Selasa, 18 September 2012

Beberapa Kekotoran Dalam Ibadah Haji


Orang yang akan berangkat melaksanakan ibadah haji mesti berharap agar hajinya menjadi haji yang mabrur. Rasulullah saw bersabda, “Haji mabrur tiada balasan yang pantas baginya melainkan surga”.

Oleh sebab itulah, sebelum berangkat, calon jamaah haji diimbau dan diperintahkan oleh Allah swt untuk menyiapkan bekal. “Dan berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa” (QS. Al-Baqarah: 197).

Ayat ini menunjukkan bahwa sebaiki-baik bekal adalah takwa. Takwa adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya. Akan tetapi masih banyak orang yang akan berangkat ibadah haji melakukan kedurhakaan kepada Allah swt, melakiukan kekotoran yang dapat mengotori ibadah hajinya.

Kekotoran dalam melaksanakan ibadah haji terjadi pada tiga kondisi, yakni sebelum, sedang dan setelah melaksanakn ibadah haji.

Kekotoran yang dilakukan sebelum berangkat haji adalah:

Pertama, menggunakan biaya yang haram untuk melaksanakan ibadah haji. Baik berupa hasil korupsi, mencuri  atau menipu. Berangkat haji dengan hasil korupsi kiini menjadi fenomena umum. Mereka menyangka bahwa dengan ibadah haji yang mereka lakukan dan memohon maaf di padang Arafah, maka uang hasil korupsi yang didapatnya sudah dianggap halal dan sudah dimaafkan Allah swt. Padahal uang  hasil korupsi adalah terkait dengan hak manusia dan hak rakyat, yang harus dimintai pertanggungjawaban di hdapan Allah swt.

Penggunaan biaya haji dari harta yang  batil tidak akan menjadikan hajinya diterima oleh Allah swt, terlebih lagi mabrur. Sebab, Allah itu thoyib (baik) dan tidak akan menerima kecuali yang baik pula. Orang yang beribadah haji dengan harta haram ibarat membersihkan rumah dengan sapu yang yang terkena comberan. Bukanlah tempat itu menjadi bersih, malah menjadi lebih kotor..

Kedua, berangkat haji dengan cara sogokan/suap (risywah). Rasulullah saw bersabda, “Orang yang menyogok/menyuap dan orang yang disogok akan masuk neraka.” Di tengah antrian kuota yang begitu lama, tidak jarang calon jamaah haji menyuap pejabat kementerian agama atau petugas haji, agar jatah kuotanya dipercepat, tidak menunggu beberapa tahun lagi, sehingga mereka rela membayar jutaan rupiah agar dapat berangkat haji sebelum waktunya dengan melobi para pejabat tersebut. Tentu saja, perilaku ini bertentangan dengan tujuan ibadah haji tersebut. Bahkan hadits di atas telah menegaskan bahwa orang yang menyuap dan disuap akan masuk neraka.

Ketiga, menabung dan membayar ONH (Ongkos Naiik Haji) atau BPH (Biaya Perjalanan Haji) di Bank Konvensional yang menerapkan sistem riba. Sebab uang yang ditabung/disimpan di bank tersebut, maka mereka sebenarnya ikut bertransaksi dengan cara riba, atau paling tidak, ikut membantu menguatkan sistem riba. Allah swt berfirman, “Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran “ (QS. Al-Maidah: 2). Juga firman Allah swt: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya “ (QS. Al-Baqarah: 275).

Dahulu kala, sebelum berdirinya bank-bamk syariah, mungkin masih dapat disebut keadaan darurat sehingga calon jamaah haji tidak ada pilihan untuk menyetor atau menabung biaya haji. Namun kini, sifat darurat itu telah tiada dengan menjamurnya bank-bank syariah di negeri ini. Ibarat hukum tayammum menjadi batal jika air sudah ditemukan.

Haji adalah ibadah yang suci, maka proses pembayarannya hendaklah dimulai dengan yang suci dari segala dosa agar haji kita menjadi haji mabrur.

Keempat, memanipulasi nama calon jamaah haji. Sebagai contoh, seorang calon jamaah haji bernama A mendapat porsi kuota tahun ini berangkat haji, namun karena wafat atau tidak dapat membayar lunas pada waktunya, maka ada orang lain bernama B ingin menggantikan calon haji A agar bisa berangkat tahun ini juga. Sedangkan secara peraturan, si B harus mengikuti antrian koata. Maka lalu si B merubah semua identitasnya persis seperti nama si A, mulai dari KTP, Paspor, Buku kesehatan, visa dan lain sebagainya. Dalam upaya membuat identitas baru itu, selain memanipulasi nama dan data, dia juga tidak jarang harus membayar suap kepada beberapa pihak, seperti kelurahan, kecamatan, rumah sakit, imigrasi dan kementerian agama.

Perbuatan ini meskipun terlihat sepele, tapi ternyata lebih berbahaya dari bagian pertama  bahasan kita. Karena disana banyak pihak yang dibohongi dan banyak pihak yang ikut dibawa ke neraka karena perbuatan suap-nya.

Sekali lagi, ibadah haji adalah ibadah sakral dan suci, dan dia adalah ibadah hanya wajib sekali dalam seumur hidup. Oleh sebab itu, janganlah kotori ibadah haji kita dengan amal perbuatan yang akan menghilangkan kemabruran haji kita. Sungguh, orang yang menghalalkan berbagai cara dalam melaksanakan ibadah haji adalah termasuk orang yang tidak berakal, karena dia tidak membekali hajinya dengan takwa. Allah berfirman: “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal” (QS.Al-Baqarah: 197).**Muhammad Jamhuri

 

Tidak ada komentar: