Kamis, 30 Maret 2023

PUASA DAN MA’RIFATULLAH

Udin, sebut saja begitu, adalah anak berusia 12 tahunan, sudah 5 tahun ini berpuasa Ramadhan. Dia mulai berpuasa sejak usia 7 tahun. Siang itu dia merasakan dahaga yang sangat dalam perjalanan pulang sekolah. Di perjalanan pulang datang waktu zhuhur. Dia pun mampir di sebuah Masjid yang dilewatinya. Saat akan berwudhu, terbayang betapa segarnya air yang keluar dari kran masjid. Ia pun berwudhu. Ada keinginan saat berkumur dalam wudhu untuk memasukkan air wudhu beberapa teguk air ke rongga mulutnya. Toh tidak ada yang tahu jika menegak bebebrapa tuguk air? Toh orang lain mungkin akan menyangka bahwa dirinya sedang berkumur dalam wudhu. Tapi Udin menahannya, dia hanya berkumur dan membuang air itu kembali dari mulutnya. Dia tidak meminumnya. Sebab dia sadar jika meminum air walau seteguk, maka batallah puasanya. Alhamdulillah, ia bisa bertahan menahan dahaga hingga datang waktu maghrib. Dan saat berbuka puasa di waktu maghrib, ia pun merasakan kepuasan baik secara lahir maupn batin.

Mengapa Udin tidak berani meneguk air saat berwudhu? Padahal jika ia lakukan, tidak ada orang yang tahu?, bahkan orang yang berwudhu disampingnya pun tidak akan peduli jika Udin meminum air wudhu saat berkumur wudhu? Karena Udin telah menghadirkan Allah dalam dirinya. Karena Udin merasa dia sedang Bersama Allah. Karena Udin merasa tidak lepas dari pengawasan Allah.

Suatu hari Amirul Mukminin Umar bin Khattab berkeliling menjumpai seorang budak yang sedang menggembala kambing majikannya. Jumlah kambing yang digembalanya banyak hingga tak terhitung. Umar bin Khattab mencoba menguji budak tersebut. “Ada berapa ekor kambing yang kau gembala.?” Tanya Umar. “Semua yang di tanah lapang ini, itulah jumlah kambing tuan saya, Tuan.” Jawab si budak. “Mau kah satu ekor saja aku beli kambing ini? Toh tuanmu tidak tahu berapa jumlah kambingnya ini?” Tanya Umar. Sang Budak menjawab, “Ini kambing milik Tuan saya, saya tidak berhak menjualnya kecuali dengan izinnya.” Umar merayu, “Satu ekor saja, tuan mu tidak akan mengetahui jika satu ekor hilang atau dijual.” Sang budak menjawab, “Benar tuan,  tuan saya tidak akan mengetahuinya, tetapi Tuhan Tuan saya ( Allah swt) mengetahui apa yang akan saya lakukan”. Umar pun kagum dan memerdekakan budak yang jujur ini.

Lain budak lain lagi kisah kejujuran seorang anak gadis penjual susu. Malam itu ibunya memerintahkan pada putrinya untuk mencampur susu-susunya dengan air agar mendapat keuntungan lebih saat dijualnya besok, atau setidaknya bisa menurunkan harga sehingga dapat bersaing dengan penjual lainnya. Akan tetapi sang gadis tidak mau melakukannya “Itu dilarang oleh Amirul Mukminin ibu,” Ujarnya. Sang ibu berkata, “Toh malam-malam seperti ini Amirul Mukminin pun tidak akan mengetahui rencana kita. Munkin dia sedang tidur”. Sang gadis menjawab, “Bu, akan tetapi Tuhan Amirul Mukminin melihat kita.” Saat itu Umar bin Khattab kebetulan sedang keliling malam yang menjadi kebiasaannya, beliau  mendengar dialog mereka. Esoknya Umar Kembali ke rumah sang gadis dan Ibu itu, bukan akan menghukum sang ibu, tetapi ingin meminang sang gadis yang jujur itu untuk dinikahkan dengan salah seorang puteranya.

Dan masih banyak lagi kisah tentang kejujuran dan rasa kebersamaan dengan Allah yang melahirkan rasa ma’rifatullah (mengenal Allah).

Ma’rifatullah bukan sekedar Latihan zikir kepada Allah dengan lafah-lafazh tertentu saja. Akan tetapi zikir kepada Allah adalah selalu mengingat Allah dalam setiap keadaan. Dia sudah mengenal Allah bahwa Allah terasa bersama dimana pun berada. Perasaan mengingat Allah dengan hati dan rasa inilah yang menghasilkan sikap-sikap positif dalam tindak tanduk, sehingga pribadinya  menjadi  “wakil” Allah dalam menampilkan keindahan Tuhan.

Inilah yang dikategorikan para ulama sebagai puasanya “Khowasul Khowas” lebih Khusus dari yang khusus. Puasa bukan sekedar aktifitas menahan dari rasa lapar dan dahaga. Atau sekedar mengubah jadwal makan dan minum. Akan tetapi puasa adalah aktifitas yang dapat menghadirkan rasa kebersamaan dengan Allah swt. Sehingga tidak saja meninggalkan hal yang membatalkan puasa. Akan tetapi juga meninggalkan hal yang membatalkan pahala puasa. Rasa ini akan terus berlanjut hingga pasca Ramadahan sekalipun. Sehingga pasca puasa dia benar-benar menjadi pribadi muttaqin (bertaqwa). Dan itulah inti dari tujuan puasa “La’llakum Tattaquun”

M. Jamhuri, 7 Ramadhan 1444 H/ 30 Maret 2023 M

Tidak ada komentar: