Sabtu, 20 April 2013

Perbedaan Ilmu Ekonomi Islam dan Ilmu Ekonomi Konvensional Dalam Tinjauan Defdinisi


Definisi Ilmu Ekonomi

 Ilmu Ekonomi adalah ilmu yang membahas bagaimana cara memenuhi kebutuhan di tengah keinginan yang selalu baru dan kelangkaan faktor-faktor ekonomi.

Dari definisi di atas, maka tugas ilmu ekonomi adalah mencari solusi agar kebutuhan manusia dapat tetap terpenuhi menghadapi dua persoalan ekonomi, yaitu kebutuhan yang terus berkembang dan kelangkaan faktor-faktor ekonomi.

Menurut para para ahli ekonomi, kebutuhan manusia tidak terbatas, dari waktu ke waktu terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Bila dahulu lsitrik tidak menjadi kebutuhan, maka kini energi listrik menjadi kebutuhan primer bagi setiap orang, terutama masyarakat yang tinggal di perkotaan. Demikian juga halnya beberapa alat elektronik, seperti televisi, telepon, komputer dan lain sebagainya.

Di sisi lain, faktor-faktor ekonomi –menurut mereka- terus berkurang. Hal ini dapat dilihat dari berkurangnya area pertanian yang ada. Banyak lahan pertanian diubah menjadi daerah perumahan dan real estate, sehingga faktor ekonomi berupa pertanian kini berkurang. Demikian pula halnya dengan ekploitasi sumber alam yang terus menerus digunakan, seperti minyak, bahan tambang, air bersih dan lainnya, seiring berjalan waktu, maka sumber-sumber ekonomi tersebut mulai berkurang.

Di tengah dua permasalahan inilah, ilmu ekonomi dituntut untuk menyelesaikan permasalahannya, sehingga manusia tetap dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Yang pertama adalah permasalahan keinginan manusia yang terus berkembang, dan disisi lain permasalahan berupa kelangkaan sumber-sumber ekonomi.

Perlu diketahui, bahwa definisi ekonomi di atas dibangun di atas dasar pola pikir sekulerisme, yakni suatu paham atau aliran yang menyatakan bahwa kehidupan ini harus dipisahkan dengan agama. Agama hanya ditempatkan di rumah-rumah ibadah saja, dan tidak perlu mengurusi urusan keduniaan, termasuk urusan ekonomi. Akibatnya definisi dan pengertian ilmu ekonomi pun telah terlepas dari nilai-nilai agama. Sehingga dari definisi ini dapat kita simpiulkan sebagai berikut:

Pertama, manusia dalam ilmu ekonomi Barat adalah objek ekonomi, karena dia merupakan sesuatu yang menjadi tujuan dari adanya ilmu ekonomi, bukan dijadikan sebagai subjek yang menentukan arah perkembangan ekonomi.

Kedua, definisi ini telah jauh dari nilai-nilai agama, karena definisi ini meyakini bahwa Allah swt tidak memberikan cukup rezeki kepada makhluk-makhlukNya, seakan rezeki Allah itu bersifat langka dan selalu berkurang.

Ketiga, definisi ini meyakini kelangkaan rezeki Allah, maka timbullah teori baru yang disebut dengan Family Planning (keluarga berencana), yang memberi pengertian pembatasan kelahiran anak, dalam rangka menyesuaikan antara faktor produksi yang terus berkurang dengan jumlah manusia yang menggunakan faktor produksi itu.

Keempat, definisi ini tidak membedakan antara want (keinginan) dan needs (kebutuhan), padahal antara want dan needs sangatlah berbeda. Want (keinginan) tidak ada batasnya, sedangkan needs (kebutuhan) mempunyai tingkatan dan prioritas.

Kelima, definisi ini tidak mengaitkan usaha pemenuhan kebutuhan dengan ajaran agama, sehingga dikhawatirkan adanya upaya menghalalkan berbagai cara dalam usaha memenuhi kebutuhan manusia.

 

Definisi Ilmu Ekonomi Islam
 
Oleh sebab terlepasnya definisi ekonomi konvensional dari nilai-nilai ajaran agama Islam, maka ilmu ekonomi Islam menjadi salah satu alternatif mengisi kekosongan itu, bahkan menjadi pengganti sistem ekonomi konvensional yang telah membuat banyak negara gagal dengan sistem  itu.

Ilmu ekonomi Islam dalam didefinisiakan sebagai suatu ilmu yang membahas tentang cara memenuhi kebutuan manusia dengan pemanfaatan faktor-faktor produksi yang tersedia secara optimal dan pendistribusiannya sesuai dengan ajaran syari’at Islam.

Dalam definisi ini terkandung ajaran Islam sebagai pedoman dalam melaksanakan aktifitas ekonomi, mulai dari produksi, konsumsi hingga distribusi. Sehingga setiap aktifitas dan usaha untuk memenuhi kebutuhan manusia harus sesuai dengan ajaran Islam.

