Definisi Ilmu Ekonomi
Dari definisi di atas, maka tugas ilmu ekonomi adalah mencari solusi agar
kebutuhan manusia dapat tetap terpenuhi menghadapi dua persoalan ekonomi, yaitu
kebutuhan yang terus berkembang dan kelangkaan faktor-faktor ekonomi.
Menurut para para ahli ekonomi, kebutuhan manusia tidak terbatas, dari
waktu ke waktu terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Bila dahulu
lsitrik tidak menjadi kebutuhan, maka kini energi listrik menjadi kebutuhan
primer bagi setiap orang, terutama masyarakat yang tinggal di perkotaan.
Demikian juga halnya beberapa alat elektronik, seperti televisi, telepon,
komputer dan lain sebagainya.
Di sisi lain, faktor-faktor ekonomi –menurut mereka- terus berkurang. Hal ini
dapat dilihat dari berkurangnya area pertanian yang ada. Banyak lahan pertanian
diubah menjadi daerah perumahan dan real estate, sehingga faktor ekonomi berupa
pertanian kini berkurang. Demikian pula halnya dengan ekploitasi sumber alam
yang terus menerus digunakan, seperti minyak, bahan tambang, air bersih dan
lainnya, seiring berjalan waktu, maka sumber-sumber ekonomi tersebut mulai
berkurang.
Di tengah dua permasalahan inilah, ilmu ekonomi dituntut untuk
menyelesaikan permasalahannya, sehingga manusia tetap dapat mencukupi kebutuhan
hidupnya. Yang pertama adalah permasalahan keinginan manusia yang terus
berkembang, dan disisi lain permasalahan berupa kelangkaan sumber-sumber
ekonomi.
Perlu diketahui, bahwa definisi ekonomi di atas dibangun di atas dasar pola
pikir sekulerisme, yakni suatu paham atau aliran yang menyatakan bahwa
kehidupan ini harus dipisahkan dengan agama. Agama hanya ditempatkan di
rumah-rumah ibadah saja, dan tidak perlu mengurusi urusan keduniaan, termasuk
urusan ekonomi. Akibatnya definisi dan pengertian ilmu ekonomi pun telah
terlepas dari nilai-nilai agama. Sehingga dari definisi ini dapat kita
simpiulkan sebagai berikut:
Pertama, manusia dalam ilmu ekonomi Barat adalah objek ekonomi, karena dia
merupakan sesuatu yang menjadi tujuan dari adanya ilmu ekonomi, bukan dijadikan
sebagai subjek yang menentukan arah perkembangan ekonomi.
Kedua, definisi ini telah jauh dari nilai-nilai agama, karena definisi ini
meyakini bahwa Allah swt tidak memberikan cukup rezeki kepada
makhluk-makhlukNya, seakan rezeki Allah itu bersifat langka dan selalu
berkurang.
Ketiga, definisi ini meyakini kelangkaan rezeki Allah, maka timbullah teori
baru yang disebut dengan Family Planning (keluarga berencana), yang memberi
pengertian pembatasan kelahiran anak, dalam rangka menyesuaikan antara faktor
produksi yang terus berkurang dengan jumlah manusia yang menggunakan faktor
produksi itu.
Keempat, definisi ini tidak membedakan antara want (keinginan) dan needs
(kebutuhan), padahal antara want dan needs sangatlah berbeda. Want (keinginan)
tidak ada batasnya, sedangkan needs (kebutuhan) mempunyai tingkatan dan
prioritas.
Kelima, definisi ini tidak mengaitkan usaha pemenuhan kebutuhan dengan
ajaran agama, sehingga dikhawatirkan adanya upaya menghalalkan berbagai cara
dalam usaha memenuhi kebutuhan manusia.
Definisi Ilmu Ekonomi Islam
Oleh sebab terlepasnya definisi ekonomi konvensional dari nilai-nilai
ajaran agama Islam, maka ilmu ekonomi Islam menjadi salah satu alternatif
mengisi kekosongan itu, bahkan menjadi pengganti sistem ekonomi konvensional
yang telah membuat banyak negara gagal dengan sistem itu.
Ilmu ekonomi Islam dalam didefinisiakan sebagai suatu ilmu yang membahas
tentang cara memenuhi kebutuan manusia dengan pemanfaatan faktor-faktor
produksi yang tersedia secara optimal dan pendistribusiannya sesuai dengan
ajaran syari’at Islam.
Dalam definisi ini terkandung ajaran Islam sebagai pedoman dalam melaksanakan
aktifitas ekonomi, mulai dari produksi, konsumsi hingga distribusi. Sehingga
setiap aktifitas dan usaha untuk memenuhi kebutuhan manusia harus sesuai dengan
ajaran Islam.
Dalam definisi ini juga, tidak menjadikan kelangkaan sumber-sumber ekonomi
menjadi suatu masalah. Masalah utama menurut definisi ini adalah
ketidakoptimalannya memanfaatkan sumber-sumber ekonomi yang telah disediakan
Allah swt. Sebab, pada dasarnya Allah swt telah memberi rezeki kepada para
makhluk-Nya dengan cukup. Firman Allah swt:
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى
اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ
مُبِينٍ
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi
melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam
binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang
nyata (Lauh mahfuzh)” (QS. Hud: 6).
Yang dimaksud dengan binatang melata adalah segenap
makhluk Allah yang bernyawa.
Dengan demikian, maka permasalahan utama pada ekonomi
adalah bukan terletak pada kelangkaan sumber-sumber ekonomi yang tersedia,
karena hal itu semuanya telah dicukupkan oleh Allah swt. Yang menjadi
permasalahan ekonomi menurut Islam adalah masalah kurangnya pemanfaatan sumber
ekonomi yang telah disediakan oleh Allah swt.
Oleh sebab itu, menurut ekonomi Islam, faktor utama
kemajuan dan perkembangan ekonomi bukanlah terletak pada faktor-faktor produksi
atau sumber-sumber ekonomi, seperti tanah (land), pekerjaan (labour), atau
modal (capital). Akan tetapi faktor utama bagi perkembangan ekonomi adalah
manusianya itu sendiri. Manusialah faktok utama perkembangan ekonomi. Oleh
sebab itu, al-Qur’an dan al-Hadits begitu serius memperhatikan sumber daya
manusia, mengarahkannya dan memberikan petunjuk yang begitu lengkap, agar
mereka dapat hidup bahagia dan sejahtera di dunia dan di akhirat.
Salah satu arahan al-Quran kepada manusia adalah agar
mereka menuntut ilmu. Bahkan wahyu yang pertama diturunkan oleh Allah swt
kepada Rasulullah saw adalah perintah membaca (iqra’). Sebab, dengan ilmulah
manusia dapat menciptakan suatu kemajuan, termasuk kemajuan di bidang ekonomi.
Sebagai contoh, di bidang pertanian, dahulu kala para petani hanya mengalami
panen setahun sekali. Namun, berkat ilmu yang diberikan Allah swt kepada
manusia, kini para petani dapat mengalami panen dua kali bahkan tiga kali dalam
setahun. Demikian pula penemuan dalam bidang pengembangbiakan hewan ternak,
kini para peternak mendapat penghasilan lebih dibanding sebelum ilmu tentang
pengembangbiakan hewan ternak ditemukan. Sehingga kekhawatiran para ahli
ekonomi konvensional agar dikembangkannya program family planning (keluarga
berencana) dalam pengertian pembatasan kelahiran manusia dapat ditepis. Sebab,
ternyata pertumbuhan penduduk tidak selamanya mengakibatkan ketimpangan ekonomi
jika perhatian pada peningkatan kualitas manusianya dapat terwujud. Sebagai
contoh, dahulu kala saat penduduk manusia masih sedikit, kita sebagai
masyarakat jarang sekali mengkonsumsi daging ayam atau daging sapi. Bahkan ada
ungkapan, bahwa kita dapat mengkonsumsi daging ayam atau daging sapi jika ada
acara-acara tertentu, seperti pernikahan atau kendurian. Namun, justru saat
ini, dengan jumlah penduduk yang semakin banyak dan meledak, kita mudah
mengkonsumsi daging ayam atau daging sapi, kapanpun kita menghendakinya, tidak
harus menunggu-nunggu acara tertentu. Ini menunjukkan bahwa bertambahnya
penduduk manusia tidak akan menyebabkan kekurangan rezeki jika manusianya
berkualitas dengan ilmu, terlebih jika dapat memanfaatkan rezeki yang tersedia
ini dengan sebaik dan seoptimal mungkin
sesuai dengan ajaran agama Islam.
Kemudian tentang wants (keinginan) dan needs (kebutuhan)
terdapat perbedaan. Want (keinginan) yang selalu berkembang dan tiada batasnya
harus dibatasi dengan rambu-rambu halal dan haram, sedangkan kebutuhan harus
dirunut menurut prioritasnya. Oleh sebab itu Islam melarang ekpolitasi sumber
ekonomi yang dapat merusak lingkungan, merugikan banyak orang serta dilakukan
dengan cara-cara yang haram. Sedangkan dalam hal kalsifikasi kebutuhan, Islam
telah membagi kebutuhan kepada tiga kategori; dharuriyat (primer), hajiyat
(sekunder) dan tahsiniyat (tersier). Ketiga klasifikasi berlaku pada fungsi
pemeliharaan lima hal: memelihara agama (hifzu al-din), memelihara jiwa (hifzu
al-nafs), memelihara akal (hifzu al-‘aql), memelihara harta (hifzu al-maal),
dan memelihara kehormatan dan keturunan (hifzu al-‘irdh wa al-nasl). Tidak
boleh mendahulukan tahsiniyat di atas hajiyat, dan tidak boleh mendahulukan
hajiyat di atas dharuriyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar