Senin, 29 April 2013

Kandungan Lafadz Talbiyah


“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh” (QS. Al-Hajj: 27)

 

Konon, saat Nabi Ibrahim diperintahkan oleh Allah untuk menyeru kepada seluruh manusia agar mengerjakan ibadah haji, beliau berkata, “Wahai Tuhan, bagaiimana suaraku akan sampai kepada seluruh manusia? Sedangkan suaraku terbatas jangkauannya?”. Allah swt menjawab, “Tugasmu adalah menyeru kepada seluruh manusia, sedangkan sampai dan tidaknya seruanmu adalah urusan-Ku.”

Kemudian nabi Ibrahim as menaiki sebuah gunung bernama Jabal Abu Qubaisy. Di atas gunung itulah beliau mengeluarkan semua suaranya menyeru manusia melaksanakan ibadah haji.

Para ulama berkata, sejak itulah perintah ibadah haji diserukan hingga menggema ke manusia saat mereka masih di alam ruh. Jika mereka menjawab “Labbaik” (aku penuhi panggilanMu) maka suatu saat mereka akan ditakdirkan oleh Allah swt melaksanakan ibadah haji.

Kata ‘”labbaik” kemudian menjadi lafadz yang dibaca saat jamaah haji melaksanakan ibadah haji dan umrohnya, yang kemudian dinamakan dengan nama ‘Talbiyah”

Bunyi lafadz Talbiyah yang biasa dibaca para jamaah haji dan umroh adalah: “Labbaik Allahumma Labbaik, Labbaik Laa Syarika Laka Labbaik, Innal Hamda WanNi’mata  Laka walMulk, L:aa Syariika Lak.” (Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, Aku penuhi panggilan-Mu, tiada sekutu bagimu, sesungguhnya segala pujian, nikmat dan kekuasaan hanyalah milik-Mu, aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, dan tiada sekutu bagi-Mu)

Jika diperhatikan, lafadz talbiyah di atas berisi pernyataan kita sebagai seorang hamba kepada  Allah swt terhadap tiga hal:

Pertama, Meyakini bahwa kedatangan  kita ke tanah suci adalah  merupakan panggilan dari Allah swt. Dan bukan semata karena kemampuan harta, jabatan dan kekuatan fisik. Sebab, banyak di antara manusia yang secara fisik mampu, harta berlebihan serta memiliki waktu luang, namun toh mereka belum juga melaksanakan ibadah haji atau umroh. Hal yang sama kita temukan dalam perintah ibadah shalat. Tidak seorangpun mampu melaksanakan shalat dengan perasaan ringan kecuali bagi orang yang meyakini bahwa mereka akan bertemu dengan Allah swt. Sebab shalat adalah perkara yang sangat berat. Allah swt berfirman, “Dan sesungguhnya yang demikian itu (sholat) sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya” (QS. Al-Baqarah: 45-46)

Itulah sebabnya, kita menjawab adzan dengan lafadz  “Laa Haula Wa Laa Quwwata Illa biLLah”  (Tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah swt)  saat seorang muadzin membaca “Hayya ‘AlasSholah” (Marilah kita menunaikan shalat), dan membaca “Hayya ‘Alal-Falah” (Marilah menuju kesuksesan).  Hal ini menunjukkan kelemahan seorang hamba dan kekuatan Allah swt.

Oleh sebab itu saat kita membaca “Labbaik” pada hakekatnya pengakuan bahwa kedatangan kita ke Tanah Suci merupakan panggilan dari Allah swt.

Kedua,  lafadz Talbiyah berisi pengakuan kita sebagai hamba, bahwa Allah swt tidak memiliki sekutu (Laa Syarika lak). Disini kita diajak untuk memurnikan kembali aqidah dan ideologi kita.  Menyambut segala seruan Allah swt serta mendahulukannya dalam segala hal. Sebab dalam ibadah haji terdapat totalitas dalam memenuhi panggilan Allah. Hal ini ditunjukkan dengan meninggalkan kampung halamannya, keluarga, dan pekerjaannya. Belum lagi biaya yang dikeluarkannya untuk memenuhi panggilan Allah swt. Sikap totalitas untuk dan hanya karena Allah ini hendaknya menjadi sikap setiap muslim, terutama mereka yang telah melaksanakan ibadah haji, karena Allah telah mengajarkannya secara praktek dalam ibadah mulia ini.

Ketiga, lafadz Talbiyah berisi pengakuan bahwa segala pujian, nikmat dan kekuasaan adalah milik Allah. (Innal Hamda wan-Ni’mata laka walMulk). Allah-lah pemilik segala pujian, pemilik segala kenikmatan dan pemilik segala kekuasaan.

Disini kita diajak menyadari bahwa manusia tidak pantas mendapat pujian secara mutlak. Sebab, manusia yang tergila-gila dengan pujian maka ia akan bersikap sombong, dan sikap sombong adalah sikap Iblis yang telah dilaknat oleh Allah swt.

Pada lafazd ini juga kita diajari bahwa segala kenikmatan adalah milik Allah swt. Mulai nikmat panca indera, tubuh yang sehat serta nikmat berkemampuan melaksanakan ibadah haji dan umroh, semua itu adalah milik Allah yang diberikan kepada manusia. Hal ini untuk mengingatkan kita, apakah selama ini kita telah menempatkan nikmat-nikmat itu di jalan yang diridhoi Allah swt? Ataukah kita belum menempatkan nikmat-nikmat itu sesuai tempatnya?

Kemudian kita pun diingatkan bahwa segala kekuasan adalah milik Allah. Jabatan dan status sosial serta kekuasaan yang kita pegang pada hekekatnya adalah amanah yang Allah berikan kepada kita agar kita dapat menunaikan amanah itu dengan sebaik-baiknya. Firman Allah swt, “Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. Ali Imran: 26)

Bagian akhir dari lafadz Talbiyah diakhiri dengan pengulangan kata “Laa syariika lak” (Tiada sekutu bagi-Mu). Hal ini untuk mengeaskan kembali perlunya pemurnian aqidah dan orientasi hidup. Yakni semata-mata karena dan untuk Allah swt.

Sebab,  tidak jarang dalam ibadah haji dan umroh terselip tujuan-tujuan selain Allah, seperti  tujuan ingin dipuji  (riya), tujuan agar mendapat  gelar “Haji”, atau bahkan untuk tujuan-tujuan ekonomis tanpa mengindahkan tujuan-tujuan suci.

Secara ringkas, lafadz talbiyah berisi pesan-pesan sebagai berikut:

1. Ketundukan sebagai hamba di hadapan Tuhannya, karena segala kesuksesan hidup dan kemampuan melaksanakan ibadah adalah semata-mata berkat kekuatan yang Allah berikan kepada kita. Itulah sebabnya Rasulullah saw mengajarkan kepada kita doa, “Ya Allah, bantulah aku untuk selalu berdzikir padaMu, bersyukur padaMu dan melakukan sebaik-baik ibadah kepadaMu”

2. Pemurnian aqidah dengan menjadikan orientasi hidup dan ibadah kita hanya karena dan untuk Allah

3. Menyadari bahwa kita adalah hamba yang tidak pantas mendapat pujian jika tidak karena Allah menutup aib dan cela kita. Karena segala pujian pada hakekatnya adalah milik Allah swt. Dengan begitu kita tidak bersikaf sombong

4. Menempatkan nikmat yang telah Allah berikan kepada kita pada jalan yang mendatangkan keridhoan Allah

5. Meyakini bahwa segala jabatan , status dan pangkat adalah amanah yang telah Allah berikan kepada kita, agar kita dapat menajalankan amanah itu denagn sebaik-baiknya serta mendatangkan keriodhoan Allah dan manfaat kepada hamba-hambaNya. Bukan malah jabatan itu mendatangkan kemurkaan Allah kerena merugikan umat manusia.

6. Hendaknya dalam segala ibadah, terlebih ibadah haji dan umroh, tidak disisipi dengan tujuan duniawi yang hina, seperti agar dipuji dengan mendapat gelar haji atau riya.

Semoga Allah swt menerima amal ibadah kita, dan menjadikan haji dan umroh kita sebagai haii yang mabrur dan umroh yang maqbulah. Amin.

 

Tidak ada komentar: