POLIGAMI DALAM ISLAM
H. Muhammad Jamhuri, Lc
Pendahuluan
Islam adalah agama
universal yang mengatur segenap tatanan kehidupan manusia. Sistem dan konsep
yang dibawa Islam sesungguhnya padat nilai dan memberikan manfaat yang luar
biasa kepada umat manusia. Konsepnya tidak hanya berguna pada masyarakat
muslim, tapi dapat dinikmati siapapun. Sistem Islam ini tidak mengenal batas ruang dan waktu, tetapi selalu
laik diterapkan kapan dan di mana saja tanpa menghilangkan faktor-faktor
kekhususan suatu masayarakat. Semakin utuh konsep itu diaplikasikan, semakin
besar manfaat yang diraih.
Di sisi lain, syariat
Islam banyak dipahami orang secara keliru. Penyebab utama adalah faktor
“keawaman” terhadap hukum Allah ini. Juga tak
bisa dipungkiri keterlibatan Barat dalam memperburuk asumsi
itu.
Allah SWT yang menciptakan
manusia, tidak mungkin menetapkan yang tidak relevan dengan kehidupan manusia.
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu, termasuk sikap, sifat dan
kecenderungan manusia dengan segala
tabiatnya, baik dia jenis laki-laki maupun wanita, baik secara individu maupun
sosial.
Di antara beberapa hukum
yang mendapat perhatian Allah SWT dalam kaitannya dengan manusia adalah hukum
poligami (ta’addud zaujat).
Poligami merupakan
persoalan kemanusiaan dan masyarakat yang selalu menjadi bahan perbincangan di setiap tempat dan waktu. Bukan karena
Islam telah menurunkan syariat tentang itu, tapi jauh sebelumnya persoalan
poligami sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia di setiap zaman.
Pada zaman kini pun banyak kita temukan pendapat pro dan
kontra di sekitar persoalan ini. Sebagian masyarakat dewasa ini banyak melihat
dengan sebelah mata terhadap lelaki yang mempunyai lebih dari satu isteri.
Bahkan orang yang berpoligami terkadang menjadi buah bibir dan cemoohan di masyarakat.
Banyak tuduhan negatif yang dilemparkan kepada mereka yang berpoligami. Hal ini
disebabkan suatu kenyataan bahwa kebanyakan dari mereka sering menimbulkan
masalah dalam keluarganya. Di sisi lain ada orang yang berpandangan bahwa
poligami adalah sunnah Rasulullah SAW sehingga mendorongnya untuk melakukan
ibadat sunnah sebanyak-banyaknya, termasuk berpoligami. Bahkan ada sebagian
orang berpendapat bahwa poligami adalah suatu
kewajiban sesuai dengan ayat yang tersebut dalam Al-Qur’an, dengan alasan bahwa
kalimat (amr) perintah dalam Al-Qur’an tersebut mengandung hukuk wajib.
Lalu bagaimana sebenarnya
Islam menyikapi persoalan ini?. Tulisan ini mencoba
mengetengahkan persoalan di atas menurut
pandangan Islam. Harapan penulis semoga tulisan yang
sederhana ini menambah wawasan pengetahuan kita tentang ajaran Islam universal,
meskipun penulis sadar bahwa hal ini belum sepenuhnya mendudukkan persoalan pada proporsinya yang sesuai
dengan Islam.
Poligami Dalam Tinjauan Historis
Persoalan poligami bukan
hanya eksis pada masa Islam, ia telah ada sejak sebelum datangnya Islam dan
telah dipraktekkan oleh bangsa-bangsa terdahulu., seperti bangsa Yunani, Cina,
India, Babilonia, Mesir dan bangsa lain yang mempunyai peradaban tinggi dalam
sejarah dunia. Bahkan bangsa Cina pernah mempunyai undang-undang yang membolehkan laki-laki berpoligami dengan 130 wanita.
Sejarah Cina juga pernah mencatat bahwa salah seorang bangsawannya pernah
memiliki isteri sebanyak 30.000 isteri.
Bangsa Yahudi pun tidak
berbeda dengan bangsa lainnya. Ia membolehkan pengikutnya berpolgami. Bahkan
para nabi Bani Israil, tanpa terkecuali, mempunyai banyak isteri. Dalam sejarah
tercatat bahwa Nabi Sulaiman memiliki 700 isteri dari orang merdeka dan 300
wanita dari kalangan hamba sahaya.
Dalam Bibel, meskipun
tidak ada ayat-ayat yang menyentuh poligami, tapi tidak ada satu ayat pun yang
melarang poligami. Di sana cuma ada nasehat bahwa Tuhan telah
menjadikan bagi laki-laki seorang isteri. Secara tersirat, ayat ini mengandung
pengertaian bahwa boleh berpoligami dalam situasi tertentu, sebab tidak ada
yang menyebutkan bahwa bila seseorang kawin dengan isteri kedua disebut sebagai
penzina. Meskipun dalam Bibel tidak disebutkan
secara sharih, tapi surat Paulus
menyebutkan bolehnya berpoligami. Surat Paulus itu berbunyi: “Seorang uskup
hanya boleh memiliki satu isteri”. Bunyi surat ini mengandung arti boleh
berpoligami bagi selain uskup.
Waster Mark, pakar sejarah
perkawinan pernah menulis: “Poligami telah diakui gereja hingga abad ke 17”. Ia
juga menyebutkan bahwa raja Irlandia, Masdt memiliki dua isteri.
Marthin Luther pun sering
berbicara tentang poligami dan tak seorang pun mengingkarinya.
Pada tahun 1949 penduduk
Bonn pernah mengajukan tuntutan kepada pemerintahnya agar memasukkan hukum
dibolehkannya poligami dalam undang-undang Jerman.
Memang para pakar telah
banyak memuji hukum poligami, di antaranya
Grotius, seorang ahli hukum terkenal. Ia membenarkan telah terjadi poligami
pada para pendeta dan nabi bangsa Ibrani yang tersebut dalam Perjanjian Lama.
Dalam sejarah pun pernah
disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah memerintahkan seorang yang telah
masuk Islam untuk mencerai isteri-isterinya yang berjumlah lebih dari empat dan
untuk cukup dengan empat isteri saja. Ini menunjukkan bahwa pada zaman Jahiliyyah
telah terjadi poligami.
Poligami dan Islam
Dalam Islam masalah poligami sudah tidak asing lagi. Dan
justrtu ramainya perbincangan tentang poligami lebih dikarenakan ia ada dalam
hukum Islam yang dewasa ini Islam menjadi sasaran serangan kaum yang benci
terhadap Islam, terlebih setelah timbulnya analisis dari seorang pakar
futurulog Samuel Huntington yang menyatakan bahwa setelah runtuhnya masa perang
dingin dengan Uni Soviet (komunis), akan terjadi pertentangan antara peradaban
Barat dengan Islam.
Dalam menyikapi persoalan poligami, ada dua ayat dalam
surat An-Nisa yang saling berhubungan untuk mengambil suatu natijah
hukum, atau paling tidak mengenal lebih proporsional kedudukan poligami dalam
Islam.
Ayat pertama terdapat
dalam surat An-Nisa ayat 3 yang berbunyi:
وان خفتم ألا تقسطوا في اليتامى
فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع فان خفتم ألاتعدلو فواحدة أو ما ملكت
أيمنكم ذلك أدنى ألا تعولوا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka
kawinlah wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, maka (kawinlah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya (Ani-Nisa: 3)
Ayat berikutnya firman
Allah SWT:
ولن تستطيع أن تعدلوا بين النساء
ولو حرصتم فلا تميلوا كل الميل فتذروها كالمعلقة وأن تصلحوا وتتقوا فا ن الله كان غفورا
رحيما
“Dan kamu sekali-kali
tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walau pun kamu
sangat ingin berbuat demikian. Karena itu jangan kamu terlalu cenderung (kepada
yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung, dan jika
kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (An-Nisa: 129)
Dari dua ayat di atas
dapat diambil kesimpulan sebagaimana yang dipahami pula oleh Jumhur muslimin
sejak zaman Nabi, sahabat, tabi’in dan masa tumbuhnya ijtihad sebagai berikut:
1.
Hukum poligami hingga empat isteri adalah mubah, karena
lafadz “fankihu” walaupun berupa amr (perintah) tapi mengandung makna
mubah, bukan wajib. Sebagaimana hal itu pun menjadi pendapat jumhur mujtahidin
dalam setiap masa. Oleh karena itu pendapat yang mengatakan bolehnya
berpoligami lebih dari empat adalah pendapat yang tidak berdasar.
2.
Mubahnya hukum poligami harus dengan syarat dapat berbuat
adil terhadap para isteri. Jika tidak yakin bahwa dirinya tidak dapat berbuat adil, maka tidak boleh kawin poligami. Namun
demikian bila orang tersebut melangsungkan perkawinannya, maka akad nikahnya
tetap sah menurut ijma’ (konsensus) ulama meskipun ia tetap dihukumi berdosa.
Para ulama sepakat, sebagaimana dikuatkan oleh tafsir dan perbuatan rasulullah
SAW, bahwa yang dimaksud dengan adil di sini (ayat pertama) adalah adil dalam
pengertian segi materi, seperti rumah, pakaian, makanan, minuman dan segala
sesuatu yang berhubungan dengan mu’amalah kepada isteri.
3.
Ayat pertama menunjukkan persyaratan kemampuan memberi
nafkah kepada isteri kedua dan
anak-anaknya. Hal ini berdasarkan lafadz “an laa ta’uulu” yang berarti
jangan memperbanyak keluargamu. Ini merupakan tafsir ma’tsur dari Imam Syafi’i.
Persyaratan ini merupakan syarat keagamaan bukan syarat qodlo’ (sah atau
tidaknya perbuatan).
4.
Ayat kedua memberi gambaran bahwa berbuat adil dalam mencintai
isteri-isteri adalah suatu hal di luar kemampuan. Oleh karena itu sang suami
hendaknya jangan terlalu berpaling membiarkan isteri pertama
sehingga terkatung-katung, digauli tidak, diceraikan pun tidak. Tapi
hendaknya sang suami dapat menggaulinya
dengan lemah lembut dan baik semampunya, sehingga dapat meraih cintanya lagi.
Oleh sebab itu ketika Rasulullah SAW
berusaha berbuat adil terhadap iateri-isterinya beliau berkata:
اللهم هذا قسمي فيما أملك فلا تؤاخذني فيما لا أملك
“Ya Allah, inilah bagaianku yang ku miliki, janganlah Kau
hukum aku pada apa yang tak ku miliki”
Namun demikian, di sisi lain ada sebagian orang memahami kedua ayat di
atas sebagai sesuatu larangan berpoligami. Mereka mendasrkan pendapatnya bahwa
ayat pertama mensyaratkan adil terhadap isteri-isteri, sedangkan ayat kedua
menunjukkan kemustahilan melakukannya. Sehingga, menurut mereka, poligami
disyaratkan dengan suatu syarat yang mustahil terwujud, jadi poligami adalah
dilarang.
Tentunya pendapat mereka
ini mempunyai kelemahan dan dapat dibantah dari beberapa tinjauan:
1.
Bahwa dalil yang menjadi syarat pada ayat pertama bukan
adil yang disebutkan pada ayat kedua. Yang dimaksud dengan adil pada ayat
pertama adalah adil yang masih mungkin dapat dilakukan suami, yaitu adil yang
bersifat materi seperti pakaian, nafkah dan lain sebagainya. Sedangan adil yang tidak mungkin terwujud –seperti yang
tersebut pada ayat ke dua- adalah adil maknawi (abstrak) seperti rasa cinta dan
kecendrungan hati. Sebab biasanya bila seorang kawin lagi dengan wanita kedua,
ia lebih cenderung berpaling dari isteri pertama. Namun demikian,
adil bersifat materi tetap menjadi syarat kelangsungan berpoligami.
2.
Allah hanya memberi taklif (kewajiban) kepada hambanya
yang mampu, padahal dalam ayat kedua jelas-jelas Allah menyatakan
ketidakmampuan manusia berbuat adil maknawi. Oleh karena itu Allah tidak akan
menghukum dan menyalahkan orang yang memang jelas-jelas tidak mampu
melakukannya dan oleh karena itu, adil pada ayat kedua tidak di tuntut oleh
Allah SWT.
3.
Jika Allah melarang poligami, maka mengapa Allah
berfirman pada ayat pertama “Nikahilah wanita-wanita yang baik; dua, tiga,
empat”?. Jika Allah bermaksud melarang, mengapa tidak langsung saja
berkata: “Janganlah kawin dua dan seterusnya”?
4.
Jika poligami dilarang dalam Islam, mengapa Rasulullah
SAW menyetujui poligami para sahabat?. Sebagaimana kita ketahui bahwa Rasululla
SAW pernah mengizinkan poligami hingga empat wanita tatkala banyaknya orang
masuk Islam dan memiliki lebih dari empat isteri, lalu rasulullah SAW membatasinya
hingga empat saja.
Di samping itu sejarah membuktikan bahwa para sahabat,
tabi’in dan para ulama ada yang berpoligami. Maka tidak mungkin pula kita
mengatakan bahwa mereka salah dalam memahami dua ayat di atas. Karena para
sahabat, tabi’in dan ulama adalah orang yang mengerti akan ajaran Islam.
Islam dan Reformasi Poligami
Sebagaimana disebutkan di
awal tulisan ini bahwa praktek poligami telah ada sebelum datangnya Islam. Maka ketika Islam datang ia telah melakukan
beberapa reformasi dalam bidang poligami, di antaranya adalah pembatasan
poligami hingga empat wanita saja. Karena sebagaimana ditemukan pada masyarakat
Jahiliyyah bahwa seorang laki-laki boleh mengawini lebih dari empat wanita.
Bentuk refomasi lainnya
adalah bahwa Islam menekankan berbuat adil terhadap isteri-isteri. Contoh yang jelas dalam masalah ini adalah ketika
Rasulullah SAW sakitnya keras dan mendekati kematian. Beliau ingin sekali
bermalam di setiap isteri-isterinya hingga ketika tidak bisa lagi berjalan beliau meminta ijin kepada
isteri-isterinya untuk tinggal di tempat Aisyah ra.
Bentuk reformasi lain
adalah bahwa Islam telah menanamkan rasa takut kepada Allah SWT. Dengan
demikian ketika menghadapi isterinya, seorang muslim tidak berbuat semena-mena
dan semaunya. Ia menjadi orang tawadhu’ dan berbuat baik terhadap
isteri-isterinya.
Dengan pendidikan Islam
seperti inilah terwujudnya ketenteraman, hilangnya cemburu buta dan kerukunan
di antara anggota keluarga. Rumah
tanggal ideal seperti inilah yang pernah dialami para sahabat dan orang-orang
yang bertakwa pada masa permulaan Islam.
Urgensi Poligami Secara
Sosial.
Dalam sekala sosial, poligami mempunayi
beberapa urgensi:
Pertama, dalam situasi
normal. Sering terjadi populasi wanita melebihi jumlah pria, sebagaimana yang
ditemukan di negara-negara Eropa Utara. Pada masa di mana tidak ditemukan
peperangan, biasanya jumlah kaum hawa lebih banyak dari kaum Adam. Salah
seorang dokter bersalin di Helsinky, Finlandia pernah berkata bahwa setiap
terjadi kelahiran empat bayi, satu dari padanya adalah bayi laki-laki.
Dalam kondisi seperti ini,
maka poligami merupakan persoalan yang urgen, baik ditinjau dari
kemaslahatan etika maupun sosial. Poligami dalam
kondisi ini lebih baik dari pada ditemukannya wanita-wanita yang tak
mendapatkan jodoh bergentayangan di jalan-jalan, tidak punya keluarga, tidak
pula rumah. Keadaan ini dapat mengundang kejahatan dan perilaku negatif serta
penyakit sosial.
Oleh karena itu sejak awal abad ini, para pakar Barat
yang sadar akan bahaya pelarangan poligami telah mewanti-wanti bahaya
pelarangan tersebut dengan timbulnya kenakalan wanita dan lahirnya anak-anak
tanpa ayah. Dalam edisinya tanggal 20 April 1901 harian “Lagos Weekly Record”
pernah memuat tulisan yang dinukil dari harian “London Trust” tulisan seorang
wanita Inggris yang berbunyi: “Telah banyak wanita jalanan di tengah-tengah
masyarakat kita, tapi sedikit sekali para ilmuwan membahas sebab-sebabnya. Saya
adalah seorang wanita yang hati ini merasa pedih menyaksikan pemandangan ini.
Tapi kesedihanku tak bermanfaat apa-apa, maka tidak ada jalan lain kecuali
menghilangkan kondisi ini. Maka benarlah apa yang dilakukan seorang ilmuwan
bernama Thomas, ia telah melihat penyakit ini dan menyebutkan obatnya, yaitu
“membolehkan laki-laki kawin dengan lebih dari satu wanita”. Dengan cara inilah
segala musibah akan berlalu, dan genarasi wanita kita akan mempunyai rumah
tangga. Bencana yang besar kini adalah karena memaksa pria Eropa untuk cukup
kawin dengan satu orang wanita”.
Kedua, dalam kodisi di
mana jumlah laki-laki lebih sedikit dari jumlah wanita akibat pertempuran atau
bencana alam. Dalam kondisi ini maka poligami menjadi urgen bagi tatanan sosial
seperti yang terjadi pada masa perang dunia.
Urgensi Poligami Secara Individual
Di samping urgensi
poligami secara sosial, ada beberapa hal
sehingga secara individual pun poligami menjadi sesuatu yang sangat urgen.
Antara lain adalah:
Pertama, bila seorang
isteri mandul sementara sang suami ingin sekali memiliki keturunan. Keinginan
memiliki keturunan adalah sesuatu hal yang wajar dan fitrah. Dalam situasi
seperti ini hanya ada dua kemungkinan: mencerai isteri mandul atau kawin lagi.
Tentunya mempertahankan perkawinan bagi seorang laki-laki dan wanita adalah
lebih baik dari pada bercerai. Biasanya seorang wanita yang mandul lebih
memilih dimadu dari pada hidup sendirian. Sebab bila memilih cerai, ia khawatir
tidak ada lelaki lain yang ingin mengawininya.
Kedua, bila isteri
mempunyai suatu penyakit yang menyebabkan suami tidak bisa menggaulinya. Bila dicerai biasanya suami akan merasa
malu terhadap masyarakatnya, demikian juga isteri akan merasa tidak berarti lagi dalam hidupnya. Sementara itu
kebutuhan biologis suami harus tetap dipenuhi. Oleh karena itu dalam keadaan
demikian, maka poligami adalah jalan keluar dari persoalan di atas.
Ketiga, keadan laki-laki
mempunyai kecendrungan hiper sex yang bila hanya satu isteri, kebutuhannya
tidak terpenuhi, baik karena sang isteri memasuki masa monopause maupun
disebabkan datang bulan (haid). Dalam keadaan ini tentunya poligami adalah
tindakan yang paling baik dibandingkan harus “jajan” di tempat-tempat mesum.
Dari keterangan di atas
tentang beberapa keadaan di mana poligami menjadi begitu urgen bagi seorang
laki-laki, timbul pertanyaan, mengapa tidak diberi kesempatan pula kepada
wanita untuk melakukan hal yang sama, yaitu dengan melakukan poliandri
(mempunyai lebih dari satu suami) ?. Jawaban atas pertanyaan ini dapat
dikemukakan dengan simpel saja. Yaitu bahwa persamaan hak dalam masalah
poligami antara laki-laki dan wanita adalah perkara yang mustahil. Sebab berapa
pun jumlah suami seorang wanita, ia tetap akan hamil dan melahirkan setahun sekali. Berbeda dengan laki-laki yang bisa saja mempunyai beberapa anak dari isteri-isterinya. Bila
seorang wanita mempunyai lebih dari satu suami, kepada siapakah anaknya nanti
akan dinisbatkan ? apakah kepada mas Slamet, le Toha atau kang Dandi ? atau di
sebut bin rame-rame ?. Di samping itu, siapakah yang akan menjadi kepala
keluarganya ? Mungkinkah kepala keluarga dipegang oleh
orang banyak?.
Sisi Negatif Poligami.
Selain beberapa keunggulan
yang terdapat pada sistem poligami, kita juga
tidak menutup mata bahwa secara empiris masih dijumpai sisi negatif dari poligami. Sisi negatif ini timbul disebabkan beberapa
faktor. Namun faktor utama dari segalanya
adalah kembali kepada manusianya itu sendiri. Banyak dari kalangan kita yang
menyalahgunakan kebolehan polgami ini, di samping itu keislaman dan kesalehan
orang yang bersangkutan masih kurang dari yang diharapkan. Maka banyak terjadi
berbagai persoalan negatif yang ditimbulkan poligami,
antara lain:
1.
Timbulnya rasa dengki dan permusuhan di antara para
isteri. Persaaan ini biasanya timbul karena suami lebih mencintai satu isteri
dari pada isteri yang lain, atau karena kurang adanya keadilan. Tapi hal ini
jarang terjadi bila sang suami dan isteri mengerti hak dan kewajibannya.
2.
Perasaan di atas juga biasanya terwarisi hingga kepada
anak-anaknya dari masing-masing isteri, sehingga rasa persaudaraan tidak ada lagi.
3.
Timbulnya tekanan batin bagi sang isteri pertama, karena
biasanya sang suami lebih mencintai isteri barunya. Perasaan ini mengakibatkan
isteri pertama kurang bahagia dalam hidupnya.
4.
Poligami juga menjadi penyebab timbulnya genarasi santai,
mereka lebih suka bermejeng di jalanan untuk menghabis-habiskan masa mudanya.
Hal ini juga disebabkan karena kurangnya perhatian dari sang ayah.
Dalam menjalani peraturan
agama, memang ada beberapa hal yang harus kita hadapai dengan pengorbanan.
Dalam poligami, kenyataan itu hampir sama yang ditemukan pada perang (jihad).
Di sana ada yang sakit, terluka dan tewas menjadi korban. Tapi bila timbulnya
korban adalah suatu hal yang harus terjadi karena suatu kondisi, maka justru
segala pengorbanan dan penderitaan harus dipikul. Oleh karena itu Dr. Musthofa
Siba’i dan Muhammad Qutub menyatakan bahwa poligami
dapat dilaksanakan hanya dalam keadaan
darurat. Oleh sebab itu bila seseorang melakukan sesuatu yang menimbulkan
pengorbanan dan penderitaan tanpa didasari keadaan darurat, maka sama saja
orang itu seperti orang gila.
Sementara itu di sisi
lain, kita tidak pula mengatakan bahwa perasaan yang dialami wanita sebagai
sesuatu yang menafikan hukum poligami. Sebab bila seorang laki-laki tetap
melirik wanita lain, akankah ketiadaan hukum poligami menghilangkan kecenderungan
lelaki tersebut ? Bukankah ia bisa saja menghianati
isterinya ? Ia bisa juga berhubungan dan
bergaul dengan wanita lain tanpa diketahui sang isteri. Dan hal ini telah
terjadi, bahkan meskipun sudah diketahui sang isteri, tapi ia
tidak berbuat apa-apa. Inilah yang sering banyak terjadi di masyarakat Barat
dan orang-orang yang suka menyeleweng (dalam arti yang
sebenarnya, tanpa nikah yang sah). Bila demikian halnya, bukankah lebih baik
bila isteri, suami dan wanita lain itu sama-sama tahu dan saling mengenal serta
saling rela dan sah ?. Bukankah lebih baik bila dilakukan tanpa melanggar hukum Allah dan RasulNya?. Sehingga keturunan pun
jelas dan terhindar dari masksiat?.
Poligami dan Umat Islam Kini
Setelah timbulnya kesadran umat Islam tentang besarnya pengaruh pemikiran Barat
melalui jalur informasi, buku-buku dan para orientalisnya, para pakar Islam
berupaya untuk menata kembali masyarakat Islam agar bangkit dari tidurnya.
Di antara
pemikiran Barat yang banyak mempengaruhi pola pikir umat Islam adalah melempar keraguan kepada umat
Islam tentang hukum poligami. Sehingga persoalan ini menjadi perdebatan di
kalangan umat Islam. Sayangnya, banyaknya timbul poligami di kalangan umat
Islam dewasa ini justru terjadi di saat umat Islam tidak mengenal agamanya,
jauhnya dari hukum Islam dan akhlak Islam sehingga menyebabkan timbulnya
penyakit sosial di masyaraklat muslim. Di tengah kondisi keterbelakangan inilah
kaum orientalis Barat menyerang agama Islam dengan sangat empuknya.
Oleh Karena itu,
para pakar muslim terpanggil untuk menjawab segala tuduhan dan serangan mereka
tentang poligami. Di antara para pakar yang
banyak menanggapi persoalan ini adalah Syeikh Muhammad Abduh, Beliau
menulis tentang bahaya poligami yang beliau saksikan sendiri pada masanya. Beliau
pernah menyampaikan ceramah di Al Azhar
yang salah seorang mahasiswanya bernama Rasyid Ridlo. Perkuliahan ini kemudian
dimuat dalam majalah “Al Mannar” yang kemudian dikutip dalam kitab tafsirnya
(juz 4/349).
Abduh berkata:
“Orang yang menghayati kedua ayat (maksudnya ayat An-Nisa yang tersebut di
permulaan tulisan ini) ia akan mengerti bahwa diperbolehkannya poligami dalam
Islam adalah sebagai suatu perkara yang mempunyai ruang sempit, ia seakan satu
darurat yang hanya diperbolehkan bagi yang membutuhkannya dengan persyaratan
jujur dan adil serta tidak berlaku lalim.. Bila melihat kerusakan yang terjadi
di masyarakat kita dewasa ini akibat poligami, kita meyakini bahwa sulit sekali
membina (mentarbiyah) masyarakat yang sudah banyak terjangkit poligami. Karena
rumah yang di sana
terdapat dua isteri seakan tidak pernah ditemukan ketenangan, tidak karuan,
bahkan suami dan isteri-isteri seakan bekerja sama dalam menciptakan kehancuran
rumah tangga, seakan setiap pribadi adalah musuh bagi lainnya hingga menjalar
kepada anak-anaknya, anggota keluarga dan masyarakat.
Abduh berkata pula:
“Adalah poligami pada masa permulaan Islam mempunyai beberapa manfaat, antara
lain menyambung keturunan dan persaudaraan dan tidak menyebabkan kerusuhan
seperti sekarang ini. Sebab agama sudah tertanam kuat pada diri kaum wanita dan
pria. Oleh karena itu hendaknya janganlah membiarkan kaum wanita tidak mengerti
bagaimana menghormati suami dan menyayangi anak. Jangan membiarkan wanita dalam
kebodohannya tentang agama. Seandainya wanita terdidik dengan pendidikan agama,
ia menjadikan agama di atas segala perasaan dan cemburunya sehingga tidak akan
terjadi bahaya yang diakibatkan poligami.
Beliau berkata pula:
“Dengan demikian kita mengetahui bahwa poligami adalah sebagai sesuatu yang
haram ketika seseorang takut tidak bisa berbuat adil”.
Namuan demikian di
bagian lain Abduh berkata: “Dari penjelasan terdahulu, bukan berarti bahwa bila
terjadi akad nikah (poligami) maka tidak sah akadnya. Sebab keharaman sesuatu
tidak berarti batalnya akad. Karena bisa saja berbuat zalim ketika mulai
berumah tangga kemudian sadar dan taubat sehingga mencapai hidup bahagia”.
Dari ucapan Muhammad
Abduh di atas, Musthofa Siba’i
menyimpulkannya sebagai berikut:
1. Abduh tidak melihat adanya bahaya di masyarakat
yang timbul akibat poligami pada masa permulaan Islam
2. Abduh melihat adanya bahaya yang timbul di
masyarakat akibat poligami sebagaimana ia saksikan
3. Abduh juga mengusulkan pentingnya peraturan yang
dapat meminimalkan bahaya poligami di masyarakat.
Walaupun
secara eksplisit Abduh tidak melarang poligami, namun sebagian orang mungkin
memahaminya sebagai suatu larangan. Dalam hal ini kita tidak sependapat dengan
orang yang memahaminya sebagai suatu larangan. Karena pelarangan poligami sama
halnya dengan merubah hukum yang telah ditetapkan Allah SWT. Di samping itu
juga poligami masih tetap diperlukan dalam keadaan tertentu bagi suatu bangsa,
baik bersifat individual maupun sosial.
Rasulullah
SAW dan Poligami
Sebelum mengakhiri tulisan tentang poligami,
kurang lengkap rasanya bila kita tidak membahas tetang perkawinan dan poligami
Rasulullah SAW.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa di antara
beberapa hukum yang diturunkan kepada Rasulullah SAW untuk umatnya, ada
beberapa hukum yang hanya khusus diberlakukan kepada Rasulullah SAW. Di
antaranya adalah kewajiban qiyamullail bagi Rasulullah SAW dan
dibolehkannya berpoligami lebih dari empat wanita. Kekhususan ini disebabkan
beliau adalah seorang Rasul dan karena ada hikmah tertentu yang Allah SWT
inginkan.
Namun demikian pihak musuh Islam selalu mencari
jalan untuk dapat mengkritik Rasulullah SAW agar umatnya tidak lagi menaruh
hormat kepada nabinya atau menanamkan keraguan terhadap rasulnya. Karenanya
mereka tidak segan-segan melempar tuduhan kepada pribadi beliau.
Di antara tuduhan mereka terhadap Rasulullah
SAW adalah masalah poligami. Mereka menuduh bahwa Rasulullah SAW adalah seorang
yang sangat haus sex, tukang main perempuan dan lain sebagainya. Oleh karena
itu ia tidak puas hanya dengan satu wanita. Ia juga sangat berbeda dengan Yesus
(maksud mereka Isa as). Isa adalah orang yang suci, tidak pernah mengumbar
nafsunya, tidak seperti Muhammad.
Untuk menjawab tuduhan di atas, ada dua hal
penting yang harus kita ingat:
1. Rasulullah
SAW tidak pernah mengawini wanita lebih dari satu, kecuali setelah beliau
memasuki usia senja, yaitu usia lebih dari 50 tahun.
2. Seluruh
isteri-isteri Rasulullah SAW berstatus janda, kecuali hanya Aisyah ra.
Dari dua point ini dapat kita simpulkan, bahwa
meskipun sebagai seorang manusia dan mempunyai nafsu birahi serta tidak menutup
kemungkinan ada dorongan naluri manusia dalam mengawini wanita-wanita, tapi di
balik itu semua ada maksud luhur. Oleh karena itu untuk mengatakan bahwa
perkawinan Rasul dengan banyak wanita sama denga poligami yang dilakukan oleh
kebanyakan orang sekarang atau disamakan dengan kebutuhan sex orang Barat
adalah sebagai sesuatu yang naïf. Hal ini dapat dikemukakan beberapa alasan,
selain dua alasan pokok di atas:
1. Andai
kata semata-mata hanya dorongan syahwat saja, mengapa Rasulullah SAW tidak
memilih yang gadis-gadis saja? Padahal Rasulullah pernah menganjurkan sahabat
Jabir bin Abdullah untuk lebih baik mengawini gadis dari pada janda karena
seorang gadis lebih bisa bermesraan dan bercanda.
2. Seandainya
Rasul mau gadis, bukankah beliau bisa saja meminta kepada sahabat-sahabatnya
untuk memberikam anak gadisnya kepada Rasulullah SAW ? Bukankah kesetiaan
sahabat begitu besar kepada Rasulullah SAW dan siap memberikan apa saja yang
diminta ?.
Oleh karena itu, tentu di balik poligami Rasul
ada hikmah yang Allah kehendaki. Di antara hikmah-hikmah tersebut adalah:
- Hikmah Pendidikan
Dengan poligami, Rasulullah SAW banyak
mengeluarkan wanita yang alim yang dapat mengajarkan wanita lainnya.
Isteri-isteri Rasulullah SAW itulah yang mengajarkan agama kepada wanita
muslimah, khususnya tentang masalah-masalah yang bersifat feminisme
(kewanitaan). Karena sering sekali Rasulullah SAW malu dalam menjawab persoalan
itu, apalagi bila masalah yang ditanyakan amat “sensitive”
Aisyah ra meriwayatkan bahwa wanita Anshor
datang kepada Rasulullah SAW bertanya tentang cara membersihkan haid. Lalu
Rasulullah SAW mengajarkannya. Beliau berkata: “Ambillah kapas yang ada
wewangiannya, lalu bersihkanlah dengannya”. Wanita itu berkata: “Bagaimana
membersihkannya?”. Rasul menjawab: “Bersihkanlah dengannya”. Ia bertanya lagi:
“Bagaimana membersihkannya ?”. Rasul menjawab: “Subhanallah ! bersihkan saja
dengannya”. Mendengar hal ini, Aisyah ra langsung menarik tangan wanita
tersebut lalu berkata: “Letakkanlah kapas tadi di tempat ini dan itu, lalu
hilangkan bekas darahnya”. Aisyah ra berkata: “Aku jelaskan tempat yang mesti
diletakkan kapas”.
2.
Hikmah Tasyri” (perundang-undangan)
Hikmah
ini dapat kita saksikan ketika terjadi perkawinan Rasulullah SAW dengan Zainab
binti Jahsy Al-Asadi, yaitu terhapusnya kebiasaan menganggap anak angkat
(adopsi) seperti anak nasab, yaitu menyamakan hukumnya dalam hal waris,
perkawinan dan lain sebagainya.
Pada
saat itu, bangsa Arab selalu menyebut anak angkat Rasulullah SAW yang bernama
Zaid bin Haristah dengan sebutan Zaid bin Muhammad. Hal ini dimaklumi, karena
kebiasaan itu sudah mengakar di tengah-tengah masyarakat Jahiliyyah. Oleh
karena itu demi menghapus kebiasaan ini, Rasulullah SAW mengawini Zainab yang
sebelumnya telah dikawini oleh Zaid bin Haristah. Sebagai manusia, Rasulullah
SAW takut bila orang munafik dan orang yang benci akan berkata: “Lihat tuh,
Muhammad telah kawin dengan isteri anaknya”. Tapi kekhawatiran itu sirna
setelah turun firman Allah SWT:
وتخشى
الناس والله أحق أن تخشاه فلما قضى زيد منها وطرا زوجناكها لكيلا يكون على
المؤمنين حرج فى أزواج أدعيائهم اذا قضوا منهن وطرا وكان أمر الله مفعولا
“Dan
kamu (Muhammad) takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk
kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya
(menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi
orang mu’min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka apabila
anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya dari pada
isteri-isterinya, dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi” (Al Ahzab; 37)
3.
Hikmah Secara Sosial
Hikmah ini terlihat pada
perkawinan beliau dengan puteri Abu Bakar; Aisyah ra dan puteri Umar; Hafsah.
Perkawinan Rasulullah SAW ini sebagai penghargaan yang sangat besar yang pernah
dirasakan kedua sahabat beliau. Dan Rasulullah SAW pun layak memberikan
penghargaan yang besar ini. Sebab perjuangan dan jerih payah yang pernah
dirasakan kedua sahabat terhadap Islam
begitu besar. Maka suatu penghargaan besar bila Rasulullah SAW mengawini
puteri-puteri mereka. Sehingga kecintaan Rasulullah SAW dan mereka begitu kuat.
4.
Hikmah Secara Politis
Perkawinan Rasulullah SAW dengan
beberapa wanita mengakibatkan bersatunya pengikut kabilah-kabilah yang berbeda,
karena sebagaimana kita ketahui bahwa apabila seseorang berkeluarga dengan
anggota suku lain, maka ia akan menjadi bagian dari suku itu, begitu pula
sebaliknya. Hikmah perkawinan Rasulullah SAW secara politis itu dapat kita
lihat ketika Rasulullah SAW mengawini
beberapa wanita dari suku yang berbeda, antara lain:
A.
Juwairiyah bin Al Harits
Ia adalah putri dari perempuan
Bani Musthaliq. Ketika terjadi peperangan, ia dan kawannya menjadi tawanan kaum
muslimin. Ketika dihadapkan kepada Rasulullah SAW, beliau menawarkan kepadanya
apakah ia ingin bebas dengan membayar tebusan yang akan dibayarkan Rasulullah
SAW dan menikahinya. Juwairiyah pun menerima tawaran tersebut. Setelah
Rasulullah menikahinya, kaum muslimin
pun merasa sungkan bila masih menawan tahanan dari kaum anak pemimpin Bani
Musthaliq yang kini menjadi isteri Rasulullah SAW itu. Mereka berkata:
“Pantaskah kita menawan para besan Rasulullah SAW?”. Akhirnya para tawaran dari
Bani Musthaliq pun dibebaskan. Dan akibat dari kemurahan kaum muslimin ini
mereka (Bani Musthaliq) berbondong-bondong masuk Islam.
B.
Sofiyah binti Huyyay bin Akhtab
Ia adalah termasuk pembesar dari
Bani Quraidhoh. Suaminya telah tewas dalam peperangan Khaibar. Ketika ia
menjadi tawanan, salah seorang pasukan muslim mengajukan usul bahwa sebaiknya
wanita ini diserahkan kepada Rasululah SAW. Ketika sampai dihadapan Nabi,
beliau menawarkan dua hal; apakah dibebaskan dan menjadi isteri Rasulullah SAW
atau dibebaskan hingga bertemu keluarganya?. Atas dua pilihan ini, Sofiyah
memilih yang pertama karena ia melihat kewibawaan Nabi. Ia pun masuk Islam yang
kemudian diikuti oleh kaumnya.
C.
Romlah binti Abu Sufyan
Ia adalah puteri Abu Sufyan,
salah seorang tokoh Quraisy di Makkah yang sangat memusuhi Nabi dan kaum muslimin.
Puterinya telah masuk Islam ketika masih di Makkah dan pernah hijrah dengan
suaminya ke Habasyah. Suaminya meninggal dunia di Habasyah, maka tinggallah ia
sendiri tanpa ayah dan suami. Ketika Rasulullah SAW mengetahui hal itu, beliau
mengirim surat
kepada raja Najasyi untuk disampaikan kepada Romlah bahwa Nabi ingin
menikahinya. Mendengar berita ini, Romlah sangat gembira karena tidak mungkin
baginya untuk kembali kepada ayahnya.
Ketika berita ini sampai kepada Abu Sufyan , ia
pun seperti menyetujuinya, lalu membanggakan Nabi yang telah menjadi suami
puterinya. Keadaan ini membuat sikap Abu Sufyan dan kaum Quraisy berubah
menjadi lembut terhadap kaum muslimin yang masih berada di Makkah yang
sebelumnya sangat mengganggu.
Penutup
Dari uraian di atas, jelas bagi
kita bahwa betapa sempurnanya ajaran Islam. Keberadaan aturan poligami masih
tetap relevan hingga kini, terlebih di tengah-tengah zaman globalisasi seperti
sekarang ini, di mana menurut catatan sensus menyebutkan bahwa jumlah kaum
wanita lebih banyak dari kaum pria. Lalu akan dikemanakankah sisa kaum wanita
bila lelaki hanya dibatasi kawin hanya dengan satu orang wanita?. Banyak sudah
akibat yang ditimbulkan dari larangan poligami, baik secara resmi ataupun tidak
resmi. Merajalelanya perzinahan, tempat-tempat maksiat dan lainnya, anak-anak
yang tidak tahu kepada siapa harus menyebut ayah adalah salah satu akibat
laranga poligami. Telah bertahun-tahun lamanya penyakit sosial ini timbul,
bahkan dari tahun ke tahun selalu menampakkan peningkatan saja. Lalu kemanakah
para pakar psikologi, sosial, kriminil, alat negara dan lain sebagainya dapat
memecahkan masalah ini?. Hanya satu jalan keluar dari kemelut ini, yaitu
kembali kepada Islam.
Di sisi lain, kita juga tidak
mentolelir sikap para poligamis yang berbuat seenaknya terhadap
isteri-isterinya, bersikap tidak adil dan mengenyampingkan tanggung jawab
isteri dan anak-anaknya. Mereka merasa bahwa dengan kekayaannya dapat berbuat
seenak-enaknya. Kita juga menyesalkan beberapa sikap wanita muslimah yang mata
duitan dan rela dimadu hanya karena calon suami kaya. Gejala-gejala ini patut
kita waspadai dengan mendidik dan mempersiapkan kaum pria dan wanita yang dapat
mengerti dienul Islam dan mengerti akan hak dan tanggung jawab masing-masing.
Wallahu a’lam.
Makkah
Al Mukarramah, Jum’at 1 Sya’ban 1419 H/22 Nopember 1998
Bahan
Rujukan:
- Al Qur’an Al Karim, Departemen Agama
- Al-Mar’atu bayna al-Fiqh wal Qonun, Dr,
Musthofa Siba’i
- Syubuhat Haula al-Islam, Muhammad Qutub
- Rowa’i al-Bayan, Muhammad Ali As Shobuni
- Syubuhat haula ta’ddud zaujatur Rasul SAW,
Muhammad Ali As-Shobuni
- Islam Dalam Berbagai Dimensi, DR. Daud
Rasyid
Tidak ada komentar:
Posting Komentar