kami di dunia, tetapi tdk mendapat apa2 di akhirat, dan di antara mereka ada yang berdoa, Robbana, berikan kami kebaikan di dunia, dan kebaikan di akhirat. Dan lindungi kami dai azab neraka. (al Baqarah: 201)

Seorang yg sekedar makan dan minum hanya mendapat hukum mubah, namun makan-minun jika diniatkan untuk ibadah maka ia mendapat pahala sunnah

Demikian juga dengan istilah ORDAL AKHIRAT, maka bisa dipastikan akan berkonotasi positif.

Siapa yang dimaksud dengan ORDAL AKHIRAT? Tidak lain beliau adalah baginda yang mulia: Rasulullah saw.

Beliaulah satu-satu manusia yang sudah dipastikan diberi hak oleh Allah untuk memberi syafaat (pertolongan) di alhirat.

Nah bagaimana saat kita wafat dan dibangkitkan di akhirat nanti beliau bisa kenal kita? Atau kita kenal beliau? Padahal jangankan di akhirat yg luas dan belum pernah terbayangkan itu, di suatu daerah asing saja, jika kita baru masuk ke daerah situ, sudah merasakan kebingungan?

Nah, salah satu caranya adalah kita mencintainya dengan sepenuh hati. Caranya?

  1. Banyak menyebut nama beliau melalui sholawat kepadanya. Bagaimana kita disebut mencintainya? , sedangkan lidah kita kelu untuk bersholawat padanya. Seberapa Nabi akan mengenal kita tergantung sholawat yg kita lantunkan dan bacakan setiap harinya
  2. Senang menghidupkan sunnah-sunnah dan kebiasaan baik beliau dalam kehidupan sehari-hari kita. Rasulullah saw bersabda, “Siapa yang menghidupkan sunnahku, berarti dia mencintaku. Dan siapa yang mencintaiku, maka dia akan bersamaku di surga
  3. Memperjuangkan risalah dan ajaran yang dibawanya, baik dengan harta, ilmu, pikiran, tenaga, ide bahkan nyawa, sesuai kemampuan kita
  4. Mencintai keluarga beliau (ahlul bait) dan para sahabat-sahabatnya, termasuk 10 sahabat yang dijamin masuk surga.
  5. Senantiasa berwudhu dan melaksanakan shalat fardhu lima waktu dan sunnah

Dalam sebuah hadist, Sahabat pernah bertanya, “Jika di hari kiamat nanti, bagaimana Engkau mengenal umatmu yang sholeh?. Rasulullah saw menjawab, “jika di tengah kerumunan kuda-kuda hitam terdapat kuda putih, bukankah kuda putih itu akan tercirikan?

(Makkah, 6 Juni 2024)

Ibadah, Waktu, dan Keistimewaan Haji

Umroh:  Rangkaian dari Ibadah Haji

 يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْاَهِلَّةِ ۗ قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ ۗ

“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang bulan sabit. Katakanlah, "Itu adalah (penunjuk) waktu bagi manusia dan (ibadah) haji."  

(QS. Al-Baqarah: 189)

Mengapa cuma kata “Haji” yang disebut dalam ayat ini? Bukankah semua ibadah utama terkait dengan waktu?

Syaikh Mutawalli al-Sya’rawi berkata, bahwa ibadah mahdhoh (ritual) dalam Islam terbagi kepada 4 jenis/bentuk:

  1. Ibadah dzikir, ibadah ini tidak membutuhkan tenaga fisik dan harta. Seperti mengucap kalimat “La Ilaaha Illah” atau “Subhanallah” dan lainnya. Bentuk ibadah ini termasuk ibadah yangs paling ringan dilakukan
  2. Ibadah yang membutuhkan tenaga fisik. Seperti shalat  yang mengandung rukun berdiri (qiyam), ruku, sujud dan lainnya.
  3. Ibadah yang perlu mengeluarkan biaya/harta, seperti zakat, sedekah, hibah dan lainnya.
  4. Ibadah yang bersifat menahan hawa nafsu (emosi), seperti puasa

Nah, sedangkan ibadah haji mengandung 4 bentuk ibadah di atas, karena dalam ibadah ini terdapat ibadah zikir (bacaan talbiyah), ada ibadah fisik (thawaf, sa’i, mabit, dan melontar jumroh), ada ibadah harta (membayar ONH atau BPIH) dan ada ibadah menahan hawa nafsu (saat ihram dilarang berfarfum dan melakukuan hubungan biologis)

Itulah sebabnya pada ayat di atas  hanya di sebut “haji” saja untuk semua ibadah yang terkait waktu (mawaqit)

Kemudian kaitan antara ibadah dengan waktu dan tempat (dimensi ruang dan waktu) terbagi kepada 4 bagian:

  1. Ibadah yang tidak terkait dengan waktu dan tempat; seperti zikir, baca Quran dan sedekah. Silakan beribadah ini di mana dan di kapan saja (selain di toilet tentunya)
  2. Ibadah yang terkait dengan waktu, tetapi tidak terkait dengan tempat. Seperti sholat wajib 5 waktu dengan waktu-waktunya yang telah ditentukan. Adapun tempat pelaksanaannya boleh di man saja, asal tdk bernajis
  3. Ibadah yang terkait dengan tempat saja, dan tidak dikaitkan dengan waktu. Seperti ibadah umroh, berupa ibadah thowaf, sa’i dan tahallul, yang tentunya harus dilakukan di tempat Tanah Suci yakni Makkah/Masjidil Haram
  4. Ibadah yang ditentukan waktu dan tempatnya secara bersamaan. Seperti ibadah haji. Ia harus dilakukan di tempat-tempat tertentu (Masya’ir Muqoddasah) seperti Arafah, Muzdalifah, Mina dan Masjidil Haram. Sedangkan waktunya juga telah ditentukan yaitu Syawal, Dzulqodah dan Dzulhijjah (Asyhurun Ma’lumat). Terutama di tanggal 8, 9, 10, 11, 12, 13 Dzulhijjah

Dengan demikian, ibadah haji dilakukan dengan menggabungkan dua unsur: Unsur Ruang dan Unsur Waktu

Jadi, ibadah haji ditinjau dari bentuknya telah menggabungkan 4 bentuk ibadah: ibadah zikir, fisik, harta, emosianal dan spritual

Sedangkan ditinjau keterkaitannya dengan waktu dan tempat, ibadah haji juga menggabungkan unsur ruang dan waktu secara bersamaan.

Wallahu a’lam

H. Muhammad Jamhuri

Makkah, Rabu 12 Juni 2024/6 Dzulhijjah 1445 H

Makna Tarwiyah di Mina Pada 8 Dzulhijjah

Bersama Ust Abdul Somad di Mina
Ada dua pendekatan dalam memaknai arti Tarwiyah:

  1. Kata Tarwiyah berasal dari fiil mujarrod rowiya-yarwa, yang berarti memuaskan dari dahaga. Karena para jamaah haji dahulu menyiapkan air yang banyak untuk persiapaan mabit selama 2-3 hari setelah wukuf di Arafah.
  2. Kata Tarwiyah berasal dari ru’yah, artinya bermimpi, karena pada tanggal 8 Dzulhijjah Nabi Ibrahim bermimpi diperintah Allah swt untuk menyembelih putra bernama Ismail.

Allah swt menceritakan peristiwa ini dg firmannya, “Dan tatkala Ismail telah sampai dewasa, Ibrahim berkata, wahai putraku, aku bermimpi diperintah Allah untuk menyembelih dirimu, bagaimana pendapat kamu? Ismal menjawab: Wahai ayahku, laksanakanlah apa yang diperintahkan padamu, engkau akan dapati termasuk orang-orang yang bersabar (QS: as-Shoffat:102)

Suasana Tarwiyah di Mina
Perintah ini adalah ujian berat bagi loyalitas Ibrahim. Mana yang lebih dia cintai?, putranya yg sejak dahulu ditunggu kelahirannya? Atau kah lebih mencintai dan taat akan perintah Tuhannya : Allah swt ?

Pada akhirnya Nabi Ibrahim memilih loyalitas pada sang Pencipta: Allah swt. Namun demikian, setelah Allah melihat kejujuran loyalitasnya, Allah pun menganggap Ibrahim telah lulus melewati ujiannya. Dan sebagai gantinya, digantinya Ismail dengan seekor domba yg dipersembahkannya melalui Malaikat sebagai rezeki atas kesabaran dan loyalitas keduanya.

Foto: Suasana Tarwiyah di Mina Mekkah pd tgl 8 Dzulhijjah 1445 H/Jumat 14 Juni 2024

Arafah: Upaya Mengenal Diri Untuk Mengenal Allah (Ma'rifatullah)

Sunset di Arafah
Banyak sebab sehingga kawasan padang yang menjadi tempat wukuf para jamaah haji ini dinamakan ARAFAH;

  1. Dinamakan Arafah karena ia tempat pertemuan nabi Adam as dan Siti Hawa pasca dikeluarkan dari surga. Adam diturunkan di wilayah India, dan Siti Hawa diletakkan di Jeddah, setelah keduanya merantau saling mencari, bertemulah mereka di padang Arafah ini. Saat saling bertemu, Adam bertanya kepada Siti Hawa, “HAL ‘AROFTINI?” Hawa pun bertanya, “HAL AROFTANI?” (apakah engkau mengenalku?). Jadilah daerah itu disebut ARAFAH
  2. Dinamakan ARAFAH diambil dari kata I’TIRAF (pengakuan) karena di tempat inilah, para jamaah haji mengakui kesalahan dan dosa yang pernah dilakukannya sembari memohon ampunan Allah swt
  3. Dinamakan AROFAH diambil dari kata AROFA (mengenal), sebagaimana ungkapan kata hikmah: “MAN AROFA NAFSAHU AROFA ROBBAHU (Siapa mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhannya)

Mengenal dirinya artinya “tahu diri”, dari apa dia diciptakan?, untuk apa diciptakan? dan akan kemana dia berakhir?

Dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka dia akan menyimpulkan bahwa dirinya bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Seluruh keberadaannya, aktifitas dan keberhasilannya adalah karena adanya zat yang maujud yang menggerakannya, kemudian pada masanya ia akan dikembalikan kepada zat yang maha Maujud itu.

Sehingga akan timbul rasa “kehambaan” yang maksimal dan totalitas dalam setiap gerak hidupnya. “Dan tidaklah diciptakannya manusia dan jin kecuali hanya untuk menghamba/mengabdi kepadaKu” (Qs.Adz Dzariyat: 56)

Muhammad Jamhuri

Sabtu, 15 Juni 2024/ 9 Dzulhijjah 1445 H

Foto:

Pemandangan sunset di sore Arafah