Dalam definisi ini juga, tidak menjadikan kelangkaan sumber-sumber ekonomi menjadi suatu masalah. Masalah utama menurut definisi ini adalah ketidakoptimalannya memanfaatkan sumber-sumber ekonomi yang telah disediakan Allah swt. Sebab, pada dasarnya Allah swt telah memberi rezeki kepada para makhluk-Nya dengan cukup. Firman Allah swt:

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh)” (QS. Hud: 6).

Yang dimaksud dengan binatang melata adalah segenap makhluk Allah yang bernyawa.

Dengan demikian, maka permasalahan utama pada ekonomi adalah bukan terletak pada kelangkaan sumber-sumber ekonomi yang tersedia, karena hal itu semuanya telah dicukupkan oleh Allah swt. Yang menjadi permasalahan ekonomi menurut Islam adalah masalah kurangnya pemanfaatan sumber ekonomi yang telah disediakan oleh Allah swt.

Oleh sebab itu, menurut ekonomi Islam, faktor utama kemajuan dan perkembangan ekonomi bukanlah terletak pada faktor-faktor produksi atau sumber-sumber ekonomi, seperti tanah (land), pekerjaan (labour), atau modal (capital). Akan tetapi faktor utama bagi perkembangan ekonomi adalah manusianya itu sendiri. Manusialah faktok utama perkembangan ekonomi. Oleh sebab itu, al-Qur’an dan al-Hadits begitu serius memperhatikan sumber daya manusia, mengarahkannya dan memberikan petunjuk yang begitu lengkap, agar mereka dapat hidup bahagia dan sejahtera di dunia dan di akhirat.

Salah satu arahan al-Quran kepada manusia adalah agar mereka menuntut ilmu. Bahkan wahyu yang pertama diturunkan oleh Allah swt kepada Rasulullah saw adalah perintah membaca (iqra’). Sebab, dengan ilmulah manusia dapat menciptakan suatu kemajuan, termasuk kemajuan di bidang ekonomi. Sebagai contoh, di bidang pertanian, dahulu kala para petani hanya mengalami panen setahun sekali. Namun, berkat ilmu yang diberikan Allah swt kepada manusia, kini para petani dapat mengalami panen dua kali bahkan tiga kali dalam setahun. Demikian pula penemuan dalam bidang pengembangbiakan hewan ternak, kini para peternak mendapat penghasilan lebih dibanding sebelum ilmu tentang pengembangbiakan hewan ternak ditemukan. Sehingga kekhawatiran para ahli ekonomi konvensional agar dikembangkannya program family planning (keluarga berencana) dalam pengertian pembatasan kelahiran manusia dapat ditepis. Sebab, ternyata pertumbuhan penduduk tidak selamanya mengakibatkan ketimpangan ekonomi jika perhatian pada peningkatan kualitas manusianya dapat terwujud. Sebagai contoh, dahulu kala saat penduduk manusia masih sedikit, kita sebagai masyarakat jarang sekali mengkonsumsi daging ayam atau daging sapi. Bahkan ada ungkapan, bahwa kita dapat mengkonsumsi daging ayam atau daging sapi jika ada acara-acara tertentu, seperti pernikahan atau kendurian. Namun, justru saat ini, dengan jumlah penduduk yang semakin banyak dan meledak, kita mudah mengkonsumsi daging ayam atau daging sapi, kapanpun kita menghendakinya, tidak harus menunggu-nunggu acara tertentu. Ini menunjukkan bahwa bertambahnya penduduk manusia tidak akan menyebabkan kekurangan rezeki jika manusianya berkualitas dengan ilmu, terlebih jika dapat memanfaatkan rezeki yang tersedia ini dengan sebaik  dan seoptimal mungkin sesuai dengan ajaran agama Islam.

Kemudian tentang wants (keinginan) dan needs (kebutuhan) terdapat perbedaan. Want (keinginan) yang selalu berkembang dan tiada batasnya harus dibatasi dengan rambu-rambu halal dan haram, sedangkan kebutuhan harus dirunut menurut prioritasnya. Oleh sebab itu Islam melarang ekpolitasi sumber ekonomi yang dapat merusak lingkungan, merugikan banyak orang serta dilakukan dengan cara-cara yang haram. Sedangkan dalam hal kalsifikasi kebutuhan, Islam telah membagi kebutuhan kepada tiga kategori; dharuriyat (primer), hajiyat (sekunder) dan tahsiniyat (tersier). Ketiga klasifikasi berlaku pada fungsi pemeliharaan lima hal: memelihara agama (hifzu al-din), memelihara jiwa (hifzu al-nafs), memelihara akal (hifzu al-‘aql), memelihara harta (hifzu al-maal), dan memelihara kehormatan dan keturunan (hifzu al-‘irdh wa al-nasl). Tidak boleh mendahulukan tahsiniyat di atas hajiyat, dan tidak boleh mendahulukan hajiyat di atas dharuriyat.

Tidak ada komentar: